Menuju konten utama

Membayangkan Masakan Ibu di Hari Ibu

Masakan ibu punya ciri khusus. Perihal rasa, memang relatif. Tapi benang merah masakan ibu adalah: ia dimasak dengan hati-hati.

Membayangkan Masakan Ibu di Hari Ibu
Ilustrasi masakan untuk keluarga.Chetra Ten/World Vision Cambodia

tirto.id - "Bayangkan sebuah apartemen di kota New York pada pukul enam di pagi hari." Begitulah Ruth Reichl membuka buku memoirnya yang terkenal, Tender at the Bone: Growing Up at the Table. Kopi sedang dijerang. Di meja makan, ada keranjang berisi roti rye, kue kopi, beberapa iris keju, dan sepiring kecil irisan daging. Sepagi itu, ibunda Ruth sudah sibuk di dapur. Membuat sarapan, sebuah momen yang dianggap sakral dalam keluarga Ruth.

"Sarapan itu makanan utama di keluarga kami. Kami akan duduk dengan segelas jus jeruk, bersulang seakan-akan kami memegang segelas wine," tulis Ruth.

Ibu Ruth adalah satu-satunya yang baru bangun pagi itu. Agar bersemangat, sang ibu akan menyetel radio dengan suara keras. Dengan harapan agar anggota keluarga lain bangun dan membantunya di dapur. Tapi dasar jagoan tidur, suami dan anaknya tak ada yang bangun. Kalau sudah begitu, sang ibu akan mendatangi kamarnya, menggugah suaminya.

"Sayang," katanya lembut, "Aku butuh bantuanmu. Ayo bangun dan bantu aku di dapur."

Sang ayah kemudian dengan mata masih setengah menutup, pergi ke dapur. Dia mengerjakan beberapa hal yang bisa ia bantu, kemudian menurut, membuka mulut ketika istrinya bilang, "coba ini."

Hal ini tampak lucu karena sang ibu tak benar-benar ahli dalam memasak (untuk tidak dikatakan tak bisa memasak apapun kecuali semangkuk bencana, atau sepiring pasta bersaus tragedi). Pada percobaan pertama, sang ayah bilang rasa masakan istrinya mirip jemari kucing dan gandum busuk, tapi setelah bertahun-tahun menikah konon rasanya membaik.

"Apapun rasanya," kata sang ayah, "itu masakan terburuk yang pernah aku makan."

Tapi sang ibu tetap memasak dengan riang gembira. Suami dan anaknya pun dengan terpaksa menerimanya. Ibunya juga tampak tak peduli dengan ledekan suami dan anaknya. Berkali-kali dia mencoba memasak dalam skala besar, termasuk dalam pesta ulang tahun anaknya. Tentu saja Ruth memberi saran pada sang kawan, Jeanie: jangan dimakan!

Keras kepalanya sang ibu dalam memasak ini memang komikal. Mari kita tepikan sejenak syak seksis. Memasak memang bukan kodrat ibu. Tak ada keharusan seorang ibu memasak untuk suami dan anaknya. Tapi tak ada pula yang bisa menyangkal bahwa masakan ibu selalu terasa lebih enak ketimbang makanan manapun. Kecuali kalau kamu adalah Ruth Reichl, sih.

Meski kerap didapuk sebagai nakhoda di dapur, tak semua ibu diberkahi tangan midas dalam memasak. Ibunda Ruth, misalkan. Tapi yang tentu bikin haru adalah: para ibu tanpa tangan emas dan lidah normal itu tetap berusaha memasak. Meski gagal. Meski kerap dicibir, pun diejek. Kisah dalam keluarga Ruth itu sedikit banyak membuat saya ingat pada Ibuku sendiri.

Ibuku dibesarkan dalam keluarga Banjar yang ahli memasak. Mungkin sejak usia belasan, Mamak, begitu saya memanggilnya, sudah ahli memasak. Soto Banjar. Ikan haruan masak habang. Nasi kuning. Kemudian meningkat ke masakan-masakan luar Banjar: rawon. Asem-asem daging. Sop buntut. Segala macam makanan yang bisa membuatmu bahagia. Tapi toh dia pernah khilaf juga.

Saat saya masih duduk di bangku SMP, Mamak jatuh cinta dengan kursus memasak. Di kursus itu diajarkan cara membuat makanan yang tidak pernah dia pelajari sebelumnya. Mulai dari bakpau, pizza, hingga mi pangsit. Kursus itu diadakan pada hari kerja, dua kali dalam seminggu. Pada hari Minggu, biasanya Mamak akan praktik di rumah.

Suatu kali, Mamak ingin membuat mi pangsit. Sebagai murid kursus yang baik, dia tentu berpantang membeli mi dalam kemasan. Gantinya, dia sibuk mencampur tepung terigu, telur, dan berbagai bahan lainnya untuk kemudian digiling dan dijadikan mi. Yang kebagian menguleni dan menggiling adonan tentu dua anak lelakinya: saya dan abang. Kami disandera selama beberapa jam untuk membantu Mamak di dapur.

Di luar, sore datang dengan penuh gairah. Anak-anak seumuran saya sudah memanggil untuk bermain bola di lapangan dekat rumah. "Libur dulu main bolanya, bantu Mamak aja," katanya bertitah. Dengan muka masam kami melupakan nikmatnya berlarian mengejar bola di tanah lapang.

Hingga akhirnya tugas kami selesai menjelang Maghrib. Tinggal Mamak yang menyelesaikan bagian akhir: merebus dan membumbuinya. Entah bagaimana ceritanya, ternyata mi yang direbus ini lengket satu sama lain. Membentuk semacam gundukan tepung yang sama sekali tak sedap dipandang.

"Dilihat aja tak enak, apalagi dimakan," ledekku.

Mamak mendelik, dengan ekspresi campuran antara malu dan kesal. Beliau kemudian memaksa para penghuni rumah untuk menyantap mi dengan rasa dan bentuk yang gagal itu. Jelas bukan malam terbaik kami. Tapi toh Mamak tak patah arang dengan kursus dan usahanya untuk membuat suami dan anak-anaknya bahagia. Dia tetap kursus beberapa kali. Praktik di rumah beberapa kali. Membuat pizza dengan teflon dan bakpau yang berhasil dengan gemilang.

Meski punya pengalaman traumatik dengan masakan, Ruth tetap mempunyai kecintaan menggebu terhadap dunia memasak. Dalam soal memasak, dia berhasil melampaui ibunya. Dia menulis beberapa buku masak, termasuk Gourmet Today, sebuah buku resep setebal 1.008 halaman yang mempunyai lebih dari 1.000 resep. Ruth mempunyai sebuah restoran bersama beberapa orang kawan, sekaligus merangkap sebagai juru masaknya. Selain itu, Ruth juga dikenal sebagai kritikus makanan untuk The New York Times dan Gourmet.

Tapi kemudian dia memutuskan pensiun dari dunia yang membesarkannya. Ketika ditanya alasannya, jawabannya lumayan bikin terkejut, walau tak mengherankan.

"Aku benar-benar cuma ingin pulang ke rumah dan memasak untuk keluargaku," kata perempuan kelahiran 1948 ini. "Aku rasa tak ada hal yang lebih penting bagi anak-anakmu selain bisa makan bersama keluarga."

INFOGRAFIK Masakan Ibu

Masakan Ibu di Jakarta yang Tergesa

Masakan ibu punya ciri khusus. Perihal rasa, memang relatif. Tapi benang merah masakan ibu adalah: ia dimasak dengan hati-hati. Seorang ibu akan memilihkan bahan terbaik untuk masakannya. Dimasak dengan apik dan hati-hati pula. Tak ada ketergesaan di sana. Menyaksikan ibu memasak itu seperti menonton seorang konduktor dalam memimpin orkestra. Dia tahu apa yang diinginkan, paham berapa lama ia harus menunggu, kapan saatnya bergerak, kapan saat memberi bumbu. Semua dilakukan dalam gerakan yang seperti sudah direncanakan jauh-jauh hari. Anggun, terukur, sekaligus praktis dan efisien.

Tinggal di Jakarta yang serba tergesa kemudian membuat saya sadar: memasak untuk keluarga setiap hari adalah kemewahan. Apalagi kalau kamu adalah pekerja kantoran. Tak heran kalau di Jakarta, layanan katering masakan rumahan amat berkembang. Begitu pula restoran dengan embel-embel masakan rumahan. Mereka menawarkan kepraktisan, sesuatu yang paling dicari di Jakarta.

Tapi tidak bagi Dewi Kartika. Dia lebih memilih untuk memasak sendiri untuk keluarganya. Untungnya, pekerjaannya di sebuah agensi periklanan punya jam kantor yang lebih fleksibel. Setiap pagi setelah subuh dia akan keluar rumah dan lari pagi. Setelah lari, pada pukul setengah 7 pagi, dia akan mampir ke tukang sayur untuk membeli stok bahan makanan untuk besok. Dia selalu memasak untuk 5 orang penghuni rumah: suami, anak berusia 6 tahun, seorang kerabat, asisten rumah tangga, dan dirinya sendiri.

"Selagi menunggu saya belanja, biasanya Mbak (asisten rumah tangga) yang memotong bahan-bahan. Jadi sampai di rumah, saya sudah bisa masak," kata Dewi.

Di meja makan, formasi yang biasa dibuat Dewi adalah: 1-2. Alias satu jenis sayur, dua jenis lauk. Lauk utama selalu bergantian antara ayam, daging, atau ikan. Lauk pendamping adalah tempe dan tahu, yang nyaris tak pernah absen dari meja makan. Untuk kondimennya, apalagi kalau bukan sambal.

Dewi memasak tidak untuk sekali makan. Jadi sekali masak, bisa untuk santap malam sekaligus. Anaknya akan dibawakan bekal yang sama. Setelah semua pekerjaan domestik beres, barulah Dewi berangkat ke kantor. Dari rumahnya di Depok, Jawa Barat, menuju kantor di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan. Saat siang, biasanya suami dan Dewi akan makan di luar. Sepulang kerja, barulah mereka berkumpul di rumah dan makan bersama.

“Kami jarang banget jajan.”

Begitu pula dengan usaha Maharani Pramitasari. Meski sibuk bekerja di sebuah perusahaan farmasi, ibu satu orang anak ini tetap berusaha masak untuk keluarganya. "Tapi ya tidak setiap hari sih masaknya," kata Rani sembari tertawa.

Rutinitas pagi Rani, panggilan akrabnya, cukup padat. Bangun pagi, dia lebih dulu memandikan Ilona, putrinya yang kini berusia 3 tahun. Setelah memandikan, Ilona akan diserahkan pada sang ayah yang kemudian memakaikan baju dan memupurkan bedak. Rani pergi ke dapur untuk menyiapkan bekal anaknya dan kadang-kadang membuatkan suaminya sarapan berupa roti panggang.

Pukul 8 pagi Rani sudah harus berangkat. Jarak dari rumah ke kantor memang cukup dekat, sekitar 3 kilometer. Tapi Rani dan suaminya harus mengantar Ilona ke tempat penitipan anak terlebih dulu. Karena kesibukan kerja, dia baru leluasa memasak untuk keluarga di akhir pekan. Ilona sudah punya makanan favorit: roti tawar dengan mesis, dan apapun yang digoreng dengan tepung.

Maka dia sering menyiapkan udang goreng tepung, juga brokoli goreng tepung. Kadang sup, kadang orek wortel. Dengan bersemangat Rani berkisah kalau Ilona selalu gemar menyantap apapun yang dimasak goreng tepung. "Kapan hari bikin udang goreng tepung sekitar 30 biji, 20-nya dimakan Ilona sendiri," ujarnya tertawa.

Sedangkan Dewi punya masakan andalan dari kampung halamannya, Jawa Timur: rawon. Tumbuh di keluarga yang gemar memasak dan punya ibu yang lihai menyenangkan perut, membuat Dewi punya standar tinggi perihal masakan. Selama ini di kalangan teman-temannya, masakan Dewi selalu dipuji enak. Tak pernah ada komplain sekalipun. Suami dan anaknya pun dengan senang hati menyantap masakannya.

"Tapi kalau di rumah, aku ini dianggap yang paling tak bisa memasak. Aku tak akan pernah bisa menyamai rasa masakan ibuku," katanya sembari terkekeh.

Baik Dewi maupun Rani adalah contoh seorang ibu dalam dunia modern, dalam lanskap kota megapolitan bernama Jakarta. Mereka punya pekerjaan dan karir, tapi tak lantas enggan memasak. Makanan ibu mereka menempati posisi istimewa. Membuat Dewi dan Rani ingin membesarkan anak dengan masakan sendiri: masakan ibu. Bagi mereka, memasak bisa dianggap sebagai momen intim. Sebuah persembahan bagi keluarga.

"Aku suka memasak. Karena dasarnya suka, jadi sempat gak sempat, pasti akan disempatkan memasak," kata Dewi.

Dunia terus berkembang, begitu pula pemahaman terhadap tugas dan peran ibu. Meski demikian, masakan Ibu tak akan pernah berubah posisinya. Ia akan jadi juara di masing-masing hati seorang anak. Selamanya akan begitu.

Selamat hari ibu!

Baca juga artikel terkait HARI IBU atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti