Menuju konten utama

Membandingkan Dua Aksi Massa di Iran

Demonstrasi Iran menyasar Presiden Hasan Rouhani dan Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei

Membandingkan Dua Aksi Massa di Iran
Para demonstran menentang sikap Presiden Iran Hassan Rouhani di luar kedutaan besar Iran, London Barat, Inggris. FOTO/REUTERS

tirto.id - Asap tahun baru 2018 di Iran tidak berasal dari kembang api, tapi dari ban yang dibakar dan gas air mata.

Demonstrasi pecah sejak Kamis (28/12/2017) lalu dan bermula dari kota terbesar kedua Mashad, lalu menyebar ke beberapa kota lainnya seperti, Karaj, Tonekabon, Kermanshah, Abhar, Dorud, hingga Teheran.

Bentrok antara demonstran dan aparat keamanan tak terhindarkan. Pos-pos polisi dan militer jadi sasaran kemarahan demonstran. Di Qahderijan, misalnya, bentrok antara aparat dan demonstran yang ingin menduduki kantor polisi pecah. Di Kermanshah, massa nyaris membakar kantor polisi. Kemudian di Teheran, polisi menggunakan gas air mata dan selang air untuk menghalau demonstran. Dilansir dari BBC, Sejauh ini tercatat korban tewas sebanyak 13 orang dan sekitar 200 orang ditahan karena “merusak fasilitas publik.”

Yel-yel "Matilah Rouhani!" merangkum keputusasaan para pendemo terkait permasalahan dari kemiskinan, pengangguran, serta tingginya angka korupsi di lingkaran pemerintah. Karena yel-yel itu pula, kaum reformis Iran menduga protes digerakkan oleh para loyalis Ibrahim Raisi, penentang kuat Rouhani pada pemilu terakhir yang mewakili kekuatan konservatif. Namun Rouhani yang baru membentuk kabinet pada Agustus 2017 lalu, bukan satu-satunya sasaran. Protes juga menyasar Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran sejak 1989, yang dalam sistem politik Iran memiliki kewenangan lebih besar melebihi presiden.

Ekonomi dalam negeri Iran sedang tidak kondusif. Pengangguran mencapai angka 12,4%, sebagian besar merupakan lulusan perguruan tinggi. Sebagaimana dilaporkan BBC, masyarakat Iran lebih miskin 15% dalam 10 tahun terakhir.

Kondisi semakin diperparah dengan sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Iran lantaran pelaksanaan program nuklir. Kendati sanksi dari P5+1 (DK PBB dan Jerman) telah dicabut berdasarkan kesepakatan tahun 2015, Amerika masih memberlakukan sanksi terkait uji coba misil Teheran Juli lalu. Di sisi lain, banyak pihak beranggapan pemerintah lebih sibuk mengurusi kebijakan luar negeri, seperti intervensi di Suriah, Lebanon, dan Palestina.

Rouhani sendiri akhirnya buka suara dan menyatakan demonstrasi adalah hak warga negara, asalkan tidak merusak fasilitas publik. "Kelihatannya protes baru-baru ini adalah ancaman, namun ini kesempatan untuk melihat apa masalah sebetulnya," tutur Rouhani dikutip oleh media berbahasa Inggris Tehran Times. Ulama yang menjabat sebagai presiden sejak 2013 lalu menjadi tumpuan kaum reformis yang berharap menyaksikan pembaruan di berbagai sektor setelah delapan tahun kepemimpinan Ahmadinejad yang ugal-ugalan.

Protes 2009

Banyak pihak mengatakan aksi massa Iran di pengujung 2017 memiliki kesamaan—terutama dalam segi jumlah peserta—dengan aksi serupa 2009. Akan tetapi, apabila ditelisik lebih jauh, kedua aksi tersebut berbeda dari segi tujuan politik, respons pemerintah, hingga kehadiran sosok pemimpin massa. Reporter Reuters Bozorgmehr Sharafedin mengatakan bahwa demonstrasi kali ini dipandang lebih serabutan dan tanpa visi politik yang kuat. Laporan Guardian menyatakan, basis massa dalam demo kali ini lebih bercorak kelas pekerja. Pada 2009, yang turun ke jalan sebagian besar adalah kelas menengah.

Demo besar 2009 adalah respons terhadap indikasi kecurangan dalam pemilihan umum yang dimenangkan Mahmoud Ahmadinejad. Dengan slogan “Where’s My Vote?”, masyarakat Iran ramai-ramai turun ke jalan menuntut hasil pemilu dibatalkan.

Pemilihan saat itu melibatkan dua calon, yakni Ahmadinejad dan Hussein Mousavi. Berdasarkan hasil pengumuman Kementerian Dalam Negeri Iran, Ahmadinejad menang dengan perolehan suara 62,6%. Sementara Mousavi mendapat 34% suara.

Mousavi yang pernah menjabat perdana menteri tak menerima hasil pemilu dan menuding telah terjadi kecurangan. Dugaan Mousavi didasarkan pada kurangnya surat suara di berbagai wilayah, penyerangan terhadap kantor kampanyenya, serta penutupan situs resmi tim kampanye Mousavi.

Untuk menyelesaikan sengkarut tersebut, Mousavi meminta Pemimpin Tertinggi Iran, Khamenei, melakukan penyelidikan. Khamenei menolak permintaan Mousavi serta mendesak dirinya untuk mendukung Ahmadinejad.

Mousavi dan para pendukungnya pun turun ke jalan. Jalan-jalan Teheran dibanjiri massa, mulai dari koalisi perempuan, kelompok muda, ulama moderat, akademisi, hingga pegiat hak asasi manusia. Nama-nama seperti Mohammad Khatami (jurnalis, oposisi reformis), Mohammad Ali Dadkah (aktivis HAM), Shadi Sadr (pengacara), sampai Kian Tajbakhsh (ilmuwan Iran-Amerika) merupakan sederet contoh tokoh ternama yang terlibat dalam demo 2009.

Dalam aksinya, mereka meminta pemerintah membatalkan hasil pemilihan serta menuntut Ahmadinejad memperbaiki tata kelola pemerintahan. Selama empat tahun berkuasa, pemerintahan Ahmadinejad ditandai oleh kebijakan ekonomi populis, politik luar negeri yang luar biasa konfrontatif, dan pengekangan atas kebebasan sipil.

Pemerintah yang melihat aksi massa meluas begitu cepat, melakukan tindakan perlawanan dengan menerjunkan Garda Revolusi (Revolutionary Guards) dan kelompok paramiliter Basij. Kedua elemen tersebut tak ragu membalas aksi demonstran dengan kekerasan, menangkapi sejumlah tokoh penting gerakan, hingga menghilangkan nyawa. Tujuannya jelas: menggembosi kekuatan massa.

“Alih-alih menjelaskan apa yang terjadi di jalanan Teheran, Iran sibuk menutupi tanggung jawab pasukan keamanan atas pembunuhan demonstran,” ungkap Sarah Leah Whitson, direktur Human Rights Watch untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. “Jelas bahwa pemimpin tertinggi Iran telah mengirimkan pesan kuat kepada pasukan keamanan untuk mengakhiri demonstrasi; terlepas dari tingkat kekerasan yang dilibatkan.”

Dilansir dari Guardian, sebanyak 2.500 orang ditangkap aparat serta puluhan lainnya tewas. Untuk korban tewas sendiri diyakini tak sebatas puluhan saja tetapi bisa mencapai ratusan.

Peran Media Sosial

Antara 2008-2009 internet di Iran masih dalam masa pertumbuhan. Layanan internet hanya tersedia di rumah, perangkat genggam, serta kafe-kafe tertentu. Berdasarkan keterangan CNN, koneksi internet di Iran “lambat dan tidak bisa diandalkan.” Hal ini membuat layanan yang membutuhkan jangkauan nirkabel lebih luas sulit dioperasikan.

Saat "Pemberontakan Hijau" meletus pada 2009, pemerintah memblokir jaringan pesan teks, sinyal telepon, sampai jejaring situs tertentu untuk membatasi gerak-gerik kelompok oposisi dan demonstran anti-pemerintah. Kendati begitu, massa tidak menyerah. Mereka lantas menggunakan Twitter dan Facebook sebagai sarana komunikasi, menyebarkan kabar terkini dari dalam negeri, mengumumkan jadwal demonstrasi, merilis peringatan soal pengawasan aparat, dan yang terpenting, menjaga elan perlawanan.

Sadar bahwa kelompok oposisi lihai menyiasati kekangan, pemerintah meningkatkan pengawasan. Beberapa cara pun ditempuh, misalnya menerapkan metode penyaringan internet yang memungkinkan pemerintah melacak informasi antar pengguna alat komunikasi dan memburu pengirimnya.

Infografik demonstrasi di iran

Pemerintah juga menyusupkan agen ke dalam kelompok oposisi guna membongkar informasi yang berkaitan dengan rencana gerakan.

Terbatasnya akses informasi yang hanya bisa didapat dari media sosial diakui mempersulit verifikasi fakta seputar demonstrasi 2009, demikian tulis CNN. Walaupun begitu, tangkapan visual yang diunggah masyarakat Iran tentang apa yang terjadi di lapangan tak jarang memunculkan kesan kuat yang turut memengaruhi opini publik lokal dan internasional. Video detik-detik terakhir tewasnya salah seorang pemrotes Neda Agha-Soltan, misalnya. Video itu dianggap telah mempertinggi eskalasi massa di jalan sekaligus mengusung sosok Agha-Soltan sebagai simbol gerakan reformasi Iran.

Dalam protes baru-baru ini, pemerintah Iran masih membatasi akses pers agar informasi dapat dikontrol sepenuhnya. Namun, massa tak kehilangan akal. Setelah Facebook dan Twitter diblokir, mereka menggunakan aplikasi Telegram dan media sosial seperti Instagram.

Akan tetapi, pemerintah Iran tak tinggal diam. Telegram yang notabene jadi alat komunikasi utama para pemrotes pun akhirnya diblokir. “Otoritas Iran memblokir akses ke Telegram untuk sebagian besar warga Iran, setelah terjadi berbagai penolakan kepada publik yang dilakukan secara damai,” cuit CEO Telegram, Pavel Durov pada 31 Desember 2017.

Pada 3 Januari 2018, Durov menambahkan: aplikasi WhatsApp dan Signal masih bisa diakses.

Dalam dua aksi massa terakhir (2009 dan 2017), media sosial memegang peranan penting. Meski pemerintah berupaya keras menutup, memblokir, dan membatasi arus informasi saat demonstrasi terjadi, masyarakat Iran selalu menemukan cara untuk berhimpun di jalan dan mengabarkan situasi ke dunia luar.

Baca juga artikel terkait IRAN atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf