Menuju konten utama

Melihat Rambu Solo di Sangalla: Kemuliaan di Tana Toraja

Usai bersemayam di tongkonan selama 4 tahun, tibalah Ne’ Bu’tu diantarkan menuju kedamaian abadi lewat prosesi rambu' solo.

Melihat Rambu Solo di Sangalla: Kemuliaan di Tana Toraja
Kain merah menjulur dari rumah tongkonan besar untuk menurunkan peti jenazah Ne'Butu ke lumbung. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Acara penerimaan tamu memang belum diadakan. Tapi, hampir tiap hari jelang acara rambu' solo (upacara kematian) almarhum Petrus Bu’tu, orang-orang berdatangan di pagi yang dingin di Leatung Matallo (Bo’ne), Sangalla Utara, Tana Toraja. Kepada yang datang, kopi hangat selalu terhidang tak putus-putus. Pada jam sarapan atau makan siang, nasi beserta lauk juga terhidang.

Almarhum Petrus Bu’tu—dikenal sebagai Ne’ Bu’tu—meninggal pada 15 Mei 2014. Waktu meninggal, umurnya antara 90-95 tahun. Petrus Bu’tu dianggap salah satu tokoh masyarakat di kampung. Ia pernah jadi juru tulis pada masa muda. Ayah 9 anak, kakek 28 cucu, dan buyut dengan 14 cicit ini masih bersemayam di tongkonan—rumah khas Toraja—milik keluarga besarnya.

Butuh waktu empat tahun bagi Ne’ Bu’tu bersemayam di rumah. "Menunggu kesepakatan keluarga. Setelah keluarga sepakat, khususnya kami, anak-cucu, baru diadakan persiapan untuk pemakaman,” ujar salah seorang menantunya, Yusuf Rante Bunga.

Selama belum diacarakan rambu' solo dan bersemayam di rumah, maka jenazah belumlah dianggap meninggal. Dipercaya, ruhnya masih di sekitar rumah dan bersama keluarganya. Si jenazah dianggap dalam kondisi jiwa yang sakit atau lemah. Dan, karena itu, untuk menuju kedamaian abadi bernama Puya, keluarga perlu mengantarkannya lewat rambu' solo. Tak heran jika jenazah tinggal dalam satu rumah dengan keluarga di tongkonan.

Tak semua jenazah dimakamkan setelah empat tahun meninggal. Ada yang setahun bahkan sampai puluhan tahun. Jika dalam kurun waktu lama, tak jarang anggota keluarga lain juga meninggal. Menurut Ismail Solli, seorang kerabat Yusuf Bunga, ada yang memakamkan tiga jenazah sekaligus dalam satu rangkaian rambu' solo.

Yusuf Rante Bunga mengaku miliaran rupiah digelontorkan untuk acara besar ini. Dari membangun pondok-pondok (lantang) yang jumlah biliknya mencapai 20-an—untuk nantinya ditempati keluarga dari jauh yang datang. Dalam kurun waktu dua bulan, lantang-lantang itu disiapkan. Dan pastinya, ada 40 ekor kerbau yang akan dipotong untuk dibagikan.

Sebelum acara inti, ada beberapa upacara yang harus ditunaikan.

Saat saya datang ke sana, 5 Juli lalu, saya melihat kerbau-kerbau dikumpulkan di tongkonan tempat upacara diadakan. Upacara ini biasa disebut sebagai ma’pasa’ tedong (mengumpulkan kerbau). Upacara rambu solo untuk almarhum Petrus Bu’tu terbilang istimewa. Tak lain karena ada ma’pasilaga tedong (adu-kerbau), yang diminati banyak orang Toraja. Tak semua rambu solo ada adu kerbau. Hanya golongan yang dianggap tinggi yang biasa mengadakan adu kerbau.

Esoknya, acara disusul dengan memperingati saat-saat terakhir sang almarhum. Acara ini disebut ma’karu’dusan atau ma’puli. Pada hari ini ada acara pemotongan dua ekor kerbau oleh pemotong kerbau (patinggoro tedong). Dalam pemotongan kerbau ala Toraja, kerbau yang akan disembelih biasanya dibiarkan berdiri dan leher kerbau ditebas secepat mungkin dan kerbau dibiarkan menggelepar dan jatuh. Seekor babi juga disembelih.

Tak lupa, keluarga mengadakan doa bersama secara Kristiani di depan tongkonan, dan tak jarang dalam bahasa Toraja. Setidaknya keluarga ikut serta.

Hari berikutnya acara cukup berat. Usai doa pagi dan sarapan, alat-alat untuk upacara dikumpulkan, yang disebut manombon. Lalu ada kegiatan menarik batu simbuang yang disebut mangriu’ batu. Kemudian, batu simbuang yang ditarik tadi ditegakkan dan ditanam (mangosok simbuang). Ada beberapa batu ditanam berjejer. Selain menanam batu, keluarga menyiapkan sebuah menara kayu untuk pembagian hewan (bala’kayan).

Pada hari itu juga jenazah Ne’ Bu’tu diturunkan dari tongkonan ke lumbung. Bentuk lumbung adalah miniatur dari tongkonan. Dalam masyarakat Toraja, letak tongkonan dan lumbung—biasanya untuk simpan padi—berseberangan. Tongkonan selalu menghadap ke utara, lumbung ke arah selatan.

Sebelum dipindah ke lumbung, Ne’ Bu’tu sudah bersalin peti.

Hari Minggu tak ada kegiatan di tempat acara. Minggu adalah hari istirahat bagi umat Kristiani di Toraja.

“Ini upacara yang lengkap,” kata Otto Mitting, seorang pemandu wisata di Tana Toraja, ketika mengantar turis-turis mancanegara ke acara ini.

Pada hari Senin, upacara yang disebut lakkian digelar, yakni memindahkan jenazah dari lumbung ke pondok khusus dua tingkat dengan atap khas Toraja.

Sebelum tiba di lakkian, yang letaknya di seberang lumbung dan di sebelah tongkonan tempat sebelumnya Ne’ Bu’tu bersemayam, terlebih dulu jenazah dinaikkan ke sebuah kereta, yang diarak ke kampung. Dalam arak-arakan ini, jenazah didahului iringan musik dan pihak keluarga memegangi kain merah panjang. Dalam perjalanan, tak jarang kereta pengangut peti jenazah digoyang-goyang hingga suasana terkesan ramai. Rangkaian upacara ini disebut ma’pasonglo.

Bir dan air putih dibagikan kepada para penarik kereta jenazah. Dua ekor kerbau disembelih oleh patinggoro lagi pada hari ini. Sesudahnya, acara penerimaan tamu (allo katongkonan) mulai dilakukan.

Infografik HL Indepth Tana Toraja

Menunggangi Arwah Kerbau Menuju Gerbang Puya

Allo katongkonan besar-besaran dilakukan pada hari Selasa, 10 Juli. Rambu solo untuk almarhum Ne’ Bu’tu makin naik pamor. Tak hanya ramai oleh orang kebanyakan, tapi juga dihadiri oleh golongan bangsawan.

Raja Gowa, Datu Luwu beserta perangkat adatnya, juga wakil dari kerajaan lain hadir dalam acara allo katongkonan. Para tamu agung Sulawesi Selatan ini dijamu di lumbung terbaik yang disediakan oleh pihak keluarga, persis di seberang lakkian. Dalam acara hari ini, tiga ekor kerbau dipotong. Daging-daging kerbau itu diberikan kepada tamu. Sebuah lembaran silsilah raja di Sulawesi Selatan, yang akarnya dari Tana Toraja, juga diperlihatkan.

Selain para bangsawan Sulawesi Selatan—yang sebetulnya serumpun itu, hadir pula orang-orang lain. Para tamu selain bangsawan itu dijamu di pondok besar megah yang dibuat keluarga almarhum. Masih di dekat lakkian, mereka disuguhi pertunjukan musik bombong (bambu), selain kuda lumping khas Tana Toraja. Seperti hari sebelumnya, beberapa orang Toraja menari beramai-ramai dengan khidmat dalam suatu prosesi yang dikenal sebagai ma’badong.

“Ma’badong adalah melagukan badong dalam gerak khas […] himne itu tak lain ialah pengagungan si mati. Di dalamnya diceritakan asal-usulnya dari Langit, masa kanak-kanaknya yang penuh bahagia, amal kebaikannya, semua hal yang terpuji,” tulis Theodorus Kobong dalam Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, Kontekstualisasi, Transformasi (2008: 52).

Pada hari Rabu, rangkaian acara masih ada. Pada hari ini diadakan pemotongan kerbau-kerbau yang sudah disediakan keluarga—disebut mantunu. Setidaknya ada 23 ekor yang dikurbankan pada hari ini. Pada hari-hari sebelumnya terdapat sekitar 9 ekor yang sudah disembelih. Pemotongan dilakukan di depan tongkonan keluarga almarhum Ne’ Bu’tu.

Kerbau yang dipotong di Tana Toraja biasanya berjalan dalam satu tebasan oleh patinggoro. Beberapa patinggoro terlibat dalam penyembelihan besar-besaran kali ini. Kerbau dipotong satu per satu. Setelah salah satu kaki terikat, barulah patinggoro menebasnya dengan pisau tajam hingga leher kerbau terbuka, jalur napas hilang, dan darah mengalir.

Beberapa kerbau pertama, meski telah tertebas lehernya dan mengeluarkan banyak darah, masih mampu berdiri. Pemotongan kerbau yang tak selalu mudah ini rupanya menjadi hiburan bagi yang menonton.

Seekor kerbau bahkan melarikan diri dari sekitar arena. Usai ditebas, si kerbau masih mampu berdiri. Untuk menghindari bahaya, patinggoro pun melukai kedua kaki belakang kerbau tersebut. Tetap saja si kerbau mampu berjalan. Namun, ada banyak kerbau yang mudah ditebas dan tak lama kemudian jatuh tanpa berlama-lama.

Kerbau-kerbau itu lalu dikuliti dan dagingnya dibagi-bagikan sesuai ketentuan adat. Banyaknya kerbau yang dipotong membuat acara pembagian berlangsung hingga sore hari.

Hari terakhir, genap sepekan, tibalah hari pemakaman.

Acara dimulai dengan doa-doa dan sambutan; anggota keluarga besar almarhum berfoto. Proses pelepasan jenazah dan pemakaman ini berlangsung hingga siang. Lepas pukul 2 siang waktu setempat, jenazah Petrus Bu’tu dibawa bersama peti untuk disemayamkan di rumah kubur dari beton—yang disebut pattane. Letaknya dekat lapangan adu kerbau sebelumnya.

Bagi semua keluarga yang mengadakan rambu solo, sang almarhum diharapkan bisa mencapai dunia langit, menjadi dewa pelindung atau deata. Ia telah menunggangi arwah kerbau alias tedong lewat tarian bernama badong, tarian khas Toraja saat para penari membentuk lingkaran dan mengaitkan masing-masing kelingking dan melantunkan hikayat sang almarhum.

Dari sanalah, sang arwah Petrus Bu’tu melesat menuju gerbang Puya, bertemu dengan para leluhur.

Baca juga artikel terkait TORAJA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam