Menuju konten utama

Membedah Seksualitas dan Erotisisme di Serat Centhini

Saat Nusantara belum bernama Indonesia, dan masih dipimpin oleh para raja, budaya seks dan erotis tidak berbeda dengan zaman sekarang. Bahkan saat itu seksualitas dan erotisisme dipraktikkan dengan liar.

Membedah Seksualitas dan Erotisisme di Serat Centhini
Acara Borobudur Writer and Culture Festival (BWCF) 2016 dibuka oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dengan memukul gong. Rabu (05/10). [Tirto/aya]

tirto.id - Saat Nusantara belum bernama Indonesia, dan masih dipimpin oleh para raja, budaya seksualitas dan erotisme tidak berbeda dengan zaman sekarang. Bahkan saat itu seksualitas dan erotisisme dipraktikkan dengan liar.

Hal itu tersebut terungkap saat diskusi di acara Borobudur Writer and Culture Festival (BWCF) 2016 di Plataran Hotel Resort and Spa, Borobudur, Magelang, Kamis (6/10/2016).

“Kaum di zaman kerajaan punya masalah seperti saat sekarang, seksualitas yang sangar liar,” kata Elizabeth D. Inandiak, sebagai pembicara sekaligus penerjemah Serat Centhini.

Perempuan berkebangsaan Perancis ini membeberkan awal mula tertarik untuk menerjemahkan Serat Centhini ialah dimulai dari kedatangannya ke Indonesia pertama kali tahun 1989 dalam rangka menulis tentang Islam dan Kebatinan tahun 1989. Dua orang yang ia temui pertama kali di Jakarta ialah Gus Dur dan Muhammad Rasjidi, Menteri Penerangan Indonesia (1945-1999).

Muhammad Rasjidi memberinya naskah ketikan berbahasa Inggris berjudul Kebatinan-Javanese Mysticism dan tiga naskah kejawen kuno antara lain: Darmogandul, Hidayat Jati, dan Gatoloco.

“Saya terkejut karena ia adalah orang Islam yang saleh namun memberi saya buku yang isinya menyinggung seksualitas dan erotisisme secara liar,” ujar Elizabeth.

Rasa penasarannya pada naskah-naskah kuno di Jawa pun semakin tinggi. Ia memutuskan untuk menerjemahkan Serat Centhini secara matang setelah membaca disertasi filsafat karya Muhammad Rasjidi dalam bahasa Perancis dengan judul: Considerations Critiques du Livre de Centhini (Pertimbangan kritis tentang Centhini).

Selanjutnya, Gus Dur dan Muhammad Rasjidi pun menjadi dua penafsir utama yang meluaskan pandangannya untuk menggali dan merangkai kembali nilai-nilai yang ada dalam karya setebal 4.200 halaman.

Ia menceritakan pengalamannya dalam menerjemahkan Serat Centhini. Selama menerjemahkan ia tidak menemukan orang Belanda di dalam kontak kultural tokoh di dalamnya. Ia mengira ketiadaan orang Belanda di dalam Serat Centhini karena hal itu merupakan bentuk perlawanan terhadap pengaruh Belanda pada masyarakat Jawa, sehingga keberadaan Belanda ditiadakan dalam naskah tersebut.

“Orang Belanda tidak ada bekasnya di dalam Serat Centhini, padahal naskah ini diciptakan pada masa Belanda masih bercokol di Indonesia,” ujar Elizabeth.

Sementara persoalan seksualitas dalam Serat Centhini, ia menggambarkan ajaran di dalam Serat Centhini terkait seksualitas itu seperti Borobudur. Menurutnya, Serat Centhini yang direstorasi, perlu ditafsirkan apa relevannya untuk kehidupan sekarang. “Ilmu apa yang bisa kita ambil dari serat itu dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, kalau tidak sia-sia,” katanya.

Ia menutup pemaparannya dengan mengatakan Serat Centhini merupakan mahakarya sastra dunia dan seperti semua mahakarya sastra, suluk itu dapat ditafsir dalam seribu karya baru lagi. Penafsirannya membentangkan rahim yang tak terduga, tak terbatas, yang melampaui segala loka dan kala.

Baca juga artikel terkait BWCF2016 atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh