Menuju konten utama

Melindungi Teripang dari Bayang-bayang Kepunahan

Eksploitasi terus menerus terhadap teripang di perairan Indonesia membuat jumlahnya semakin menipis. Namun, ada beberapa wilayah justru menerapkan kearifan lokal untuk melestarikan makhluk laut ini.

Melindungi Teripang dari Bayang-bayang Kepunahan
Ilustrasi teripang. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Selama berabad-abad teripang atau timun laut sudah menjadi komoditi ekspor yang menjanjikan. Bahkan dalam catatan sejarah, para pelaut Makassar pada Abad ke-17 sudah berlayar hingga Benua Australia demi mendapatkan teripang dari para bangsa Aborigin. Di pasar internasional, teripang biasanya diperdagangkan dalam bentuk daging dan kulit kering.

Hingga kini, teripang merupakan salah satu sumber daya hayati laut ekonomis penting dan mempunyai peluang pasar yang luas hingga ekspor. Ekspor teripang dari Indonesia selalu mengalami peningkatan ke beberapa negara tujuan seperti Singapura, Hong Kong, Cina, Korea, Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Di negara tujuan ekspor seperti Cina, pemanfaatan teripang sudah lama dilakukan sejak dinasti Ming. Teripang jadi hidangan istimewa pada perayaan pesta dan hari-hari besar.

Selain itu, teripang juga mempunyai khasiat pengobatan untuk beberapa penyakit. Secara medis, tubuh dan kulit teripang jenis Stichopus japonicus juga diketahui berkhasiat menyembuhkan penyakit ginjal, paru-paru basah, anemia, antiinflamasi, dan mencegah arteriosklerosis serta penuaan jaringan tubuh. Teripang punya kadar protein tinggi dan mengandung asam lemak tak jenuh yang penting untuk kesehatan jantung. Di Indonesia, pemanfaatan teripang juga sudah lama digunakan sebagai bahan pangan yang bernilai gizi tinggi dan lezat.

Tak mengherankan teripang jadi buruan meski tak mudah mendapatkannya karena para pemburu harus menyelam. Teripang hidup di ekosistem terumbu karang sampai dengan kedalaman 40 meter. Jenis teripang yang bernilai ekonomis tinggi berada di kedalaman 5 sampai 30 meter. Sementara teripang yang bernilai ekonomis sedang dan rendah menempati area perairan dengan kedalaman kurang dari 2 meter.

Umumnya teripang menyukai dasar laut berpasir halus yang banyak ditumbuhi tanaman pelindung seperti lamun dan sejenisnya, serta bebas dari hempasan ombak. Biasanya teripang muncul pada malam hari pada permukaan dasar perairan di waktu menjelang pasang untuk mencari makan di perairan.

Perairan Indonesia yang kaya terumbu karang jadi tempat yang cocok untuk teripang, antara lain di Madura, Bali, Lombok, Aceh, Bengkulu, Bangka, Riau dan sekitarnya. Daerah lain seperti Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Maluku, Papua, Timor, NTT, NTB, Kepulauan Seribu, Rembang, serta Laut Jawa juga menyimpan teripang dengan beragam jenis. Di Indonesia terdapat 350 jenis timun laut dan 54 jenis di antaranya diperdagangkan.

The International Union for Conservation of Nature (IUCN) sebagai lembaga konservasi internasional telah melakukan evaluasi terhadap status populasi beberapa spesies teripang di berbagai belahan dunia. IUCN mencatat lebih dari 1.200 jenis timun laut dan 66 jenis di antaranya adalah teripang.

IUCN mengklasifikasikan status keterancaman teripang menjadi empat ketegori. Pertama, kategori endangered yang termasuk pada jenis teripang pasir, teripang susun, dan teripang nanas. Kedua, kategori vulnerable yang diisi jenis teripang susun. Ketiga ada kategori least concern yakni teripang kridou bintik, dan terakhir ada kategori deficient untuk teripang duri.

Berbagai status teripang itu menandakan secara umum makhluk laut ini sedang terancam dari kepunahan. Hal inilah yang kemudian mendorong Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) membahas kemungkinan teripang masuk dalam daftar Appendix II CITES. Artinya, segala pengambilan teripang dari alam bebas akan dibatasi berdasar kuota yang telah disetujui dengan memperhatikan kelestarian Sumber Daya Alam. Pembahasannya kini masih menjadi agenda penting yang selalu diangkat dalam pengusulan daftar Appendix di CITES.

Kekhawatiran dunia memang sangat beralasan, jumlah teripang di alam bebas kini sudah mengalami kemerosotan, sehingga beberapa negara sudah mengembangbiakkan teripang di luar habitatnya secara eksitu. Sayangnya, di Indonesia pasokan teripang untuk ekspor masih mengandalkan tangkapan dari alam. Eksploitasi terhadap teripang masih terus terjadi.

Infografik Teripang

Acaman terhadap kelestarian teripang di perairan Indonesia bukan mengada-ada. Untungnya masih ada orang-orang yang peduli dengan kelestarian teripang seperti warga di Kampung Folley Raja Ampat, Papua Barat. Di Kampung Folley, masyarakatnya sudah sejak turun temurun menjalankan kearifan lokal dengan sebutan "Sasi" untuk melestarikan teripang di kawasan itu.

Sasi berasal dari kata “saksi” yang berarti larangan terhadap panen, penangkapan, atau pengambilan tanpa izin terhadap sumberdaya tertentu yang secara subsisten atau ekonomis bermanfaat bagi masyarakat. Jadi, ketika tradisi Sasi diberlakukan, atau biasa disebut "penutupan sasi", maka masyarakat dilarang mengambil teripang pada lokasi Sasi. Teripang hanya boleh diambil pada waktu yang telah disepakati, masyarakat biasa menyebutnya dengan "pembukaan Sasi". Saat itulah teripang baru boleh diambil dengan ukuran panjang minimum 16 cm. Jika di bawah itu, maka tangkapan harus dilepaskan lagi demi menjaga keberlangsungan hidup teripang.

Warga kampung Folley baru terbiasa dengan aturan penangkapan teripang sejak 2012. Sebelumnya, mereka menangkap teripang dengan sembarang tanpa mempertimbangkan ukuran teripang, sampai kemudian tim peneliti dari The Nature Concervancy (TNC) melakukan edukasi manfaat ekonomi teripang didasarkan pada ukuran tubuhnya. Semakin teripang dibiarkan terus besar maka nilainya makin ekonomis.

Dari edukasi tersebut, masyarakat akhirnya memahami, teripang dengan ukuran kecil, tidak membawa banyak manfaat ekonomi karena harganya lebih rendah. Di samping itu, teripang sulit melakukan regenerasi dan akibatnya tangkapan teripang semakin menurun setiap tahun.

“Sebelumnya, teripang kita sudah mau habis, tapi dengan sasi aturan ukuran ini, bisa mengembalikan hasil di laut, dan bisa bertambah,” ujar Yohanes Fadimpo (72) tokoh adat setempat.

Yang unik dari pelaksanaan sasi ini adalah kepercayaan adat di sana. Sebelum penutupan sasi, masyarakat biasanya melakukan upacara adat. Papan bertuliskan “lokasi sasi” dibawa ke gereja untuk didoakan oleh pendeta. Setelah didoakan, tokoh adat memimpin upacara adat dari gereja ke tempat lokasi Sasi dengan membuang pinang, sirih, tembakau ke laut.

Sirih dan pinang disajikan kepada para arwah di laut agar mereka bisa ikut merasakan kenikmatan menginang seperti kebiasaan masyarakat setempat. Hukuman akan datang secara ghaib kepada mereka yang nekat mencari teripang saat Sasi masih ditutup. Akibatnya tak main-main, para pencuri itu bisa kehilangan nyawa sebelum sempat menjual hasil tangkapan.

Sebagai negara kepulauan, masyarakat Indonesia memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya laut yang berkelanjutan. Kearifan lokal menjadi benteng melindungi sumberdaya dari kegiatan eksploitasi yang merusak dan berlebihan, termasuk terhadap teripang yang bernilai ekonomis.

Baca juga artikel terkait PERIKANAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra