Menuju konten utama

Memilih di Rumah, Menjadi Ibu "Profesional"

Tak punya karier di luar rumah demi mengurus keluarga bukan berarti tidak bisa bekerja.

Memilih di Rumah, Menjadi Ibu
Ilustrasi ibu profesional. iStockphoto/Getty Images

tirto.id - Menjadi ibu pekerja merupakan hal lumrah di zaman sekarang. Saking lumrahnya, ada anggapan bahwa ibu wajib bekerja.

Hal ini dialami oleh Septi Peni Wulandari (44). Ketika memutuskan menikah dengan Dodik Maryanto (50), sekitar 23 tahun silam, Septi memilih mengundurkan diri dari kantornya. Keputusan Septi sontak ditentang orangtuanya, terutama sang ibu. Pasalnya, Septi baru saja mendapatkan SK CPNS di Kementerian Kesehatan.

“Dilarang sama ibu karena kebetulan beliau single parent dan menganggap perempuan itu harus bekerja,” Septi bilang.

Namun, Septi tetap pada pendiriannya. Ia beralasan ingin fokus merawat buah hatinya kelak. Bagi Septi, seorang anak harus mendapatkan didikan langsung dari ayah dan ibunya, bukan dari orang lain.

Perjalanan Septi untuk merealisasikan keinginannya, fokus mengurus anak, nyatanya tak mudah. Tapi, Septi jalan terus. Bersama suami, yang bekerja sebagai trainer pengembangan diri, Septi menerabas rintangan yang ada.

“Suami yang melatih saya. Setahap demi setahap. Lalu, dia memetakan keperluan ilmu saya dan kemudian dilatih. Jadi, kami banyak ngobrol, banyak berdiskusi. Intinya adalah learning by doing serta learning by teaching,” ungkapnya.

Pengalaman itu memotivasi Septi untuk berjejaring dengan ibu-ibu seumuran yang lain. Pada 22 Desember 2011, di Salatiga, Septi mendirikan Komunitas Ibu Profesional, sebuah wadah yang ditujukan kepada para ibu dan calon ibu untuk belajar sekaligus meningkatkan kualitas sebagai seorang perempuan.

Di komunitas ini, Septi membagi proses pembelajaran menjadi empat tahap: "bunda sayang," "bunda cekatan," "bunda produktif," serta "bunda sholehah." Masing-masing tahapan membutuhkan masa belajar selama setahun.

Pada tahap pertama, "bunda sayang," Septi mengajak ibu-ibu untuk selalu merasa bahagia ketika mendidik buah hati.

Lalu, memasuki tahap kedua, "bunda cekatan," Septi mulai mendorong para anggota untuk mengubah pola pikir mereka terhadap peran ibu rumah tangga.

"Inti dari tahapan ini ialah ibu bisa mengatur kegiatannya sebagai manajer rumah tangga dan manajer keluarga. Misalnya, yang tadinya seorang koki, sekarang menjadi manajer gizi di rumah. Yang tadinya tukang antar anak sekolah, sekarang jadi manajer pendidikan anak," kata Septi.

Menurut Septi, yang komunitasnya lakukan adalah mengubah mindset tentang aktivitas sehari-hari di rumah agar dapat dilakukan seperti halnya seorang profesional bekerja.

Usai dua tahapan ditempuh, Septi akan mengajak para ibu untuk menyelami "bunda produktif." Tujuan dari fase ini: mendorong para ibu untuk bisa mandiri secara finansial sambil tetap berperan mengasuh anak dan mengurus keluarga.

Di tahapan terakhir, "bunda sholehah," para ibu diharapkan mampu memberi manfaat terhadap lingkungan sekitar. Tak sekadar di keluarga saja.

Septi mengatakan, proses belajar di komunitasnya tak hanya berkutat pada teori belaka. Setiap anggota 'ditantang' untuk menerapkan teori yang didapat selama kelas dalam kehidupan sehari-hari. Ini dimaksudkan untuk melatih konsistensi para ibu.

"Dari situlah ibu-ibu akan teruji dengan sendirinya," tutur Septi.

Keluar dari Zona Nyaman?

Wening (29) bergabung dengan Komunitas Ibu Profesional pada 2015. Perempuan asal Bandung ini, sejak menikah, memang berniat menjadi ibu rumah tangga.

“Impian saya sebenarnya jadi ibu rumah tangga. Saya ingin mengasuh anak saya sendiri, mengatur rumah sendiri. Walaupun, saat itu, saya belum tau tentang bagaimana saya mendidik anak selayaknya guru-guru di sekolah,” terangnya.

Kebingungan Wening mendapati jawaban tatkala ia bergabung dengan komunitas yang diampu oleh Septi itu. Ia merasa punya ruang yang tepat guna mewujudkan keinginannya menjadi ibu rumah tangga secara 'profesional.'

Hal serupa juga didapat Yessi Dwi Fitria (37). Yessi mengungkapkan, ia bergabung dengan Komunitas Ibu Profesional saat masih bekerja sebagai pegawai bank, enam tahun silam.

Di tengah kesibukannya, Yessi dihadapkan pada kondisi untuk bisa membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Guna mewujudkannya, Yessi mulai mencari berbagai informasi. Namun, Yessi justru makin bingung dan lelah dengan informasi yang ada. Sampai akhirnya, dari unggahan seorang teman di media sosial, Yessi bertemu dengan Komunitas Ibu Profesional.

"Dengan Komunitas Ibu Profesional, aku menemukan konsep bahwa belajar itu proses yang berkesinambungan. Sedikit demi sedikit, namun rutin diterapkan. Bagiku, proses ini seperti mengubah diri aku," Yessi bilang.

Infografik Komunitas Ibu Profesional

Infografik Komunitas Ibu Profesional

Manfaat yang didapatkan Yessi dari keikutsertaannya bersama komunitas ini banyak. Ia mencontohkan satu hal: tidak mudah baper serta lebih bisa menjalin komunikasi dengan baik bersama sang suami. Satu hal yang menurut Yessi paling penting adalah menemukan passion yang selama ini ia cari, yaitu menulis.

Keputusan krusial pun dibikin. Pada 2015, Yessi mengundurkan diri dari bank agar bisa lebih fokus mengasuh kedua putrinya dan mengembangkan kemampuan menulis.

Wening dan Yessi hanyalah dua contoh 'keberhasilan' Komunitas Ibu Profesional. Menurut keterangan Septi, banyak kisah lain yang tak kalah menarik. Bahkan, kisah-kisah tersebut dituangkan dalam bentuk buku.

Sejauh ini, Komunitas Ibu Profesional telah menerbitkan 60 judul buku dengan tema yang beragam, dari tema finansial keluarga, gizi, sampai pengalaman mendidik anak di usia tertentu.

Pada saat bersamaan, komunitas yang didirikan Septi pun kini telah berkembang pesat. Dari yang mulanya hanya di Salatiga, Komunitas Ibu Profesional menyebar hingga lebih dari 50 kota di Indonesia. Tak cuma di dalam negeri saja, komunitas ini juga eksis di Singapura, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, Stockholm, sampai Amerika Serikat, dengan total anggota mencapai 21 ribu orang.

Baca juga artikel terkait HARI IBU atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani