Menuju konten utama

Memberikan Hak Anak Lewat Akta Kelahiran

Ratusan juta anak-anak di dunia belum memiliki akta kelahiran sebagai dokumen pribadi yang penting. Namun di tengah minimnya akta bagi anak-anak, inovasi soal pencatatan kelahiran muncul terutama bagi mereka penyandang disabilitas.

Memberikan Hak Anak Lewat Akta Kelahiran
Anak-anak menunjukkan Akta kelahiran sebagai dokumen pribadi yang penting. FOTO/kpai.go.id

tirto.id - Roni mengajukan pembuatan paspor online dengan berbagai persyaratan. Dokumen KTP, KK, dan ijazah semua sudah di-scan-nya. Sayangnya, Roni gagal saat verifikasi karena tak menyampaikan akta kelahiran. Ia pun harus membuat lagi surat kehilangan akta kelahiran agar paspor bisa di tangan.

Akta kelahiran memang sebuah surat yang sangat penting. Dari mulai masuk sekolah hingga membuat paspor, semua memerlukan dokumen ini. Sayangnya, tidak semua orang sudah memiliki akta kelahiran.

Di luar sana, ada 230 juta anak di seluruh dunia, saat mereka lahir tak pernah tercatatkan di akta kelahiran. Jumlah itu setara dengan satu dari tiga anak balita di seluruh dunia. Data and Analytics Section, Division of Policy and Strategy, United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada December 2013 memetakan lebih dari setengahnya atau 59 persen anak-anak di Asia tak memiliki akta kelahiran, dan 37 persen berada di sub-Sahara Afrika.

Dari negara-negara di kawasan itu pula, catatan akta kelahiran paling rendah terjadi. Tercatat ada sepuluh negara yang memiliki tingkat pencatatan kelahiran terendah, umumnya negara-negara miskin, yaitu Somalia yang hanya 3 persen, Liberia 4 persen, Ethiopia 7 persen, Zambia 14 persen, Chad 16 persen, Republik Tanzania 16 persen, Yaman 17 persen, Guinea-Bissau 24 persen, Pakistan 27 persen dan Republik Demokratik Kongo 28 persen.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memang tak masuk daftar sepuluh negara di atas, tapi Indonesia termasuk urutan ketujuh sebagai negara dengan jumlah terbesar anak-anak di bawah lima tahun yang tak punya akta kelahiran. Jumlahnya mencapai 8 juta anak-anak.

Indonesia memang masih lebih baik dibandingkan India, yang menempati urutan pertama mencakup 71 juta anak, disusul Nigeria di posisi kedua dengan jumlah 17 juta anak, lalu ada Pakistan yang mencapai 16 juta anak, Ethiopia tercatat 13 juta anak, dan masih banyak lainnya. Terlepas dari jumlah-jumlah tadi, seberapa pentingkah sebuah akta kelahiran bagi seorang anak?

Pentingnya Akta Kelahiran

Geeta Rao Gupta, Wakil Direktur Eksekutif UNICEF mengungkapkan pencatatan kelahiran seseorang lebih dari sekadar hak seorang anak saat mereka lahir di dunia. Pencatatan kelahiran merupakan bentuk penghargaan dan pengakuan identitas serta eksistensi yang pertama kali bagi seorang anak.

“Pendaftaran kelahiran adalah kunci untuk menjamin anak-anak tidak dilupakan, diabaikan hak-haknya atau disembunyikan dari kemajuan bangsa mereka.”

Contoh sederhana pencatatan kelahiran diperlukan seorang anak untuk kegunaan dokumen resmi seperti mengurus pembuatan paspor, kartu identitas diri seperti KTP atau Kartu Identitas Anak (KIA), ijazah dan lainnya. Imbasnya, bila kelahiran seorang anak tak dicatatkan, tak hanya menyangkut persoalan administrasi, tapi jauh lebih luas. Mereka lebih berisiko kehilangan pelayanan dasar sosial seperti kesehatan, pendidikan, dan program kesejahteraan.

Contoh lain yang juga penting ketika seorang anak terpisah dari keluarga ketika ada bencana alam, konflik atau sebagai akibat dari eksploitasi, maka penyatuan dengan keluarga akan lebih sulit karena kurangnya dokumen seperti akta. Pencatatan kelahiran juga sangat penting untuk membuka potensi seorang anak. Bagi negara yang luput menghitung mereka atau bahkan tak menyadari keberadaannya justru menjadi kerugian tersendiri.

“Pendaftaran kelahiran memiliki efek jangka panjang, tidak hanya untuk kesejahteraan anak, tetapi juga untuk pembangunan masyarakat dan negara-negara mereka,” ujar Gupta.

Pencatatan kelahiran memang tak hanya penting bagi seseorang tapi juga negara. Sayangnya, pencatatannya masih rendah. Ini karena ada beberapa faktor yang menjadi pemicunya. Di beberapa negara, hal ini disebabkan biaya pencatatan dan pembuatan akta kelahiran yang mahal. Persoalan akte kelahiran tidak dikeluarkan karena tidak ada bukti pendaftaran keluarga juga mewarnai di beberapa negara. Di Indonesia misalnya, ada syarat surat nikah orang tua untuk terbitnya akta kelahiran. Masalah ketidaksadaran hukum, hambatan budaya juga menentukan.

Menurut UNICEF, kelahiran yang tak terdaftar merupakan gejala ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat. Anak-anak yang paling terpengaruh oleh ketidakadilan ini termasuk anak-anak dari kelompok etnis atau agama tertentu, anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan atau terpencil, anak-anak dari keluarga miskin atau anak-anak dari ibu yang tidak berpendidikan.

Pola pencatatan kelahiran global lebih banyak anak yang terdaftar di daerah perkotaan sebesar 76 persen, sedangkan pedesaan hanya 58 persen. Anak-anak dari rumah tangga kaya hampir 80 persen sudah terdaftar, dibandingkan dari rumah tangga termiskin sebesar 40 persen. Untungnya meski pencatatan kelahiran ini masih menyisakan soal minimnya angka capaian, di sisi lain beberapa kesadaran soal pencatatan kelahiran masih tetap ada, terutama bagi mereka yang menyandang disabilitas.

Akta Kelahiran Braille

Kepekaan terhadap pelayanan yang diberikan negara untuk seorang anak yang dilahirkan sudah ada. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Bandung membuat inovasi pencatatan kelahiran bagi kelompok penyandang disabilitas, khususnya tunanetra, dengan nama Akta Lahir Braille.

“Orang yang tidak bisa melihat walaupun punya akta kelahiran tapi tidak bisa baca bagaimana namanya ditulis," tutur Kepala Disdukcapil Kota Bandung, Popong W. Nuraeni.

Program akta kelahiran braille di Bandung ini pertama ada di Indonesia. Untuk termin pertama, Bandung akan mencetak sekitar 400 akta lahir braille untuk 400 tunanetra di Bandung. Para tunanetra akan dapat mengakses akta lahir braille tanpa dipungut biaya.

Infografik Akta Kelahiran Braille

Kota Bandung telah mengakomodir dokumen identitas braille bagi tunanetra. Konsep sejenis, sudah berlaku di Hong Kong sebelumnya, sebuah kartu pintar yang berisi chip untuk menunjukkan identitas permanen bahwa pemegangnya memiliki hak tinggal di Hong Kong. Untuk memenuhi kebutuhan tunanetra, enam digit nomor kartu identitas bagian belakang dicetak dalam huruf braille untuk memfasilitasi tunanetra mengidentifikasi kartu identitas mereka.

Selain Hong Kong, ada Amerika dan Afrika Selatan sebagai negara yang juga telah meluncurkan kartu identitas elektronik braille. Program ini diluncurkan untuk menghormati kemerdekaan para tunanetra dalam mendapatkan lebih banyak akses ke masyarakat. Inovasi semacam ini pula harusnya menjadi inspirasi bahwa akta kelahiran memang sudah sepantasnya dimiliki tanpa pengecualian, dan negara tentunya wajib punya peranan menghadirkannya.

Baca juga artikel terkait ANAK-ANAK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Hukum
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra