Menuju konten utama
Analisis Media

Memercik Muka Sendiri: Jokowi Gagal Bikin Citra Bersih dari UU MD3

Polemik pasal-pasal kotor dalam perubahan UU MD3 bikin citra negatif bagi Presiden Joko Widodo.

Memercik Muka Sendiri: Jokowi Gagal Bikin Citra Bersih dari UU MD3
Ratusan mahasiswa dari Aliansi BEM Se-Jabodetabek dan Banten menggelar demonstrasi menuntut pembatalan revisi UU MD3 di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (14/3/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sejak Jokowi melemparkan cuitan melalui akun Twitter dia, 21 Februari lalu, bahwa ia “belum menandatangani” draf UU MD3 meski sudah ada di meja kerjanya, toh ucapan itu cuma gula-gula sikap pemerintah. Dan, karena ia tak melakukan kebijakan yang membatalkan regulasi tersebut, dampaknya malah mencoreng sang presiden.

Cuitan itu disambut puluhan ribu retweet dan suka, tapi hanya sebatas itu. Jokowi harusnya bisa memakai sentimen positif tersebut dengan langkah yang lebih konkret. Sayangnya tidak.

Jokowi mestinya bisa meniru pendahulunya. Pada 2014, Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk membatalkan perubahan UU Pilkada.

Sebaliknya, Jokowi membiarkan UU MD3 melenggang sejak disahkan DPR pada 12 Februari 2018. Sesuai peraturan, bila selama 30 hari sejak regulasi disahkan DPR tak digubris lewat Perppu, UU itu tetap berlaku. Jokowi tak menandatangani tapi juga tidak membuat Perppu.

Maka, kita tahu: UU MD3 pun berlaku, bersama pasal-pasal kontroversial yang membuat lembaga legislatif itu bak lembaga penegak hukum. DPR kini punya hak memanggil paksa (pasal 73), punya hak memanggil siapa saja yang “merendahkan martabat DPR dan anggota DPR” (pasal 122), serta punya hak imunitas dari hukum pidana umum (pasal 245).

Desakan agar Jokowi membikin Perppu sejak ia mencuit pun tak diindahkan. Jokowi juga mengabaikan petisi dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3 (yang mendapatkan dukungan 200 ribu tandatangan dan diserahkan ke DPR.)

Dalam perkembangannya, mendekati waktu 30 hari usai beleid itu disahkan DPR, sudah ada empat uji materi UU MD3 yang didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi. Pemohonnya masing-masing dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), dua mahasiswa (Zico dan Joshua), dan Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII).

Mereka menggugat pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3, di antaranya pasal 73 ayat (3), pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, pasal 73 ayat (5), pasal 122 huruf k, dan pasal 245 ayat (1).

Sikap ambigu Jokowi atas UU MD3, yang kami simpulkan berdampak bagi pencitraan dia, adalah hasil analisis kami lewat platform Newstensity. Merangkum pemberitaan via media online, cetak, dan perbincangan di media sosial, sejak 1 Maret hingga 15 Maret 2018, kami menyebut bahwa sikap Jokowi ini menjelaskan sebuah kekuatan peribahasa: Ia yang menepuk air di dulang, ia juga yang tepercik muka sendiri.

Judul #ShameOnYouJokowi

“PKS Tagih Janji Golkar soal Pencopotan Fahri dari Pimpinan DPR,” demikian judul berita detik.com yang dijaring Newstensity dengan topik UU MD3 pada 1 Maret 2018. Detik adalah satu dari 20 media yang beritanya dipakai Newstensity untuk menganalisis sentimen berita soal isu UU MD3.

Dari 20 media daring, ada 204 berita dengan isu UU MD3 selama paruh pertama Maret 2018. Isinya: 101 artikel menyuguhkan sentimen negatif, 56 artikel bernada positif, dan 47 artikel netral.

Artikel Kompas.com pada 15 Maret bahkan memberi judul: “Apa Perlu Bikin #ShameOnYouJokowi untuk Desak Perppu MD3?"

Tagar yang dijadikan judul itu dikutip dari ucapan Usep Hasan Sadikin, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Usep berkata harusnya Presiden Jokowi langsung meminta revisi terbatas terhadap UU MD3 jika memang tidak ingin aturan tersebut berlaku. Bahkan, jika perlu, presiden mengeluarkan Perppu.

"Harusnya ini dilakukan untuk membuktikan presiden bekerja saat rakyat meminta," ujar Usep dalam satu diskusi di Jakarta.

Sejauh ini, Jokowi tak melakukannya. Ia memang tak meniru langkah SBY.

Pada 2014, saat topik tren di Twitter memacak #ShameOnYouSBY, sang presiden ke-6 Indonesia itu mengeluarkan Perppu Pilkada untuk mencabut pasal-pasal kontroversial.

Jokowi cuma sebatas berkata “memahami keresahan” masyarakat, dan bahkan berkata “kaget” dengan alasan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, yang mewakili pemerintah untuk mengikuti pembahasan regulasi tersebut di Senayan, “tak pernah” melaporkan perkembangan pasal-pasal dalam UU MD3.

Namun, penelusuran kami melalui risalah rapat pembahasan UU MD3 pada Rabu malam, 7 Februari 2018, rasa “resah” dan “kaget” itu tak terbukti. Sejak dibahas di Senayan, tidak terlihat ada penolakan dari pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Yasonna. Yang terjadi justru kompromi-kompromi dan kata “setuju”.

Baca juga laporan Tirto berbasis Risalah Rapat DPR: Dusta Menkumham Yasonna & Presiden Jokowi dalam UU MD3

Jokowi Tak Tegas

Sentimen negatif juga muncul dari pemberitaan media cetak. Dari 20 koran yang dipakai Newstensity, pemberitaan UU MD3 mengkritisi sikap abu-abu Presiden Jokowi. Dari 280 artikel, ada 157 artikel bernada negatif, 64 artikel positif, dan 59 artikel netral.

Sama seperti media daring, koran-koran ini menonjolkan ketidaktegasan Jokowi atas pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3.

Harian Kompas, misalnya—koran terbesar di Indonesia—dalam artikel “Presiden-DPR Perlu Cari Cara Pembatalan” menyoroti sikap lamban presiden Jokowi—suatu sifat yang pernah berkolerasi pada pemerintahan SBY.

Meski ada sejumlah demonstrasi yang mendesak presiden bersikap tegas atas polemik ini, tak ada tindakan konkret dari Jokowi.

Infografik HL Indepth UU MD

Jokowi Ditolong Warganet

Meski pemberitaan menyuguhkan sentimen negatif kepada Jokowi, sang presiden yang mengaku “resah” dan “kaget” ini tertolong celotehan warganet.

Dari 3.221 cuitan di Twitter, 1.569 (48%) berpendapat netral, 1.225 (38%) mengajukan argumen negatif, dan 427 cuitan (13%) menanggapi secara positif polemik UU MD3.

Sentimen negatif itu tak menyasar sepenuhnya kepada Presiden Jokowi, tapi kepada para politisi DPR. Nada negatif semakin kencang sesudah UU MD3 berlaku secara hukum pada 14 Maret meskipun tak mendapatkan tanda tangan dari Presiden Jokowi.

“Bukankah DPR itu perwakilan rakyat? Dengan pengesahan UU MD3, benarkah rakyat enggak boleh mengkritik pihak yang mewakilinya?” tulis salah satu cuitan.

Kesimpulan: Jokowi Tetap Jadi Sasaran Negatif

Betapapun tertolong oleh media sosial, dan sasaran negatif terbelah antara Jokowi dan para politikus di Senayan, tetapi secara keseluruhan ia tetap profil sentral pemberitaan.

Sepanjang topik UU MD3 dari 1 Maret hingga 15 Maret, Jokowi mendapatkan porsi 70 persen, selain Ketua DPR Bambang Soesatyo (18%) dan Menkumham Yasonna Laoly (13%). Ketiganya mendapatkan sentimen negatif.

Pada akhirnya, niat hati Jokowi mencoba meredakan polemik UU MD3 justru malah memercik wajah sang presiden. Jokowi dinilai membiarkan UU MD3 itu berjalan mulus. Jokowi tak mengambil tindakan konkret apa pun selain menolak menandatangani dan berkata “kaget” atau “resah”.

Baca juga artikel terkait REVISI UU MD3 atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Politik
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam