Menuju konten utama

Memasuki "Elevation", Merasakan Labirin Tiga Lantai Andra Matin

Elevation, karya instalasi non-seni pertama yang dipamerakan di museum MACAN.

Memasuki
Arsitek asal Indonesia Andra Matin di depan karyanya pada ajang Venice Architecture Biennale 2018 bertajuk "Elevation". ANTARA News/ Sella Panduarsa Gareta

tirto.id - Ada satu hal yang perlu diingat jika Anda hendak memasuki karya arsitek Andra Matin: jangan berekspektasi. Jangan berpikir Anda akan mudah menemukan pintu atau ruangan-ruangan lain dalam sebuah bangunan. Lupakan itu semua. Ruang-ruang karya Andra tak ubahnya lorong labirin yang memaksa Anda belok ke kanan-kiri serta naik-turun tangga berkali-kali sebelum sampai ke ruang tujuan.

Sederhananya begini: untuk bisa masuk ke kamar tidur utama, seorang pemilik rumah bisa jadi harus keluar dari bangunan utama, melewati jalan setapak yang menanjak di tengah taman terbuka, menaiki beberapa anak tangga, dan membelokkan langkah kaki agar sampai di depan pintu kamar. Dan tentu masih ada kelokan lain sebelum sampai di depan tempat tidur.

Rumit, bukan? Prinsip Andra, sebisa mungkin orang merasakan berbagai sensasi ketika memasuki sebuah ruangan.

“Terang, gelap, naik, turun, angin, bayangan. Apa saja yang bisa terlihat dan terasa bila kita menengok ke atas, ke samping, ke belakang, dan ke bawah dari sudut pandang yang berbeda,” katanya kepada Tirto ketika ditemui area publik Museum MACAN usai jam operasional museum.

Beberapa langkah dari tempat kami bicara, berdirilah instalasi Elevation, sebuah karya arsitektik tiga lantai yang memuat maket beberapa rumah adat di Indonesia. Elevation dipamerkan di Venice Architecture Biennale pada Mei-November 2018 lalu di Arsenale Corderie, Venesia, Italia. Ini kali pertama instalasi tersebut dipamerkan di dalam negeri.

Kurator museum MACAN, Asri Winata mengatakan timnya ingin mencoba memamerkan karya non-seni murni di dalam museum. Karya Andra terpilih karena dianggap sesuai tema pameran "Matter and Place" yang bertujuan melihat berbagai pola interaksi antara manusia dan ruang.

“Aku pikir aku dapat pesan spam.” kata Aang—sapaan Andra—kala mengingat surel yang masuk ke akunnya pada September 2017. Surat yang dikirim kurator biennale arsitektur menyatakan Andra diundang secara resmi untuk membuat pameran instalasi dalam ekshibisi dua tahunan itu.

Wajar bila Andra kaget. Ia paham betul sulitnya mencari sponsor dan pitching konsep karya untuk ditampilkan dalam pameran. Tahun lalu, Indonesia ikut serta dalam pameran arsitektur ini. Sebagian besar dana pameran disediakan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).

Sekitar enam bulan sebelum pameran dimulai, Bekraf bersama Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) menyelenggarakan sayembara bagi para arsitek yang tertarik untuk ikut biennale bertajuk Free Space. Waktu itu sayembara dimenangkan arsitek Ary Indra. Karya Ary dipamerkan di paviliun Indonesia, area yang berbeda dengan tempat karya Andra dipamerkan.

Di saat para arsitek peserta sayembara merancang konsep pameran, Andra berdiskusi langsung dengan kurator Venice Biennale tentang ide karya. Ia diminta merahasiakan undangan pameran dari siapapun, termasuk para staf di biro arsitektur andramatin.

Andra cuma punya waktu kurang dari seminggu untuk merumuskan konsep pameran. Selama itu pula ia kebingungan.

“Saya hanya diberi ruang sebesar 5x5 meter. Tadinya sempat berpikir untuk menampilkan karya sendiri, tapi rasanya lebih baik bila menampilkan ragam bentuk arsitektur vernakular Indonesia dan meletakkannya dalam ruang bertingkat. Elevation menandakan negeri ini punya berbagai rumah adat dengan tinggi yang berbeda. Ada rumah terendah yang berlantai tanah. Ada rumah pohon seperti rumah adat suku Korowai, Papua,” tutur Andra.

Lalu muncul ide untuk melapisi fasad dengan anyaman rotan asli. Andra menetapkan perpaduan berbagai motif kain tradisional Indonesia—misalnya batik kawung dan tenun Sumba—sebagai motif anyaman.

“Perlu sekitar 24 pekerja untuk mengerjakan anyaman itu. Banyak dari mereka yang menyerah di tengah jalan saking susahnya mengerjakan motif tersebut. Di sela lekuk anyaman, para perajin harus membuat garis vertikal. Itu jadi salah satu hal yang paling menantang,” tutur Lim Masulin, pendiri perusahaan penyedia rotan Byo Living.

Beberapa saat setelah menerima ajakan kerjasama dari Andra, Lim sempat cemas. Ia membayangkan karya Andra ada di antara instalasi dari Italia dan Spanyol, dua negara yang punya keahlian cukup mumpuni dalam menganyam.

“Yang saya pikir, bagaimana cara membuktikan bahwa keterampilan kita tidak kalah baik dengan negara lain. Konsep yang diberikan Andra kebetulan bisa menunjukkan hal itu. Dan bahkan sampai membuat pekerja resign,” lanjut Lim berseloroh.

Maka jadilah fasad yang terdiri dari anyaman dua dan tiga dimensi dengan serat-serat rotan yang masih nampak jelas.

“Saya ingin kesannya raw. Rotan tidak dirapikan. Kayu jabon yang jadi material utama instalasi pun tidak diplitur,” kata Andra.

Ruang instalasi hanya boleh dimasuki empat sampai lima orang di saat bersamaan. Aturan ini dibuat atas dasar pertimbangan keamanan dan keleluasaan orang dalam mengelilingi ruang.

Normalnya pengunjung hanya boleh berada di dalam instalasi selama lima menit. Hari itu saya punya lebih banyak waktu untuk berada dalam instalasi ini. Hal yang mungkin mustahil terjadi untuk beberapa minggu ke depan. Pada hari pertama ekshibisi, Elevation dikunjungi sekitar 500-an orang. Antrian yang di depan instalasi mengingatkan pada antrian instalasi Infinity Room karya Yayoi Kusama yang dipamerkan pada Mei-September 2018.

Infografik Instalasi Elevation Andra Matin

undefined

Lewat Elevation, Andra membuat pengunjung menyusuri lorong-lorong, menaiki tangga berliku, memaksa kedua bola mata memandang segala sudut ruang agar bisa menemukan miniatur rumah adat. Rumah-rumah itu tak jadi primadona dalam pameran. Nampaknya Andra lebih tertarik untuk membuat sensasi menyusuri ruang bermain serupa puzzle yang membuat orang bertanya-tanya benda apa yang terletak di ujung tangga dan bagaimana ia meletakkannya.

Seperti ketika ia menaruh maket rumah adat suku Korowai di bagian tengah ruang. Rumah itu nampak melayang. Ketika kita melihat ke bawah, yang terlihat ialah sekat-sekat serupa permainan labirin. Hal yang terjadi setelahnya, Tirto kebingungan mencari letak pintu keluar instalasi.

“Sebenarnya Elevation ini mau menunjukkan tiga hal: arsitektur vernakular Indonesia, keterampilan perajin, dan pengalaman orang merasakan karya Andra Matin,”. Dan yang terakhir tentu jadi yang dominan.

Baca juga artikel terkait PAMERAN SENI atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf