Menuju konten utama

Membaca Polemik "Full Day School"

Wacana "full day school" mendapat reaksi penolakan dari beberapa elemen masyarakat. Apa yang menyebabkan program yang diklaim sebagai pengembangan pendidikan karakter ini dianggap belum sesuai diterapkan dalam waktu dekat?

Membaca Polemik
Siswa kelas I mengikuti kegiatan belajar di Ruang kelas Sekolah Dasar Negeri (SDN) Galunggung I, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekolah tersebut sudah menerapkan program sekolah sepanjang hari (full day school) sejak 2007 meneruskan program sekolah berbasis Internasional. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

tirto.id - “Indonesia ini kacau karena kesalahan pendidikannya. Untuk cari 11 pesepakbola saja susah dan ini kesalahan dari pendidikan,” ujar Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).

Pernyataan ini muncul pada Senin (3/7), saat Muhadjir menjadi Pembina Upacara di Kantor Gubernur Riau, Pekanbaru. Pada kesempatan itu pula Muhadjir mencoba mengklarifikasi mengenai polemik wacana “full day school” yang berkembang di masyarakat sejak digulirkan sekitar Agustus tahun lalu.

Ada 11 Pasal Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2017 tentang hari sekolah. Poin yang sempat jadi masalah adalah mengenai Pasal 1 ayat satu yang menyebutkan: "Hari sekolah dilaksanakan 8 jam dalam 1 hari atau 40 jam selama 5 hari dalam 1 minggu".

Durasi yang panjang di sekolah membuat masyarakat melihat bahwa peserta didik akan menghabiskan waktu sampai jam 3 atau 4 sore, jika ia masuk sekolah dari jam 7 pagi. Soal ini, tentu masih perlu ada pembahasan lagi karena durasi 1 jam pelajaran di sekolah tidak selalu sama dengan durasi 1 jam pada waktu normal.

“Jangan salah tafsir delapan jam anak ditahan di sekolah. Saya tegaskan bahwa kementerian tidak ada program ‘full day school’, tolong guru jangan ikut-ikutan. Memang ada istilah itu, tapi yang kita laksanakan adalah program penguatan karakter,” tegas Muhadjir kala itu.

Pada tataran ideal, gagasan ini memang punya niatan bagus. Salah satunya mengenai optimalisasi tugas guru sebagai pengajar dan pengawas. Juga untuk memenuhi hak guru sebagai pekerja. Jika peraturan sebelumnya mengharuskan seorang guru maksimal 24 jam dalam sepekan, dengan aturan ini, seorang guru akan mendapatkan beban maksimal 40 jam dalam sepekan.

Sepintas aturan ini memang menambah beban guru. Namun dengan adanya peraturan bahwa kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler juga akan dimasukkan sebagai jam pelajaran, maka hal ini justru memudahkan guru untuk mendapat tunjangan profesi.

“Maka per harinya seperti PNS, karena berdasarkan PP yang lama banyak guru tak bisa penuhi 24 jam tatap muka. Akibatnya banyak guru terpaksa mengajar di luar (sekolah lain) agar dapat tunjangan profesi,” terang Muhadjir.

Program pendidikan karakter yang di dalamnya memasukkan elemen religius, nasionalis, mandiri, gotong-royong, dan integritas ini akan lebih masuk akal direalisasikan jika waktu peserta didik lebih lama dihabiskan di sekolah. Tentu saja dengan catatan proses belajar tidak harus selalu di dalam kelas.

Peraturan ini merupakan upaya agar peserta didik tidak terlalu banyak menghabiskan waktu lebih banyak di luar sekolah. Hal inilah yang kemudian membuat pengawasan negara (dalam hal ini sekolah) akan sangat lemah dalam mengontrol perilaku mereka.

Soal sulitnya mengontrol perilaku di luar sekolah tersebut sebelumnya sempat dilontarkan Presiden Joko Widodo di Ponorogo 19 September 2016 lalu. “Kalau kita lihat di media sosial, Twitter, Instagram, komentar-komentar di media online, saling menghujat, merendahkan orang lain, saling mengolok. Apakah itu nilai Islami Indonesia?” kata Presiden.

“Kita ingin etika, sopan santun, betul-betul diterapkan di dalam ekstrakurikuler maupun dalam kurikulumnya sendiri,” kata Jokowi.

Full day school kemudian dianggap sebagai salah satu solusi untuk memperbaiki karakter bangsa, dengan menyasar peserta didik di seluruh pelosok negeri dengan “pengawasan” intensif oleh negara melalui sekolah.

Namun, Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa (12/8/2016) menilai wacana sekolah sehari penuh belum bisa diterapkan di seluruh sekolah di Indonesia. Ini mengingat persoalan di daerah dan metode pembelajaran yang efektif sangat bergantung dengan situasi di daerah masing-masing.

“Bergantung daerah, kesiapan sekolah dan sarana prasarana yang ada di sekolah. Kalau di sekolah yang ada enam kelas, gurunya cuma ada dua atau tiga, sekolah sehari penuh pasti memberatkan guru,” jelas Khofifah.

Selanjutnya, Khofifah juga menjelaskan bahwa bisa jadi ada beberapa daerah yang memang siap untuk menerapkan program ini karena punya fasilitas dan tenaga pengajar yang mumpuni. “Mungkin di kota, ada sekolah yang bisa menerapkan sehari penuh,” tuturnya.

Program semacam ini sebenarnya juga sudah diterapkan di salah satu lembaga pendidikan tertua di Nusantara. Lembaga pendidikan yang sangat kental dengan pendidikan karakter. Yang sudah dikenal cukup mempuni melahirkan peserta didik dengan karakter yang kuat bahkan sejak Indonesia berdiri menjadi negara.

“Contohnya anak saya sendiri yang bersekolah di pesantren. Malam hari pun dia masih harus masuk kelas,” ujar Khofifah.

infografik sekolah sehari penuh

Pesantren dan Full Day School

Di sisi lain, wacana ini juga dinilai akan mengancam pola pendidikan di pesantren yang sudah menerapkan full day school secara harfiah sejak dahulu. Hanya saja, tetap saja ada perbedaan antara pendidikan pesantren dan program full day school. Sistem di pesantren sifatnya cenderung masih opsional. Tidak semua peserta didik di seluruh negeri harus masuk pesantren. Artinya, pesantren hadir sebagai alternatif dari pendidikan formal pada umumnya.

Sedangkan program full day school, meski disinyalir akan diterapkan secara bertahap, akan tetapi sifatnya adalah kewajiban. Semua peserta didik dan sekolah, mau tidak mau harus melaksanakannya jika program ini disahkan nantinya.

Inilah yang kemudian membuat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara tegas menolak kebijakan ini. “PBNU menolak keras full day school lima hari sekolah delapan jam sehari,” kata Said Aqil Siradj (15/6). “Penerapan lima hari belajar, ada asumsi anak kota terjerumus dalam pergaulan tidak baik itu tidak sepenuhnya benar,” tambah Said Aqil.

Ini dikarenakan Madrasah Diniyah akan menjadi korban. Lembaga pendidikan agama di pesantren yang biasanya memiliki durasi waktu dari siang hari (dimulai antara pukul 1 atau 2 siang) dan diakhiri pada sore hari (pukul 4 atau 5 petang). Dengan penerapan aturan ini, dikhawatirkan Madrasah Diniyah akan menjadi “korban”.

"Agar tidak disalah pahami oleh masyarakat, khususnya kalangan pondok pesantren, Madrasah Diniyah yang menganggap bahwa kebijakan ini akan merugikan mereka. Jadi perlu ada sosialisasi lebih masif kalau memang kebijakan ini dilaksanakan," kata Lukman Hakim, Menteri Agama.

Pada praktiknya, sekolah di pesantren yang memiliki lembaga sekolah umum di dalam yayasan pesantren, tidak sepenuhnya murni mengikuti peraturan Kemendikbud. Seperti misalnya, hari libur yang tidak jatuh pada hari Minggu tapi ada pada hari Jumat. Apalagi ada juga pesantren yang tidak menggunakan kurikulum resmi dari Kemendikbud. Seperti Pondok Gontor di Ponorogo misalnya, yang menggunakan kalender Hijriah untuk tahun ajarannya, sehingga tahun ajaran baru akan dimulai pada bulan Syawal.

Akan tetapi, bukan soal potensi Madrasah Diniyah yang akan jadi korban yang membuat PBNU masih bereaksi keras. Program ini dinilai hanya melihat perspektif masyarakat kota dan tidak ramah dengan masyarakat pedesaan yang—tentu saja—jauh lebih banyak jumlahnya di Indonesia.

Wacana full day school sepertinya masih akan menuai pro dan kontra berkepanjangan.

Baca juga artikel terkait FULL DAY SCHOOL atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti