Menuju konten utama

Memanggil Presiden Jokowi dengan Cak Jancuk, Bisakah Dijerat Hukum?

Bisakah orang-orang yang menyebut Jokowi dengan Cak Jancuk dijerat delik pidana?

Memanggil Presiden Jokowi dengan Cak Jancuk, Bisakah Dijerat Hukum?
Calon Presiden petahana Joko Widodo (kanan) menyapa masyarakat saat menghadiri Deklarasi Dukungan Koalisi Alumni Diponegoro di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Minggu (3/2/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Pemberian gelar "Cak Jancuk" terhadap presiden sekaligus calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) oleh kelompok pendukungnya di Jawa Timur menuai kontroversi. Hal ini dipicu dua diantaranya oleh perkara etika kepantasan dan kemungkinan menjadikan delik hukum kepada orang-orang yang menyebut kepala negara dengan istilah jancuk.

Dari sisi etis pengamat politik dari Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie menilai kata jancuk sangat kurang sopan dan tidak layak disematkan kepada seorang presiden. Jerry mengatakan mestinya kelompok pendukung Jokowi tidak sembarangan memberikan julukan tersebut.

"Seseorang kalau memberikan gelar, jangan sembarangan. Apalagi kepada seorang presiden," ujar Jerry kepada reporter Tirto, Selasa (5/1/2019).

Seharusnya pendukung Jokowi mengkaji secara bahasa terlebih dahulu kata jancuk. Menurutnya, kajian itu penting agar tidak menimbulkan simpang siur, apalagi sampai membuat kegaduhan di publik.

"Kan presiden ada (punya) ahli budaya dan bahasa juga," katanya.

"Menggunakan bahasa daerah dan atribut sebaiknya perlu dibicarakan apa efek dominonya. Keuntungan dan kekurangannya apa? Karena saat ini rentan cibiran dan kritikan."

Senada dengan Jerry pegiat media sosial Darmansyah juga menilai julukan "Cak Jancuk" untuk Jokowi tidak tepat. Sebab, kata dia, kata jancuk merupakan ungkapan yang terkesan kurang ajar dalam penggunaan tata bahasa sehari-hari.

"Pada umumnya, kata itu [Jancuk] digunakan sebagai umpatan untuk meluapkan emosi, marah, atau untuk membenci dan mengumpat seseorang," ujarnya.

Menurut Darmansyah, presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan merupakan jabatan yang dihormati dan tidak sepantasnya untuk dilecehkan, apalagi menggunakan kata-kata yang terkesan kasar.

Penggunaan kata jancuk juga dianggap berkonotasi negatif oleh kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Namun juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade, enggan menanggapi polemik ini lebih jauh.

"Saya kan bukan orang Jawa tapi setahu saya jancuk itu kan agak negatif. Jadi tidak etis kami mengomentari itu," kata Andre kepada reporter Tirto, Rabu (6/2/2019).

Politikus Partai Gerindra ini mengatakan, polemik gelar "Cak Jancuk" biar diselesaikan oleh internal pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin.

Tak Selalu Bermakna Umpatan

Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Puji Karyanto menilai kata jancuk dalam konteks budaya Jawa Timur tidak selalu bermakna umpatan.

"Kalau dalam konteks kejawatimuran kata jancuk itu memang tidak bermakna tunggal ada banyak makna yg ada di dalamnya," kata Puji kepada reporter Tirto, Rabu (6/2/2019).

Puji menjelaskan salah satu makna kata jancuk adalah pisuhan atau umpatan. Kemudian jancuk juga merupakan sapaan akrab dalam budaya Jawa Timur. Tetapi, kata itu hanya digunakan kepada orang yang sudah akrab.

"Teman-teman di Surabaya itu biasanya kalau sudah akrab pasti menyapanya seperti itu. Tidak mungkin kalau belum akrab berani menyapa kawannya dengan sapaan cuk," ujarnya.

Selain itu, tambah Puji, kata jancuk juga digunakan untuk menggambarkan ekstase (kenikmatan) yang tiada duanya. Namun, kata jancuk tidak hanya mengacu pada kenikmatan hubungan badan, tapi juga nikmatnya makanan atau lainnya.

Puji memaklumi jika ada sebagian masyarakat yang merasa julukan "Cak Jancuk" tidak etis. Menurutnya, makna dari suatu kata juga bergantung kesepakatan sosialnya.

Selain itu, seharusnya masyarakat juga melihat konteks situasi ketika julukan itu diberikan. Menurutnya, julukan Cak-Jancuk yang diberikan oleh MC Djadi Galajapo merupakan akronim dari Cakap, Agamis, Kreatif, Jantan, Cakap, Ulet, dan Komitmen.

Bukan Pidana

Pemberian gelar "Cak Jancuk" kepada Jokwi juga dinilai tak dapat dipidana. Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, beralasan ada konteks budaya yang harus diperhitungkan.

"Perbedaan budaya ini harus dipahami sedemikian rupa, sehingga orang tidak mudah untuk membawanya ke ranah hukum," kata Ficar kepada reporter Tirto, Rabu (6/2/2019).

Ficar menjelaskan, masyarakat Indonesia umumnya memiliki budaya yang terbuka dan terus terang. Tapi ada juga masyarakat yang memiliki budaya tertutup. Ada sebagian kata yang di salah satu masyarakat dianggap tak sopan, tapi di masyarakat lain dianggap biasa saja.

Dalam konteks budaya tersebut, ia menilai julukan "Cak Jancuk" yang disematkan oleh Pendukung Jokowi di Jawa Timur itu bukanlah hinaan atau umpatan, melainkan sapaan akrab dari masyarakat setempat.

"Jadi pemberian gelar 'Cak Jancuk' kepada seorang capres tidak bisa dan tidak boleh dimaknai sebagai penghinaan atau apapun yang melanggar hukum," ujar Ficar.

Lebih lanjut Ficar mengatakan, pasal penghinaan presiden di KUHP pun telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Pasal tersebut dinilai dapat dijadikan alat represi penguasa kepada rakyatnya.

Kubu Jokowi-Ma'ruf juga tak mau gegabah mempidanakan seseorang bila ia mengucapkan kata jancuk kepada Jokowi. Direktur Komunikasi Politik TKN Jokowi-Ma'ruf, Usman Kansong, mengatakan akan melihat konteks ucapan jancuk tersebut.

"Enggak lah. Belum sampai sejauh itu, kita pasti lihat dulu maksud diucapkannya kata tersebut," kata Usman kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PRESIDEN JOKOWI atau tulisan lainnya dari Gilang Ramadhan

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto, Dieqy Hasbi Widhana, Mohammad Bernie & Riyan Setiawan
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Gilang Ramadhan