Menuju konten utama

Membuka Bioskop Saat PSBB Transisi Tak Bakal Menguntungkan

Bioskop Jakarta hanya diizinkan terisi 25 persen saat PSBB Transisi. Ini tak akan menguntungkan bagi pebisnis.

Membuka Bioskop Saat PSBB Transisi Tak Bakal Menguntungkan
Pengunjung menyaksikan film yang di putar di salah satu bioskop di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (9/10/2020). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/pras.

tirto.id - Pemprov DKI Jakarta menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi sejak 12 Oktober 2020. Beberapa tempat yang sebelumnya tak boleh beroperasi kini diizinkan dibuka, salah satunya bioskop. Rencana ini awalnya bakal direalisasikan pada 29 Juli, tapi batal.

Mereka belum bisa beroperasi seperti sediakala. Pemerintah hanya mengizinkan mereka terisi dengan kapasitas maksimal 25 persen.

Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah, pembukaan bioskop merupakan “win-win solution” antara pemerintah dan pelaku usaha.

Pada awal Juli lalu dikabarkan PT Graha Layar Prima Tbk (BLTZ), pemilik bioskop CGV Cinemas, memberhentikan 1.478 dari total 2.147 karyawan. Ini belum termasuk jaringan bioskop terbesar di Indonesia, XXI. Juni lalu beredar kabar XXI memutuskan tidak membayarkan remunerasi jajaran komisaris dan direksi terhitung sejak April sampai keadaan normal.

“Tidak mungkin pengusaha dan karyawan yang mencari nafkah di situ terkatung-katung tidak ada kepastian,” katanya kepada wartawan Tirto, Rabu (14/10/2020). Sementara bagi pemerintah, itu baik karena dapat “menghidupkan kegiatan perekonomian.”

Namun, sepertinya kebijakan ini tak bakal berjalan mulus. Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia Djonny Syafruddin mengaku pembatasan 25 persen tidak akan bisa menutup anggaran operasional. Itu pun kalau benar terisi seperempatnya. Film-film yang terbatas karena industrinya pun tersendat, serta ketakutan orang untuk ke tempat ramai, mungkin membuat orang semakin enggan ke layar lebar.

Untuk bioskop yang bukan bagian dari grup usaha besar dan layanan seadanya, biaya operasional bisa mencapai Rp70 juta per bulan, katanya. “Itu bioskop yang kaleng-kaleng itu, yang independen. Kalau seperti XXI dua kali lipat itu,” katanya kepada wartawan Tirto, Rabu. Biaya terbesar untuk bayar listrik.

Atas dasar pertimbangan tersebut XXI menurutnya tidak bakal beroperasi dulu. Sementara CGV akan mulai dibuka Senin depan.

Pebisnis juga masih mengupayakan agar kapasitas pengunjung bisa ditingkatkan, setidaknya 50 persen. “Gubernur, dinas kesehatan, cobalah buka. Kami ini buat kepentingan nasional,” katanya.

“[Kalau hanya 25 persen], kelihatannya tidak sebanding dengan cost operasional. Kan kita tahu cost operasional yang namanya listrik, yang namanya tenaga manusia, karyawan, sewa tempat, maintenance. Khawatirnya pengusaha enggak BEP kalau 25 persen,” kata Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang kepada reporter Tirto, Rabu.

Break Even Point alias titik impas adalah situasi ketika pendapatan sama dengan modal.

Hal senada disampaikan Ketua Umum DPP Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Handaka Santosa. “Saya harap kaji ulang agar kapasitas bisa 50 persen,” katanya kepada wartawan Tirto, Rabu.

Ia mendukung peningkatan kapasitas karena bioskop punya peran penting dalam mendongkrak jumlah pengunjung mal. Pada masa sebelum pandemi, 10 persen pengunjung mal itu adalah penonton bioskop. Kinerja positif bioskop berbanding lurus dengan kinerja mal itu sendiri.

Aspek kesehatan adalah satu-satunya alasan mengapa kapasitas bioskop hanya diizinkan seperempatnya. Meningkatkan jumlah kapasitas orang berarti meningkatkan pula kerumunan. Meningkatnya kerumunan adalah nama lain dari tingginya potensi penularan Corona.

Juli lalu, Ketua Pusat Kajian Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Puskakes Uhamka) Bigwanto bilang semestinya bioskop jangan dulu beroperasi. Sebab, ada kemungkinan COVID-19 bisa bertahan di udara selama berjam-jam (airborne transmission). Dan kemungkinan itu dapat terjadi di bioskop yang merupakan ruang tertutup.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) bahkan memasukkan pergi ke bioskop dalam daftar kegiatan berisiko tinggi. Ini karena bioskop membawa orang-orang ke dalam ruangan dan berada dalam jarak dekat untuk waktu yang lama, kata Anne Rimoin, profesor epidemiologi di UCLA Fielding School of Public Health.

Baca juga artikel terkait BIOSKOP atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino