Menuju konten utama

Membaca Pilgub Jakarta dari Pengalaman Pilpres Amerika

Persamaan dan perbedaan kontestasi antara J.F. Kennedy vs Richard Nixon di Amerika dengan Pilkada Jakarta.

Membaca Pilgub Jakarta dari Pengalaman Pilpres Amerika
Airlangga Pribadi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pilkada Jakarta 2017 telah berakhir. Penggunaan sentimen ras dan agama yang berpotensi memperluas kebencian di masyarakat, tidak saja di Jakarta yang kosmopolit tapi juga di tempat-tempat lainnya, berpotensi lebih awet dari proses politiknya itu sendiri.

Sejumlah pihak mencemooh keprihatinan atas potensi merebaknya kebencian sebagai efek dari Pilkada Jakarta, dan menganggap keprihatinan itu sebagai kecemasan berlebihan. Sikap tersebut bahkan diutarakan pihak-pihak yang ikut merancang strategi politik pecah belah dengan dukungan kekuatan elite politik-bisnis oligarki masa lalu (Orde Baru). Sikap tidak bertanggungjawab itu membuat mereka tidak berbeda dengan pembakar rumah yang mencemooh siapapun yang berusaha memadamkan api.

Dalam perebutan kekuasaan dan sumber-sumber kemakmuran, kontestasi berbau gender, suku, ras maupun agama kerap terjadi. Pertarungan seringkali semakin beringas ketika sentimen antar golongan dikompori dengan argumentasi mayoritas dan minoritas. Namun, sebelum kita menerimanya sebagai kewajaran, pertama-tama harus diingat bahwa di dalam tatanan negara modern, politik hadir untuk memoderasi segenap atribut-aribut kultural tersebut agar tidak menjadi tirani yang menghancurkan ruang hidup bersama. Politik dalam tatanan negara modern bertugas mendisiplinkan segenap sentimen-sentimen ras, agama, etnis dan gender, agar setiap warga—apapun identitasnya—tetap mendapat perlindungan hukum dan hak-hak yang setara sebagai warganegara, citizen atau citoyen.

Inilah yang membuat sistem demokrasi bukan semata pengatur rotasi pemerintahan secara berkala via pemilu, melainkan penjamin kesetaraan hak dan perlindungan hukum. Inilah perbedaan prinsipil yang memisahkan negara-bangsa modern dengan corak kehidupan sosial a la tribalisme/klan. Dalam ketegangan mengelola kontestasi politik yang kerapkali menggunakan identitas kultural dan pendisiplinan hidup bersama inilah berlangsung dinamika hidup negara modern.

Kennedy vs Nixon, 1960

Perlu ditekankan, sentimen primordial yang meluber dan mengangkangi respek antar warga negara seperti yang terjadi di Indonesia belakangan ini tidaklah unik. Amerika Serikat, negara dengan pengalaman panjang berdemokrasi, sudah kenyang hal serupa. Namun demikian, penggunaan analogi pengalaman politik yang berlangsung di Amerika Serikat—khususnya pasca-Perang Dunia II—semestinya tidak dilakukan asal-asalan.

Dalam pesan berantai atas nama Eep Saefulloh Fatah, konsultan politik kubu Anies-Sandi, disebutkan bahwa kontestasiPemilihan Presiden Amerika Serikat 1960 yang memperhadapkan John F. Kennedy dengan Richard Nixon adalah contoh kontestasi yang memanfaatkan sentimen agama dan mayoritas versus minoritas. Contoh tersebut dicatut untuk menjelaskan dinamika kegaduhan Pilkada DKI 2017 lalu.

Eep agak sembrono dalam memahami studi perbandingan politik. Benar bahwa tidak mudah bagi Kennedy untuk memenangkan kursi Amerika Serikat 1, mengingat latar belakangnya sebagai penganut Katolik yang menjadi minoritas di negara berpopulasi mayoritas Protestan. Namun yang tidak dicermati dalam analogi tersebut adalah bagaimana gaya berpolitik Richard Nixon. Nixon memang mendapat dukungan dari kalangan kaukus Christian Majority, seperti Pendeta Billy Graham yang memiliki pengaruh luas di kalangan konservatif. Namun, Nixon memoderasi isu agama dalam batas-batas keadaban demokrasi dan kesetaraan. Sentimen politik antara kalangan Kristen Protestan dan Katolik tidak disebarkan sedemikian rupa untuk mengembangbiakkan kebencian terhadap kalangan minoritas Katolik.

Seperti diutarakan Shaun A. Casey (2009) dalam The Making of a Catholic President: Kennedy vs. Nixon, bentuk moderasi politik atas pertarungan antara Kennedy dan Nixon berlangsung dalam kerangka isu sekularisasi (pemisahan agama dan politik) sebagai prinsip politik yang menjadi konsensus bernegara di Amerika Serikat. Pertanyaan yang diajukan kepada Kennedy kira-kira begini: apakah sebagai seorang Katholik dia mampu memimpin Amerika Serikat dengan tetap memisahkan keyakinan agamanya dari kepemimpinan politik, atau dia akan lebih tunduk pada otoritas Vatikan, termasuk dalam penyusunan kebijakan publik?

Sebagai catatan, Protestanisme seringkali dianggap sebagai salah satu identitas kultural utama yang menopang narasi kebangsaan Amerika. Protestan adalah agama mayoritas pendatang Eropa (terutama Jerman) yang berimigrasi ke seberang Atlantik setelah konflik antara gereja-gereja pendukung Reformasi (kemudian menjadi Protestan) dan Gereja Katolik. Sebelum Kennedy terpilih, sentimen anti-Katolik di Amerika sangat tinggi. Bahkan, para penganut Katolik menjadi sasaran teror kelompok rasis seperti Ku Klux Klan.

Nixon, sebagai politisi konservatif-tengah, cukup berusaha merawat tradisi politik Amerika Serikat. Ia menggiring tiap pertentangan politik ke tengah dan berusaha menunjukkan kesetiaannya pada prinsip-prinsip utama budaya politik di Amerika Serikat. Sementara melalui orasi-orasi politiknya, Kennedy dengan cerdas dan piawai memperlihatkan kesetiaannya pada prinsip-prinsip sekularisasi agama yang menjadi tradisi fundamental dari kehidupan bernegara di Amerika Serikat.

Sikap tersebut, salah satunya, ditunjukkan dengan tidak mencium cincin Paus. Pesan yang ingin disampaikan oleh tindakan simbolik itu adalah: ia tidak tunduk pada otoritas Vatikan. Selain itu ia pun sukses meraup dukungan kalangan Protestan, terutama dari warga kulit hitam yang sedang memperjuangkan hak-hak sipil supaya setara dengan warga kulit putih (Casey 2009; Carty 2004).

Berkebalikan dari klaim dalam pesan berantai di atas, Pilpres AS 1960 justru memberikan teladan bahwa sentimen kultural berhasil direm sehingga tidak menjadi sumber kebencian yang berlebihan di antara kelompok-kelompok kultural. Ini terang bedanya dengan pengarusutamaan sentimen primordial dalam Pilgub Jakarta lalu. Pengorganisiran masjid-masjid dilakukan tidak untuk menegakkan nilai-nilai keadaban sipil. Alih-alih, masjid dipolitisir untuk mempopulerkan label “kafir” dan “munafik” di dalam kontes politik maupun di dalam kehidupan sosial.

Obama vs McCain, 2008

Masih belum cukup? Pilpres AS 2008 yang mempertemukan Barrack Obama dan John McCain pun pantas jadi renungan. Bukan soal adu strategi kampanye yang menarik untuk diperbincangkan, melainkan keutamaan publik (public virtue) dari dua kandidat berhasil mencegah bara di akar rumput.

John McCain menyadari bahwa kampanye berjalan tidak sehat dan disesaki kebencian berbalut ras dan agama (Arab dan Muslim), karena provokasi dan kampanye agresif dari Sarah Palin (cawapres McCain). McCain, veteran perang Vietnam itu, sejenak mengambil jarak dari kebisingan dan memutuskan untuk menghentikan gemuruh kebencian dengan cara menegur konstituennya.

Banyak dari pemilih McCain membenci Obama. Alasannya, mereka termakan rumor bahwa Obama sebenarnya adalah orang Arab, dan karena dia Arab, maka dia Islam, dan karena dia Islam maka ia mendukung terorisme. Demikianlah persepsi kelompok ultra-kanan di Amerika Serikat tentang Arab dan Islam.

Mendengar respons seorang ibu tua berkulit putih yang menjadi pendukungnya, tanpa diduga McCain menjawab, “Tidak Bu, Obama bukan Arab, bukan pula teroris, kita tidak perlu menebarkan kebencian seperti itu. Dia adalah warga negara Amerika Serikat yang baik dan memiliki perbedaan konsepsi dengan saya, dan itulah mengapa kami berkompetisi dalam Pilpres kali ini”. (Kusman 2017).

Banyak kemungkinan mengapa John McCain mengambil langkah politik seperti itu. Dari sudut pandang realisme politik, bisa jadi langkah itu diambil McCain untuk mengambil hati para pemilih moderat Amerika Serikat yang menolak stigmatisasi ras dan agama. Tidak tertutup kemungkinan pula bahwa pilihan itu diambil untuk menjaga keadaban politik Amerika Serikat dari ancaman semakin meruncingnya benturan antar identitas. Apapun motif politiknya, tindakan McCain telah menyelamatkan negerinya dari mendalamnya rasisme maupun kebencian terhadap kaum imigran sebagai buah dari kampanye politiknya.

Trump vs Hillary, 2016

Pilgub Jakarta 2017 lalu sebenarnya lebih mirip Pilpres AS 2016, dengan Donald Trump dan Hillary Clinton sebagai dua kanditas yang bersaing. Kesamaan terletak bukan pada mereka yang bertarung merepresentasikan figur dari dua identitas kultural yang berbeda, melainkan pada aliansi sosial-politik yang dirangkul dan wacana yang diproduksi dalam kontestasi elektoral.

Di tengah gelombang pasang populisme kanan yang ditandai agitasi kebencian terhadap imigran, kaum minoritas Muslim maupun kecemasan atas proses pemiskinan di kalangan kelas menengah dan kaum pekerja kulit putih, Donald Trump mengeksploitasi kebencian dan menjadikannya jalan emas menuju Gedung Putih.

Kampanye Trump tentang perlunya mengembalikan kejayaan Amerika (“Make America Great Again”) telah melempar imigran Muslim, Arab dan Timur-Tengah serta kalangan Hispanik ke altar pengorbanan, demi menyatukan kaum kulit putih AS di bilik suara. Berita bohong (hoax) dikerahkan. Konsolidasi kelompok-kelompok kebencian Stop Islamization of America (SIOA), kaum neo-fasis Alt-Right yang mengusung nasionalisme kulit putih, dan kelompok populis sayap kanan Tea Party digencarkan untuk melawan Hillary Clinton yang menjadi lambang kemapanan. Hasilnya ia sukses terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat dengan ongkos sosial yang besar: modal sosial Amerika Serikat hancur dan beragam kelompok minoritas hidup di bawah ancaman keberpihakan aparat negara atas kaum rasis dan intoleran (Kusman 2017).

Hal yang sama terlihat pada Pilkada Jakarta 2017 lalu. Kemenangan kubu Anies-Sandi diraih dengan menungangi dan memfabrikasi label "kafir" dan "munafik", "pribumi" dan "non-pribumi", tanpa adanya koreksi elite politik terhadap sulutan api kebencian di akar rumput. Persoalan inilah—bukan semata-mata kemenangan Anies-Sandi dan kekalahan Ahok-Djarot—yang menuai keprihatinan banyak pihak. Isu kepemimpinan Ahok sendiri, yang dihinggapi banyak masalah seperti reklamasi dan penggusuran yang merugikan kaum miskin kota, justru tidak menonjol dalam kampanye.

Ini pelajaran penting bagi para konsultan politik manapun yang menganjurkan strategi pecah-belah. Mereka sebenarnya tidak lepas dari kewajiban menjaga dimensi etik-kewargaan dalam kehidupan bernegara.

Asosiasi Konsultan Politik Amerika Serikat bahkan memiliki kode etik profesi yang secara tegas menyebutkan bahwa konsultan politik tidak akan memanfaatkan isu rasisme, seksisme, intoleransi agama dan berbagai bentuk diskriminasi lain yang melanggar hukum, dan akan mengutuk mereka yang memanfaatkan sentimen-sentimen tersebut. Para konsultan politik di Amerika Serikat akan bekerja berdasarkan pada hak-hak memilih dan perlakuan yang setara bagi seluruh warga negara. Apabila kualitas demokrasi elektoral ingin bertambah baik, kode etik profesi seperti ini perlu dirancang segera.

Dengan menyulut api kebencian, kampanye para pendukung Anies-Sandi telah membelokkan semangat religiusitas menjadi sarana dan aset politik untuk mempertajam antagonisme kultural di kalangan masyarakat Jakarta, yang berpotensi menyebar di banyak tempat. Lebih-lebih, strategi menebar kebencian ini—cara yang sangat murah dan murahan—sangat mungkin direproduksi di tempat-tempat lain dalam momen-momen Pilkada sampai Pilpres mendatang.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.