Menuju konten utama

Membandingkan IPKI & PKPI: Dua Partai Bentukan Tentara yang Memble

IPKI didirikan kolonel-kolonel non-aktif pada 1950-an. Sementara PKPI dibentuk oleh jenderal-jenderal pensiunan setelah Orba tumbang.

Membandingkan IPKI & PKPI: Dua Partai Bentukan Tentara yang Memble
Ilustrasi IPKI dan PKPI. tirto.id/Nadya

tirto.id - Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) jadi partai papan bawah dalam percaturan politik Indonesia. PKPI hanya dapat 0,23 persen suara dalam Pemilu 2019. PKPI tidak sejaya Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang dapat 1,43 persen suara (541.306 suara) dalam pemilihan DPR Pemilu 1955. Waktu itu IPKI bisa mengirim empat wakil di DPR. Sementara dalam pemilihan anggota Konstituante, IPKI dapat 1,44 persen (544.803 suara) dan berhak menempatkan delapan wakilnya.

Salah satu anggota DPR dari IPKI adalah bule bernama H.J.C. Princen. “Bulan Juni 1956, aku disumpah sebagai anggota DPR,” ingat Princen dalam autobiografinya, Kemerdekaan Memilih (1995: 155-156).

Seingat Princen juga, Abdul Haris Nasution begitu kecewa akan hasil Pemilu 1955. Soal mengapa IPKI ibarat burung emprit dalam Pemilu 1955 itu, Daud Sinjal dalam Laporan kepada bangsa: Militer Akademi Yogya (1996: 195) menyebut, “IPKI yang didirikan oleh eksponen pejuang-militer masih belum berakar.”

Nasution adalah pendiri IPKI, bersama Gatot Subroto dan Azis Saleh. Nasution mendirikan partai itu ketika dinonaktifkan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) setelah Peristiwa 17 Oktober 1952. Seperti Nasution, Gatot dan Azis adalah bekas kolonel Angkatan Darat. Para kolonel itu lalu kembali lagi ke Angkatan Darat pada 1955.

Dari IPKI inilah berdiri Pemuda Pancasila pada Hari Pemuda 1959. IPKI kemudian tampak jadi partai tak terurus. Bahkan di masa runtuhnya Sukarno.

Di masa mulai berjayanya Letnan Jenderal Soeharto, IPKI tidak dekat lagi dengan militer. Meski Soeharto orang dekatnya Gatot Subroto, Soeharto tidak dekat dengan IPKI. Pada 1960-an tampaknya mulai terbentang jarak di antara Soeharto dengan Nasution yang lebih senior.

Menurut Rum Aly dalam Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (2004: 135), sebelum Sekber Golkar dihidupkan kembali dan jaya di masa Orde Baru, ada rencana IPKI hendak dibesarkan tentara. Pendiri IPKI, Nasution, di awal Orde Baru cuma bisa jadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Pada 1971 partai ini dipimpin Hashim Ning, pengusaha nasional yang bekas pejuang kemerdekaan. Dalam Pemilu 1971, IPKI tidak lebih baik nasibnya. IPKI cuma dapat 38.403 suara (0,61 persen). “Sama sekali tidak berhasil memperoleh satu kursi pun di Dewan Perwakilan Rakyat,” tulis Rum Aly (hlm. 135).

IPKI lalu berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Nasib partai ini kemudian hanya tinggal cerita dalam sejarah politik Indonesia. Cuma ada tiga partai pada Pemilu 1977 dan sesudahnya: Golkar, PDI, dan PPP.

Membangkitkan Partai Tentara

Setelah Soeharto lengser dari kursi presiden, sekelompok jenderal bikin partai. Partai ini dideklarasikan di Jakarta pada 15 Januari 1999 dengan nama Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Sejarahnya terkait dengan Gerakan Keadilan, dan Persatuan Bangsa (GKPB) yang dirintis Siswono Yudhohusodo, Sarwono Kusumaatmadja, David Napitupulu, dan Tatto S. Pradjamanggala.

Nama terakhir—bersama mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Orde Baru Hayono Isman, mantan Wakil Presiden Jenderal Try Sutrisno, dan Jenderal Edy Sudrajat—dianggap sebagai pendiri PKP.

Saat itu Jenderal Edy Sudrajat, mantan Panglima ABRI, menjadi ketua umum partai yang dikenal sebagai partai pensiunan tentara ini. Sementara itu, meski terhitung sipil, dalam keluarga Totto dan Hayono ada yang tentara. Paman Totto adalah Kolonel Sukanda Bratamenggala yang sohor di Jawa Barat dan ayah Hayono adalah Brigadir Jenderal Mas Isman (bekas pimpinan Tentara Pelajar zaman Revolusi).

Baik Try Sutrisno dan Edy Sudrajat dianggap sebagai perwira yang dekat dengan Jenderal Benny Moerdani. Merekalah yang dicap sebagai ABRI Merah-Putih, kebetulan warna dalam lambang PKPI merah dan putih. Menurut Kivlan Zen, seperti yang ditulisnya dalam Konflik dan Integrasi TNI AD (2004: 76), ABRI Merah-Putih adalah “kelompok tentara yang dianggap nasionalis dan tidak membawa bendera agama.”

Seperti ABRI Merah-Putih, PKP (dan penerusnya PKPI) menjadi partai yang memperlihatkan diri sebagai partai nasionalis dan tidak "jual agama."

Infografik IPKI dan PKPI

undefined

Partai Tentara Tetap Gurem

Pada Pemilu 1999, pemilu pertama setelah tumbangnya Soeharto, PKP menjadi salah satu partai baru yang ikut dan memperoleh 1.065.686 suara (1,01 persen). Partai ini tidak lolos untuk maju ke pemilu berikutnya.

Sebagai partai bentukan mantan tentara yang diajarkan pantang menyerah, PKP ganti nama dengan ditambahi kata "Indonesia". Maka jadilah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dan majulah PKPI pada Pemilu 2004.

Di pemilu berikutnya, Pemilu 2009, PKPI dapat 934.892 suara (0,90 persen). Dalam Pemilu 2014 PKPI mendapat 1.143.094 suara (0,91 persen).

Di pesta demokrasi tahun ini PKPI tampak tidak bersemangat menjalani Pemilu.

Selain Try dan Edy, jenderal-jenderal yang ikut bergabung adalah Sutiyoso dan A.M. Hendropriyono. Dua mantan perwira baret merah itu pernah menjadi Ketua PKPI. Sutiyoso jadi ketua umum dari 2010 hingga 2015. Sebelum Sutiyoso ketuanya adalah putri Proklamator Mohammad Hatta, Meutia Hatta, yang menggantikan Eddy Sudradjat sejak 2006.

Sementara itu, Hendropriyono jadi Ketua Umum PKPI sejak 2016 dan mundur pada 2018. Anaknya, Diaz Hendropriyono, kini menjadi Ketua Umum PKPI.

Suramnya PKPI dalam Pemilu 2019 ini mengingatkan kita pada IPKI. Baik PKPI maupun IPKI kini menjadi bukti betapa tidak seriusnya partai yang didirikan elite tentara dalam menarik aspirasi rakyat. Sepanjang dua dekade PKPI pun hanya jadi partai gurem. IPKI sendiri tak sampai dua dekade usianya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PEMILU atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan