Menuju konten utama

Membandingkan Cara Anies dan Ahok Menjaring Aspirasi Warga

Tiap gubernur punya caranya sendiri-sendiri dalam menampung aspirasi warga. Anies Baswedan memilih jalur yang lebih birokratis.

Membandingkan Cara Anies dan Ahok Menjaring Aspirasi Warga
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (kanan) berjabat tangan dengan calon Gubernur DKI Anies Baswedan (kiri) sebelum melakukan pertemuan di Balai Kota, Jakarta, Kamis (20/4). ANTARA FOTO.

tirto.id - Virlian Nurkristi dimintai tolong seorang kawan yang tinggal di Jalan Warung Sila, Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada 5 April 2017. Kala itu, rumah temannya kebanjiran sekitar satu meter, tapi kawannya itu tidak ada di lokasi dan meninggalkan anak dan istri.

Virlian tidak bisa membantu langsung. Ia pun memutuskan mengontak Basuki Tjahaja Purnama yang kala itu masih jadi Gubernur DKI Jakarta. Dia punya nomor Ahok, demikian Basuki kerap disapa, karena memang diumumkan di media massa.

Pesan singkat terkirim kira-kira pukul 10.00 WIB. Empat jam kemudian, Ahok ternyata membalas.

"Itu pertama kalinya kirim pesan langsung ke Pak Ahok. Karena sebelumnya kalau ada kali kotor atau jalan rusak, melaporkannya ke nomor pengaduan DKI Jakarta,” ucap Virlian kepada reporter Tirto, Kamis (18/10/2018).

Ahok tidak cuma membalas pesan satu kali. Pada balasan kedua, bekas Bupati Belitung Timur itu memberi tahu penyebab banjir sekaligus menginformasikan kalau situasi sudah terkendali.

Pengalaman ini terus terekam dalam ingatannya. Menurutnya meski baru sekali menghubungi langsung, Ahok dan para pembantunya tak pernah mengecewakan. Perempuan yang berprofesi sebagai pekerja sosial itu mencontohkan selalu ada perbaikan setelah melapor ke nomor pengaduan DKI Jakarta.

Seorang warga DKI Jakarta lain bernama Imam Sofwan juga mengatakan hal serupa. Ahok selalu cepat merespons keluhan warga.

Pada 6 Juli 2015, Imam sempat menyampaikan keluhan terkait air PDAM yang hitam dan bau. dia mengirim pesan ke ponsel Ahok pukul 05.16. Balasan muncul pukul 13.12. Isinya kira-kira begini: "Jika dinas terkait belum menindaklanjuti keluhan dalam sepekan, harap hubungi saya kembali."

"Dalam dua hari, dua petugas pipa datang. Hari berikutnya, dua petugas meteran datang. Lalu ada dua petugas lainnya. Masalahnya bisa beres dalam seminggu," ungkap Imam kepada reporter Tirto.

Daftar cerita serupa bisa jadi bakal lebih panjang jika kita memasukkan aduan warga yang langsung datang ke Balai Kota. Adalah hal yang lumrah kalau di Balai Kota banyak warga mengantre sejak pagi menunggu kedatangan Ahok yang biasa tiba pukul 7 pagi (dan Djarot yang biasa datang jam 8).

Semua berubah ketika gubernur berganti. Anies Baswedan, yang menjabat sejak 16 Oktober 2017, punya cara yang berbeda dalam menyerap aspirasi dan keluhan warga. Anies tidak menyebar nomor ponselnya. Keluhan juga dipindahkan ke kantor-kantor kelurahan. Warga memang tetap diperbolehkan datang ke Balai Kota, tapi masalah mereka hanya akan sampai di meja pengaduan.

Mengenai perubahan ini, Anies punya alasan. Katanya, mekanisme seperti Ahok merepotkan warga.

"Kami harus bisa membuat persoalan ini selesai tanpa merepotkan warga. Kasihan warga harus sampai datang ke Balai Kota," kata Anies.

Sudah Tepat?

Gaya Anies yang cenderung tertutup dan pilah-pilah ditanggapi beragam anggota dewan. Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Muhammad Suhaimi menilai apa yang dilakukan Anies sudah tepat. Ia menyebutkan, sistem yang ditetapkan seperti sekarang mampu mendorong para pejabat di berbagai tingkat lebih terbuka serta mengetahui keluhan apa saja yang dilaporkan warga DKI.

Singkatnya, Suhaimi mengklaim dampak kebijakan Anies ialah pejabat di tingkat kelurahan dan kecamatan jadi lebih mudah dijangkau.

Infografik HL Indepth Setahun Anies

Jam buka kantor pemerintahan misalnya, dibuat lebih panjang atas instruksi Anies. Pada Sabtu, kecamatan tetap buka hingga pukul 11 siang. Tujuannya, aduan warga lebih banyak yang tertampung. Dari sana baru seluruh masalah direkap untuk kemudian disampaikan dalam rapat pada Senin.

"Ini disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat masalahnya. Apa cukup untuk diselesaikan di tingkat kelurahan, atau kecamatan, dan seterusnya," ucap Suhaimi kepada reporter Tirto.

Tanggapan berbeda disampaikan Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono. Menurutnya baik Anies maupun Ahok punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun khusus Anies, pengaduan yang dirancang birokratis memang pada akhirnya memperlambat penyelesaian masalah.

"Ketika [aduan] diturunkan ke tingkat kecamatan dan kelurahan, [masalah] tidak bisa langsung dieksekusi. Ini beda dengan saat itu [Ahok]. Saat ada masyarakat mengadu maka bisa langsung dieksekusi. Karena itu perintah gubernur. Kalau ini ditampung camat, lurah, atau unit teknis, akan lambat. Dalam konteks percepatan, pola pengaduan sekarang tidak secepat dulu."

Baca juga artikel terkait PEMERINTAHAN ANIES atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino