Menuju konten utama

Memahami Aspirasi dan Perilaku Politik Generasi Z

Riset tentang perilaku politik generasi Z masih kelewat menyederhanakannya semata dalam proses elektoral.

Memahami Aspirasi dan Perilaku Politik Generasi Z
avatar kolumnis Aulia Nastiti

tirto.id - Saya sangat mengapresiasi laporan Tirto soal generasi Z, mengingat minimnya data empirik soal generasi masa depan ini. Sayangnya, penelitian Tirto dirancang seperti riset konsumen ala Nielsen, fokus pada perilaku belanja dan gaya hidup. Hanya ada satu artikel yang bersinggungan dengan peran politik generasi Z (baca: Visual Report Masa Depan di Tangan Generasi Z).

Sikap politik generasi Z penting dicermati sebagai sandaran pembuatan kebijakan yang menyasar mereka. Saya setuju dengan pernyataan Jokowi bahwa generasi Z akan mengubah wajah politik Indonesia—walaupun ke arah mana dan bagaimana perubahannya tidak dijelaskan. Karena itu, saya tertarik untuk menganalisis lebih jauh generasi Z dalam kaca mata perilaku politik. Seperti apa corak aspirasi politik generasi Z dan bagaimana mendorong partisipasi mereka di ruang publik?

Generasi Z dan Politik dalam Kajian

Di Indonesia, riset mengenai sikap politik generasi Z masih fokus soal perilaku memilih. Dengan bentuk piramida penduduk ekspansif, data KPU mencatat bahwa pemilih potensial usia 10-20 tahun mencapai 46 juta. Tak ayal, berbagai program pendidikan politik dilakukan untuk menggaet suara kaum muda ini.

Tetapi, terlalu sempit melihat aspirasi politik generasi Z hanya lewat bilik suara. Riset mengenai generasi Z di Amerika Serikat (AS) dan Inggris juga mengungkap sikap politik generasi Z soal isu-isu publik disertai rasionalisasi mengenai pengalaman sejarah, tren budaya, dan nilai-nilai yang mendasarinya.

Survei Center for Generational Kinetics (2016) menggarisbawahi generasi Z di AS dapat dikatakan “liberal dalam hal hak asasi indvidu, tetapi konservatif secara finansial”. Mereka berasal dari keluarga imigran yang multirasial. Dibanding pendahulunya, lebih sedikit generasi Z yang mengganggap imigrasi adalah problem. Isu yang menjadi perhatian generasi Z adalah kesetaraan gender dan orientasi seksual, serta pemerataan kesempatan bagi minoritas.

Tetapi, dibanding milenial, mereka lebih skeptis terhadap status quo. Mereka tumbuh pasca serangan 9/11, dibesarkan orang tua yang terkena dampak resesi ekonomi 2008, serta polarisasi politik yang tajam. Kepercayaan terhadap pemerintah tergolong rendah, hanya mencapai sekitar 26%. Walaupun lebih dari 60% generasi Z menganggap bahwa partisipasi politik penting bagi perubahan sosial, hanya 46% yang menganggap voting dalam Pemilu dapat berdampak langsung.

Data dari Eropa Barat menunjukkan pola serupa. Penelitian Komisi Eropa (2013) menemukan bahwa generasi Z memandang bahwa bilik suara hanya salah satu kanal partisipasi saja. Konektivitas digital telah membentuk generasi Z di Inggris untuk merasa sebagai warga global yang harus peduli isu internasional, terutama yang berdampak secara regional, seperti terorisme dan krisis pengungsi di Eropa.

Meski demikian, konektivitas ini juga menciptakan kontradiksi. Di satu sisi, generasi Z terlihat lebih cepat dan tanggap untuk terjun ke masyarakat. Di sisi lain, konektivitas digital mengisolasi mereka dalam ruang politik yang partisan. Ada kecenderungan melihat dunia secara terpolarisasi dan mengakibatkan diskoneksi sosial dalam dunia nyata.

Politik Generasi Z di Indonesia

Generasi Z di Indonesia adalah digital native angkatan pertama, terutama mereka yang lahir di perkotaan. Konsumsi informasi bisa menjadi kunci memahami partisipasi mereka. Media sosial menjadi referensi sekaligus alat partisipasi dalam diskursus publik. Seperti halnya riset di Inggris dan AS, tren menunjukkan politisasi anak muda dilakukan lewat beragam cara, tidak eksklusif lewat kaderisasi parpol atau ormas sayapnya.

Corak yang berbeda dari generasi sebelumnya adalah makin banyaknya aksi yang dilakukan secara personal dan diinisiasi oleh individu, bukan organisasi. Contohnya, banyak tersebar pemuda usia 17-21 tahun (angkatan tertua generasi Z) yang menjadi social influencer lewat unggahan di Facebook atau foto di Instagram, menyampaikan pendapat di Vlog atau Line, menghimpun dana sosial lewat Kitabisa.com, mengajukan petisi via Change.org, menulis gagasan lewat kultwit ataupun kolom opini, hingga membuat meme untuk menyindir pejabat. Intinya, apa yang bisa dimulai dari diri sendiri melalui gawai masing-masing.

Komunitas mereka beranggotakan serangkaian audiens yang dikhayalkan. Layaknya imagined communities, mereka tidak saling mengenal, tetapi terkoneksi lewat akun media sosial yang mereka ikuti—entah karena ingin mencontoh atau mengkritik. Hanya saja, aksi politik mereka (dalam arti luas, termasuk status dan komen) cenderung didasari bukan oleh bingkai ideologi atau ikatan kebangsaan, tetapi preferensi personal yang pragmatis.

Partisipasi personal via media sosial bisa jadi pengalaman universal generasi Z. Tetapi, Indonesia punya pengalaman sejarah, nilai, dan lingkungan yang berbeda. Formative experiences ini membentuk konteks yang khas bagi generasi Z di Indonesia. Generasi Z di Indonesia lahir di masa postreformasi dan pertumbuhan ekonomi. Mereka juga tumbuh paralel dengan terciptanya kelas menengah urban dengan identitas religius (terutama Islam) yang makin mengemuka.

Orang tua mereka mengalami mobilitas vertikal. Daya beli meningkat dengan menonjolkan identitas agama dalam mengkonsumsi, baik barang, tren budaya, gagasan, dan keyakinan. Mulai dari memasukkan anak ke sekolah agama, memilih pakaian syar’i, makanan halal, perumahan Islami, menonton tayangan dakwah, memilih pemimpin seiman. Meski tidak melihat identitas tertentu, hasil riset Tirto mengkonfirmasi bahwa pengambilan keputusan belanja generasi Z ditentukan orang tua—bisa jadi karena mereka belum mandiri secara finansial.

Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menyebut bahwa sebagai generasi yang berpendidikan baik dan melek informasi, generasi Z memilih dengan rasional. Saya rasa terlalu dini untuk menyimpulkan demikian. Tidak hanya dalam belanja, orang tua juga masih memegang andil dalam menentukan bagaimana generasi Z memilih di bilik suara. Wawancara CNN Student menunjukkan dalam Pilkada DKI, siswa SMA masih mengikuti pilihan orang tua. Sinar Harapan juga mencatat dalam Pileg 2014 banyak pemilih pemula memilih calon legislatif berdasarkan popularitas atau kekerabatan.

Melek teknologi dan berpendidikan tak selalu identik kecerdasan politik. Di satu sisi, mereka terbuka dengan berbagai informasi dan ide-ide yang terserak di linimasa. Di sisi lain, mereka akan terpancang pada identitas yang ditanamkan orang tua, terutama dalam keluarga yang religius—dengan kadar beragam dalam spektrum moderat-konservatif. Tentu, pengamatan saya bias kota. Data yang konklusif perlu mempertimbangkan disparitas dalam generasi Z, terutama antara urban-rural, serta siswa SMA, mahasiswa, dan yang sudah bekerja.

Memahami yang Dibutuhkan Generasi Z

Tetapi ada ruang untuk tetap optimis. Survei yang dilakukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) untuk pemilih pemula setingkat SMA di Medan, Jayapura dan Depok menunjukkan bahwa generasi Z sudah menunjukkan kesadaran berpolitik, ditandai dengan komitmen untuk tidak mengambil uang kampanye (money politics), mengikuti isu pemilu di media sosial, serta menganggap bahwa pendidikan politik urgen untuk dilakukan

Tantangannya adalah memformulasikan pendidikan politik apa yang tepat. Bagaimana caranya agar anak-anak tidak gampang menyerukan untuk “bunuh-bunuh” karena perbedaan agama. Selain itu bagaimana ranah politik praktis mampu memberikan ruang partisipasi bagi generasi Z yang menuju gerbang kedewasaan.

Sistem regenerasi tradisional yang dilakukan mayoritas parpol mungkin tidak cocok dengan minat generasi Z. Pidato yang membosankan hanya akan memicu sindiran, memberikan kuis berhadiah sepeda dan sulap kini lebih disenangi. Konsep politik dengan narasi abstrak akan sulit bertanding dengan posting di media sosial yang menunjukkan bagaimana pejabat “turun tangan” dan “kerja, kerja, kerja”. Isu yang lebih populer adalah yang langsung bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari.

Pejabat, wakil rakyat, dan tokoh masyarakat perlu berbenah agar tak kehabisan stok pemimpin yang tak hanya piawai menarik followers, tetapi juga punya visi dan berkomitmen bagi perjuangan rakyat.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.