Menuju konten utama

Membahas Lagi Band American Football & Kenapa Mereka Penting

Album yang mengubah hidupmu. Band yang sungguh memahamimu. Menyuarakan betapa patah hati itu brengsek serta kesepian sesudahnya menyebalkan. American Football!

Membahas Lagi Band American Football & Kenapa Mereka Penting
Konser American Football di Illinois, Amerika. Doc. BBC

tirto.id - Situs musik alternatif Noisey dan situs musik arus utama Rolling Stone memberi julukan band ini sebagai Godfather of Emo. Situs musik pretensius Pitchfork menyebut mereka sebagai Patron Saint of Emo.

Setelah hiatus dan sempat reuni pada 2014 lalu, band yang tak terkenal-terkenal amat, American Football, kembali melahirkan album baru. Album ini merupakan karya baru setelah 17 tahun lalu tak merilis album.

American Football adalah band emo terbaik sepanjang masa. Tapi sebesar apa American Football bagi paguyuban musik emo sedunia?

Bagi banyak orang, meminjam kata-kata Anies Baswedan, keberadaan American Football bukan soal angka penjualan album atau peringkat billboard, tapi soal perasaan yang kamu dapat usai mendengar lagu-lagu mereka. Band ini pada mulanya tak jauh beda daripada band-band emo generasi ketiga, ia menjadi sangat profetik dan partikular justru karena kemampuan meramu musikalitas yang rumit dengan lirik yang polos.

Kamu putus dan ingin melupakan, dengarkan “Never Meant”. Kamu kecewa, ingin marah, dengarkan “I'll See You When We're Both Not So Emotional”. Kamu ingin pergi, dengarkan "The Summer Ends". Sesederhana itu.

Tapi Yudhis Tira, penulis Vice Indonesia dan vokalis band Vague, mendukung pendapat ini. Di luar lirik dan musikalitas, ada hal lain yang membuat American Football menjadi sangat-sangat istimewa. Yudhis menyebut band ini tak punya tendensi untuk jadi pretenius. Musik mereka jujur dan merefleksikan banyak orang pada usia remaja. Kesederhanaan seluruh lagu American Football berusaha menerjemahkan kegelisahan remaja pada zamannya dan membuat pendengarnya merasa punya kedekatan.

“Musiknya anget gitu. Cocok sama cover albumnya yang gambar rumah,” katanya.

Meski demikian, menurut Yudhis, lagu-lagu American Football hanya akan menjadi menarik dan penting bagi mereka yang merasakan. Album penuh mereka yang dirilis pada 1999 meledak karena memberikan ruang interpertasi bagi generasi baru emo. Bagi kalangan yang mengalami dan merasakan suasana saat itu, dampak dan pengaruh mereka masih terasa hingga hari ini.

“Kalo buat yang suka musik indie/alternative masih banget sampe sekarang. Buat jenis musik kayak gitu belum ada album yang bisa ngalahin,” katanya.

American Football sayangnya terjebak pada romantisme yang spesifik. Tentang anak muda, romansa hidup, dan percintaan. Akibatnya penggemar mereka yang tumbuh susah untuk bisa merasakan kembali kondisi bertahun lalu ketika mereka sedang jatuh cinta atau kecewa. Meski demikian album baru mereka mencoba hadir lebih dewasa dengan memberikan elemen musik yang sedikit berbeda dari album yang rilis pada 1999.

“Secara lirik gua akuin gua udah susah relate. Tapi buat yang mengalami pengalaman-pengalaman kayak gitu pasti suka,” kata Yudhis.

Bagi anda yang belum pernah mendengar American Football, anda harus hati-hati agar tidak terkecoh. Mengingat tak ada nama spesifik dari album mereka.

Album pengantar mereka dibuat pada 1998 nyaris tanpa nama. Perusahaan rekaman mereka, Polyvinyl, hanya memberikan keterangan sebagai berikut: American Football EP (1998). Lantas album penuh pertama bernama American Football (1999) dan album penuh kedua bernama American Football (2016).

Susah dan menyebalkan bukan? Tapi ini yang membuat mereka menarik: American Football sama sekali tak peduli, mereka hanya ingin membuat lagu.

Noisey pada Februari lalu menurunkan wawancara panjang yang menuturkan hikayat band ini. Berbeda dengan band emo pada generasinya, American Football adalah proyek paruh waktu yang dikerjakan untuk mengisi waktu luang dan kebosanan para personilnya. Band ini mesti kita lacak kembali dari tempat mereka tumbuh di sebuah pinggiran kota Chicago, Wheeling, Illinois. Di sanalah dua personil band ini, Mike Kinsella dan Steve Holmes, tumbuh bersama.

“Aku bertemu Mike Kinsela pada tauh pertama di SMA Wheeling. Aku mengingat pertama kali melihat band (pertamanya) Cap'n Jazz bermain di sekolah kami saat makan siang,” kata Steve Holmes.

Permainan gitar Mike Kinsella membuat Steve terpukau. Ia lantas melihatnya di berbagai pentas acara bersama. Saat itu Steve sendiri belum memainkan gitar. “Saat aku sadar aku tak bisa bermain gitar, ia (Mike Kinsella) mengajak adiknya untuk bergabung bersama kami, intinya ia ingin adiknya mengajariku bermain gitar,” katanya.

Steve Lamos lantas bergabung, pemain drum dan trumpet di American Football ini juga menyimpan kekaguman terhadap Mike Kinsella. Ia belajar bermain drum dan mengembangkan diri menjadi drumer jazz agar memberi nada dominan yang berbeda terhadap band ini.

Sebelum memutuskan membuat American Football, masing-masing personil memiliki proyek sendiri. Mike Kinsella bersama Cap'n Jazz, sementara Steve Lamos bersama The One Up Downstairs. Mike sendiri merasa Steve Lamos bermain sangat bagus di band miliknya. Usai menonton gigs-nya Steve, Mike lantas berusaha mengajak mereka membentuk band baru. Sempat berpisah dan nyaris saja gagal, American Football kembali menemukan semangatnya justru ketika Steve Holmes dan Mike Kinsella memutuskan untuk tinggal bersama saat kuliah.

Indra Menus, pegiat musik dan personil band LKTDOV menyebut American Footbal berhasil membuat sebuah trademark bebunyian Midwest Emo yang esensial, yang "menjauhkan diri" dari tipikal band Emo dan Post Hardcore di era mereka berdiri.

“Membuat sound mereka menjadi karakteristik unik yang berbeda dan kemudian diikuti band lain sampai sekarang. Gak banyak juga band dengan attitude Punk di kala itu yang terpengaruh sama Steve Reich dan banyak mendengarkan musik Jazz kayak American Football,” kata Indra.

Infografik American Football

Beberapa kultus individu juga membuat band ini jadi sangat cult. “Mungkin salah satu hal lain yang membuat mereka seakan dianggap dewa karena mereka band yang jarang main live, tahu sendiri kan kalo ada band lawas nan keren yang jarang main kadang dianggap sebagai mitos,” kata Menus.

American Football sebenarnya juga semacam proyek santai di zaman ketika personilnya masih duduk di bangku kuliah. Jadi mereka memang tidak berusaha sangat keras untuk menjadi pretensius. Dan ini terlihat dari betapa sederhana musik mereka.

Menus melihat pergeseran kancah usik modern semakin saling bertautan. Melabeli jenis musik bisa jadi sangat rumit dan berpotensi salah paham.

“Jadi gak bisa juga saklek menyebut sebuah band itu alirannya Emo atau Math Rock saja. Kalo secara spesifik AF bisa saja disebut Midwest Emo, Emo/Math Rock, Indie Rock Emo atau bahkan term nyeleneh semacam Kinsella-Core dan Twinkle Daddy. Secara keseluruhan, sih, saya nyebutnya Punk simply karena mereka berani membuat sebuah musik yang out of the box di kala itu,” katanya.

Album terbaru mereka mendapat ulasan yang cukup komprehensif di Pitchfork. Ian Cohen memberikan penilaian 7,7 terhadap album ini. Cohen menganggap ada upaya kental mengulang kesuksesan materi album 1999 dalam album 2016 mereka. Hal serupa sebenarnya telah dilakukan Mike Kinsella bersama Owen dalam album The King of Whys.

Tapi Menus mengingatkan jangan berharap fans American Football akan bicara buruk tentang album baru ini. “Ya album ini seperti mengulang kembali era album awal mereka tentu saja dengan spirit baru karena adanya perubahan line up. Tapi saya rasa cukup dengerin Owen - The King Of Whys saja sudah bisa mengobati kerinduan akan AF, kok. Sebenarnya karena isi kepala-nya sama, bahkan sesi pembuatan album-nya pun di saat yang bersamaan,” katanya.

Generasi milenial mungkin akan susah mengenal dan merasakan kegelisahan dalam lagu-lagu American Football. Akhmad Alfan Rahadi, mahasiswa Universitas Brawijaya dan pegiat skena musik di Malang, menyebut band American Footbal akan selalu relevan.

“Band ini keren karena ak perlu teriak-teriak buat muasin emosi. Cukup suasana lengang dan pembicaraan telpon yang sedikit fluktuatif secara emosional. Atau di tengah derasnya hujan maupun di balik kaca bis dan kereta api,” katanya. Bagi Alfan American Football akan selalu aktual karena musiknya bisa diajak melamun untuk memikirkan hal-hal yang meresahkan sembari merencanakan solusi.

Alfan menyebut bahwa di tangan American Football beberapa elemen emo generasi ketiga mulai dikembangkan, seperti penggunaan alat musik trompet dan nuansa math rock yang lebih fleksibel ketimbang teman sejawatnya yang menawarkan kerumitan. Meski bukan band emo pertama yang menawarkan konsep bermusik yang menggunakan trompet dan math rock, tapi baru pada American Football ini jadi penting dan relevan.

“Emo yang seakan mentok di nuansa revolution summer ternyata bisa dimasuki bebunyian terompet. Yang diteruskan oleh Prawn, Collossal dan Algernon Cadwallader. Tentu saja ini tidak lepas dari andil Cap 'n Jazz,” katanya.

American Football memang menjadi salah satu cara menghadapi yang paling menyedihkan. Tentang menghadapi kesepian usai perpisahan. Ada masa di mana kamu begitu merasakan pedih karena tidak mampu untuk berdiri tegak. Perasaan yang merepotkan karena kamu harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan banyak orang. Perpisahan mengajarkanmu untuk meratap, barangkali juga untuk mengasihani diri sendiri.

Kau mungkin bisa bertahan di hadapan banyak orang. Tapi tidak saat sendiri, kamu tidak punya seorang pun untuk berbagi. Lagu “Never Meant” dari band ini adalah yang paling penting.

Saat sedih berbagai jenis eskapisme memberikanmu pilihan. Beberapa remaja memilih untuk mendengarkan musik sebagai jalan keluar. Bagi penggemarnya American Football lebih dari sekedar band. Band ini memberikanmu kekuatan untuk berdiri tegak, ketika perpisahan terjadi dan kamu sedang begitu sendiri.

Baca juga artikel terkait MUSIK atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Musik
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS