Menuju konten utama
Seluk Beluk Para Habib

Memikat Anak Muda Jakarta lewat Dakwah

Pengajian yang digerakkan para habib di Jakarta muncul usai Soeharto tumbang. Jemaahnya, yang sebagian besar ialah anak muda dari kelas menengah-bawah, mencapai puluhan ribu. Ia mengajarkan kecintaan kepada Rasul dan memperkuat akhlak.

Memikat Anak Muda Jakarta lewat Dakwah
Ribuan umat muslim yang tergabung dalam Majelis Rasulullah melaksanakan zikir dan salawat untuk memperingati Isra Mikraj di Masjid Istiqlal, Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Bersorban, wajah klimis, dan kumis tipis tertata—setidaknya begitu gambaran muka habib. Sosok ini mudah dijumpai di titik-titik jalan strategis Jakarta. Mereka tampil di baliho besar ketika hendak menggelar tablig akbar. Misalnya di perempatan jalan depan mal Pejaten Village, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, akhir Desember lalu. Wajah Habib Hasan bin Ja'far Assegaf terpampang di baliho itu. Ia undangan sekaligus ajakan untuk doa bersama di malam tahun baru di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Pengendara yang rutin melintasi bilangan Pasar Minggu, Perdatam, Kalibata seperti saya mafhum soal ini. Saban Senin malam, sebagian kawasan jalan itu dipadati ribuan jemaah Majelis Rasulullah, sebuah majelis taklim binaan Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa. Para jemaah ini memenuhi trotoar jalan dengan memakai sarung, baju koko, dan peci putih. Ia tentu saja bikin macet, dan kerap mengundang keluhan para pelintas.

Kehadiran pengajian habib ini bukan hal baru di Jakarta terutama setelah Soeharto lengser. Pelan-pelan, siar dakwah para majelis habib ini mulai menarik banyak jemaah, dan ukuran sebuah masjid sampai kurang muat menampung para pengikutnya.

Di Citayam, tempat saya tinggal, kehadiran pengajian habib mulai terlihat sejak 2000 lewat Majelis Taklim Zaadul Muslim Al Busyro, yang dihelat saban malam Minggu. Bila bulan maulid, jemaahnya berdatangan dari pelbagai tempat. Dari stasiun Citayam, mereka mengenakan gamis dan baju koko. Belakangan pengajian ini tidak seramai dulu.

Habib dan Ribuan Jemaah

Pengajian para habib keturunan Hadramaut ini memang hadir dan berkembang di pelbagai daerah di Indonesia. Tetapi, untuk waktu yang belum lama, pengajian mereka di Jakarta segera memikat para jemaah, yang mayoritas kalangan menengah ke bawah. Nama-nama tersohor ialah Majelis Rasulullah, Majelis Nurul Musthofa, dan Majelis Taklim Habib Ali Kwitang.

Ketiga majelis taklim ini memiliki jemaah puluhan ribu. Yang tertua adalah pengajian Habib Ali Kwitang. Umurnya lebih dari 100 tahun. Sementara dua pengajian lain muncul ketika Orde Baru tumbang. Kehadirannya bukan untuk memperjuangkan negara Islam, melainkan mengajarkan agama melalui kecintaan umat muslim kepada Rasulullah.

Awal mula terbentuknya Majelis Rasululah saat Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa mulai berdakwah sepulang dari studi di Hadramaut sejak 1998. Sebagian besar kawasan dakwahnya di Jakarta Selatan. Sementara Majelis Nurul Musthofa, yang didirikan oleh seorang pemuda asal Bogor, Habib Hasan bin Ja'far Assegaf, berdakwah di kawasan kumuh di pinggiran Kota Jakarta. Dua pengajian ini mengajarkan akhlak dan bagaimana mencintai Nabi Muhammad. Mereka membetot perhatian anak remaja dan anak muda Ibukota.

Pemandangan rutin bila ada pengajian dari para majelis taklim ini adalah para jemaahnya melakukan konvoi sepeda motor. Sembari membawa bendera, anak-anak muda ini mengenakan gamis ditutupi jaket berlogo majelis taklim, dan cuma memakai peci.

Infografik HL Habib Pengajian Para Habib

Majelis Rasulullah

Habib Muhammad bin Al Khaf, juru bicara Majelis Rasulullah, menyambut kami dengan ramah di kantor majelis, bilangan Kalibata, Jakarta Selatan.

“Mau minum ape, kupi apa teh?”

“Pesan Al Habib Munzir, kalo ada tamu, sediain ape aje, tapi jangan aer putih,” kata Habib Ahmad.

Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa, orang yang disebut dan dihormati Habib Ahmad, telah berpulang pada 15 September 2013 karena sakit asma. Sepeninggal Habib Munzir, menurut Habib Ahmad, pengajian Majelis Rasulullah diteruskan oleh Habib Nabiel Al-Musawa, kakak mendiang.

Menurut Habib Ahmad, Habib Munzir memulai pengajian selepas pulang dari belajar di Pondok Pesantren Darul Musthafa di Hadramaut, Yaman. “Berdakwah dari siang dan malam, dari rumah ke rumah di Jakarta. Ia tidur di mana saja, di rumah-rumah masyarakat.”

“Beliau sangat bersemangat sampai ada peta di kantor yang ditandai, wilayah mana saja yang belum dimasuki beliau,” ujar Habib Ahmad.

Sembari mengisi pengajian di Jakarta, mendiang Habib Munzir mengajar di pesantren. Ia lantas mendirikan Majelis Rasulullah. Nama ini, menurut Habib Ahmad, diambil dari kunci ajaran Habib Munzir saban ceramah, yang menekankan para jemaah untuk mencintai Allah dan Rasul seraya mengupas kisah para nabi.

“Asal muasal majelis malam Selasa itu mengikuti jejak gurunya, Al Habib Umar bin Hafidz yang membuka pengajian mingguan setiap malam selasa,” tutur Habib Ahmad.

Dalam perkembangannya, kehadiran Majelis Rasulullah bukan hanya di Jakarta, tetapi sudah merambah ke beberapa negara seperti di Australia, Hong Hong, Korea Selatan, Malaysia, Maroko, dan Singapura. Bahkan, dalam waktu dekat, Majelis Rasulullah juga akan hadir di Amerika, demikian Habib Ahmad.

“Kalau di luar negeri, jemaahnya belasan hingga puluhan, kecuali di Hong Hong ada ratusan jemaah,” katanya, yang dua kali ke Hong Kong mengadiri pengajian Majelis Rasulullah.

Di laman resminya, saban pengajian Majelis Rasulullah di Jakarta, jemaah yang hadir bisa mencapai 10 ribu orang.

Majelis Nurul Musthofa

Kantor Majelis Nurul Musthofa berada di Ciganjur, Jakarta Selatan. Orang yang kami temui adalah Zaenal, pengurus sekretariat. Menurut dia, pengajian ini semula dari rumah ke rumah. Ia semakin berkembang dari 50 masjid menjadi 250 masjid di wilayah Jakarta. Di laman resminya, Majelis Nurul Musthofa bisa membetot 50 ribu orang saban menggelar pengajian.

Habib Hasan Assegaf, pendiri Majelis Nurul Musthofa, ialah cucu dari tokoh ulama abad ke-18, Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas. Ia juga keturunan Betawi dari pihak ayahnya, Habib Umar bin Ja’far Assegaf, seorang ulama di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Seperti halnya Majelis Rasulullah, tujuan siar Islam Majelis Nurul Musthofa oleh Habib Hasan Assegaf untuk mendekatkan pengalaman-pengalaman akhlak Nabi kepada kalangan anak muda Jakarta. Karena itu, ada alasannya bila pengajiannya digelar saban malam minggu. Habib Hasan sendiri yang memberikan ceramah.

Pada malam pergantian tahun kemarin, Majelis Nurul Musthofa menggelar doa bersama di daerah Tanah Abang. Ribuan jemaah, dari anak muda sampai orang tua, menghadiri doa bersama itu, yang dipimpin langsung Habib Hasan. Mereka melantunkan salawat.

Menurut Zaenal, Majelis Nurul Musthofa juga hadir di Hong Kong, Malaysia, dan Singapura.

Majelis Taklim Habib Ali Kwitang

Nama pengajian Habib Ali Kwitang lebih dulu termasyhur ketimbang majelis lain yang muncul belakangan. Lokasi pengajiannya di The Islamic Center, nama lain untuk masjid Habib Kwitang. Letaknya tepat di depan rumah sutradara ternama Alwi Shahab, Jalan Kramat III, Gang Kembang, Jakarta Pusat. Masjid ini diresmikan Presiden Soeharto pada 1969. Kami menyambangi pengajiannya pada Minggu, 15 Desember lalu. Jemaahnya meluber hingga keluar masjid.

Menurut Habib Abdurrahman Al Habsyi, pengurus Yayasan Cikini, yang kami temui pada 10 Januari lalu, Habib Ali Kwitang bernama lengkap Ali bin Abdurahman Al Habsyi. Ia adalah anak dari Habib Cikini dan Nyai Salmah, seorang nyai Betawi asal Meester Cornelis (sekarang Jatinegara). Sebelum menjadi ulama tersohor, Habib Alu Kwitang berguru ke Hadramaut.

“Sampai salah satu habib mengatakan, 'Kamu (Habib Ali) bukan tidak cocok berdagang, kamu harus duduk di Majelis,” ujar Habib Abdurrahman.

Habib Kwitang banyak melahirkan murid yang jadi orang berpengaruh di Jakarta. Salah satunya KH Abdulah Syafei, pendiri Majelis Taklim Assyafi’iyah. Ada juga KH Taher Rohili, pendiri Majelis Taklim Attahirriyah.

“Itu ayahnya Suryani Taher, sebelum Suryani menjadi ustazah yang lebih dikenal ayahnya dulu,” tutur Habib Abdurrahman.

Hingga kini jemaah Habib Ali Kwitang mencapai 15 ribu orang.

Lobi Politik di Mimbar Dakwah

Kehadiran pengajian habib dengan ribuan jemaah tak luput dari lobi politik. Ia menarik para politikus, plus partai politik, untuk mendekati mereka. Majelis Rasulullah, contohnya. Menurut Habib Ahmad, pengajian mendiang Habib Munzir ini kerap kedatangan para politikus. Namun ia menegaskan bahwa Majelis Rasulullah sejauh ini tak berhubungan dengan kepentingan partai politik.

“Dari partai politik manapun, untuk silahturahmi dengan Majelis, silakan. Bahkan orang non-muslim juga boleh. Enggak ada larangan. Tapi kalau untuk dilobi—banyak yang melakukan itu—semuanya ditolak oleh Majelis,” ujar Habib Ahmad, , juru bicara Majelis Rasulullah.

Majelis Rasulullah diketahui dekat dengan tokoh partai politik, salah satunya dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Habib Ahmad mengatakan, kedekatan kedua politikus itu dengan Majelis Rasulullah tiada hubungan dengan urusan politik.

Yudhoyono memang salah satu tokoh paling dekat dengan mendiang Habib Munzir. Kedekatan ini bermula pada 2008 ketika Majelis Rasulullah menggelar perhelatan tablig akbar di Monumen Nasional.

“Beliau memiliki hubungan kuat,” ujar Habib Ahmad.

Sementara Kalla ialah salah satu murid mendiang Habib Munzir. Saban seminggu sekali, kata Habib Ahmad, Kalla meminta Habib Munzir untuk datang ke rumah dinasnya di Menteng, Jakarta Pusat, buat mengisi pengajian.

“Kalau konteks politik, kita sudah menegaskan Majelis murni dakwah. Ini seperti kedekatan dengan ulama,” kata Habib Ahmad.

Dalam sejarahnya, pengajian habib kadang dan kerap kali tidak bisa lari dari politik dan kekuasaan. Nico JG Kaptein dalam buku The Arabs in the Netherlands East Indies and The House of Orange, menulis soal hubungan ini. Salah satunya, guru Habib Ali Kwitang, Habib Usman bin Yahya (1822-1914).

Habib Usman menjadi penasihat kehormatan pemerintah kolonial. Dia dekat dengan penasihat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Belanda seperti C. Snouck Hurgronje, KF Holle, dan LWC van den Berg.

Bahkan, Habib Usman membuat doa berbentuk puisi untuk Ratu Wilhemina ketika naik tahta pada 1898. Ia juga mengeluarkan fatwa berisi anjuran mengucapkan doa, yang kemudian diteruskan oleh para bupati dan pejabat Islam saat itu.

Baca juga artikel terkait HABIB atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arbi Sumandoyo & Reja Hidayat
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam