Menuju konten utama
Resensi Buku

Membaca Anatomi Mimpi

Ulasan dan resensi kumpulan cerpen Pemuda Celaka dan Ciuman Italia (2021) karya Muhammad Qadhafi

Membaca Anatomi Mimpi
Kumpulan cerita Pemuda Celaka dan Ciuman Italia (2021) yang ditulis Muhammad Qadhafi. Foto/Abdul Hadi

tirto.id - Bagaimana jika prosa hanya dituliskan dari mimpi? Tanpa ada tambahan apa pun, Muhammad Qadhafi mencatat detail-detail mimpinya dengan rinci hingga lahir cerita-cerita unik yang tidak tunduk pada pakem struktur prosa konvensional. Sependek pengetahuan saya, Pemuda Celaka & Ciuman Italia (2021) adalah satu-satunya kumpulan cerita di Indonesia yang ditulis murni dari mimpi.

Di panggung sastra dunia, setahu saya, hanya Naguib Mahfouz yang pernah menuliskan cerpen dari transkrip mimpinya, terangkum dalam The Dreams (2005) dan The Dreams of Departure (2007). Jika perkiraan saya benar, Muhammad Qadhafi adalah orang kedua yang menempuh jalan yang sama.

Sebenarnya, cukup banyak sastrawan yang menuliskan cerita berdasarkan inspirasi dari mimpi. Namun, hal itu sekadar pijakan (starting point) untuk mengembangkan ide, alur yang masuk akal, serta kemudian mengompromikannya dengan struktur pakem prosa atau target pembaca yang dituju. Bukan seperti yang dilakukan Naguib Mahfouz atau Muhammad Qadhafi.

Melalui kata pengantarnya, Qadhafi menuliskan bahwa selama empat tahun, ia mengakrabi mimpi dan rajin mencatat setiap detail mimpi yang ia alami ketika tidur. Dua puluh satu dari ratusan draft mimpinya dipilih pada kumpulan cerpen ini (Hlm. 6).

Membaca Pemuda Celaka & Ciuman Italia (2021), kita diajak untuk menjelajahi dunia alam bawah sadar. Semesta yang memampangkan abnormalitas, pelanggaran respons perasaan, hingga realitas yang sirkuler. Inti cerita yang dibawakan Muhammad Qadhafi tergolong unik, meskipun (sebagian) tidak kuat sebagai cerita, namun karena dideskripsikan dengan apik, transkrip mimpinya layak untuk diikuti. Beberapa keunikan yang tercatat dalam kumpulan cerita ini bisa ditarik dalam tiga garis besar.

Pertama, semua cerita yang terbuhul dalam buku ini tergolong tak lazim. Lagi pula, apa yang lazim dari mimpi? Uniknya, meskipun aneh, tak wajar, dan sangat abnormal, selalu ada kausalitas, sebab-akibat yang hanya bisa dipahami lewat semesta mimpi.

Sebagai misal, pada cerita pertama "Kehilangan Halte", tokoh aku yang bermaksud pulang ke rumah tidak menemukan halte bus Trans Jogja yang biasa ia datangi. Ternyata halte itu dipindahkan, menempel di dinding sebuah mal. Untuk bisa naik bus Trans Jogja, tokoh aku harus memanjat, serta bersusah payah merambat di permukaan dinding mal seperti cicak.

Nyatanya, setelah menemukan halte yang bertempat di dinding mal pun, tokoh aku ketinggalan bus Trans Jogja. Sebagai gantinya, petugas Trans Jogja bersedia menawarkan tumpangan yang tak kalah aneh: digendong hingga sampai parkiran mal, serta dipinjami motor untuk pulang ke rumah.

Demikian juga dengan cerita-cerita mimpi yang lain, agaknya Qadhafi memang memilihkan cerita mimpi yang aneh dan sureal. Namun, justru dengan keanehannya itulah, cerita ini menarik untuk dibaca.

Kedua, abnormalitas cerita itu berlanjut dengan hadirnya pelanggaran respons perasaan. Sebagai misal, apabila seseorang sedih, akan menjadi tak lazim jika diekspresikan dengan tertawa terbahak-bahak.

Hal demikianlah yang saya temukan ketika menggauli cerita bertajuk "Kota Mati". Meskipun tidak seekstrem ilustrasi di atas, namun tokoh aku pada cerita tersebut terluka, serta hampir putus nadinya. Namun, tokoh aku tampak biasa-biasa saja. Meskipun darah mengucur, ia tetap melanjutkan pencariannya untuk keluar dari Kota Mati, latar tempat cerita tersebut.

Beberapa waktu kemudian, darahnya mengering, seolah tak terjadi apa-apa, tidak ada juga rasa khawatir seperti pada lazimnya orang yang panik ketika terluka.

Ketiga, sebagian cerita dalam buku ini juga memiliki realitas sirkuler, tidak terikat tempat dan waktu. Ruang dan waktu dialami secara acak oleh tokoh cerita. Sebut saja cerita "Puasa Tanpa Puasa", tokoh aku yang masuk ke toilet di rumah makan, namun ketika keluar dari toilet tersebut, ia malah berada di rumah orang tuanya. Hal yang sama juga ditemui di cerita "Pulang Jalan Pulang", tokoh aku yang masuk ke salah satu pintu Candi Borobudur, namun di dalamnya ia justru sampai di ruang pameran.

Selain dari keunikan-keunikan di atas, lewat Pemuda Celaka & Ciuman Italia ini, kita bisa menengok anatomi mimpi secara telanjang. Pasalnya, dalam acara peluncuran buku ini yang diadakan di Omah Petroek, Sleman, Yogyakarta pada Selasa, 25 Januari 2022, Qadhafi menyatakan bahwa ia tidak menambah dan mengurangi apa pun dari cerita mimpi yang ia alami.

Menurut saya, jika memang benar demikian, sebenarnya tetap ada penambahan (atau pengurangan). Bagaimanapun juga, Qadhafi mendeskripsikan mimpinya ke dalam teks. Ketika ada perpindahan medium, alih wujud mimpi yang dialami lewat pikiran alam bawah sadar dituangkan ke dalam deskripsi kata-kata. Yang dilihat oleh “mata” dan dialami pikiran tentu berbeda daripada yang terwujud dalam teks.

Renungan Mimpi

Hal unik lainnya dari cerita Qadhafi adalah renungan filosofis dalam mimpi-mimpinya. Sebenarnya, hal ini patut diragukan, apakah benar ketika bermimpi, kita merenung dan berpikir selama mengalami kejadian alam bawah sadar tersebut?

Bagi orang yang abai atau tak peduli dengan mimpi-mimpinya, bisa jadi akan lekas lupa, apalagi jika tak segera dicatat. Namun, jika konsisten mencatat mimpi tersebut, sebenarnya setiap mimpi mengalami keunikan masing-masing. Hal itulah yang direkomendasikan Sigmund Freud jika ingin menganalisis mimpi-mimpi yang kita alami saat tidur.

Misalnya, pada cerita “Kehilangan Halte”, ada renungan filosofis, nyaris ke arah nihilisme. Tokoh aku merenungkan kehilangan yang ia alami dalam bentuk pertanyaan: “Kenapa aku juga harus merasa kehilangan halte, jarak, dan waktu—segala yang tentu saja bukan milikku” (Hlm. 16). Saat si tokoh merenungi hal itu, ia tidak merasa kehilangan lagi sebab ia kemudian sadar bahwa semua hal di dunia ini memang bukan miliknya. Lantas, untuk apa ia merasa kehilangan? Hal yang sama juga pernah disampaikan tokoh wayang, Togog dalam cerpen “Raja Kuru” (Kompas, 2/5/2010) yang ditulis Yanusa Nugroho. "Perasaan takut kehilangan. Kehilangan karena kita merasa memiliki ... "

Renungan filosofis dalam Pemuda Celaka & Ciuman Italia (2021) juga ditemui dalam cerita "Kotoran Lahir dan Terbuang", "Pulang Jalan Pulang", dan mimpi-mimpi lainnya.

Sebenarnya, renungan dalam mimpi semacam ini juga tertuang dalam mimpi-mimpi Naguib Mahfouz pada The Dreams (2005). Di sini, akan saya kutipkan mimpi terakhir Naguib Mahfouz (sebelum ia meninggal) yang bertajuk “Mimpi 104”:

"Aku melihat diriku di masa Dinasti Abbasiyah, berjalan-jalan di dalam keluasan kenangan. Di sana, aku teringat pada Nyonya Mata. Ingin bertemu, aku meneleponnya, mengundang untuk bersua di dekat air terjun.

Di sisi air terjun, aku menyambut Nyonya Mata dengan hati berseri-beseri. Setelah itu, aku mengajaknya bercengkrama di Kafe Fishawi yang dulu sering kami kunjungi sewaktu remaja.

Ketika sampai di kafe tersebut, penjual buku buta lantas menghampiri dan menyambut kami dengan hangat, sembari menyinggung Nyonya Mata yang nyaris tak pernah berkunjung lagi ke kafenya.

Nyonya Mata berkilah bahwa ia tak bisa datang ke kafe tersebut karena bertemu dengan Kematian. Namun, penjual buku buta menyangkal dalih tersebut, sebab, menurutnya Kematian tak akan pernah menemui dua orang yang saling mencintai ... " (The Dreams, 2005: 128)

Kematian tak akan pernah menemui dua orang yang saling mencintai. Itulah renungan dalam mimpi Naguib Mahfouz, mimpi terakhir sebelum ia benar-benar dijemput kematian.

Demikianlah, bahkan renungan filosofis pun lahir dari mimpi-mimpi, yang mungkin kerap kita alami, namun menguap karena tak pernah dituliskan. Di buku ini, Muhammad Qadhafi menuliskan perenungan tersebut dengan detail lewat Pemuda Celaka & Ciuman Italia.

Judul Buku: Pemuda Celaka & Ciuman Italia

Penulis: Muhammad Qadhafi

Penerbit: Basabasi

Cetakan: Pertama, November 2021

Jumlah Halaman: 172 Halaman

ISBN: 978-623-305-248-1

Baca juga artikel terkait RESENSI BUKU atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Iswara N Raditya

Artikel Terkait