Menuju konten utama

Melihat Pembuangan Terakhir Sampah di Muara Bengawan Solo

Sebuah desa pesisir di Laut Jawa yang dilewati Bengawan Solo menghadapi sampah-sampah kiriman dari hulu sungai sepanjang tahun selama bertahun-tahun.

Melihat Pembuangan Terakhir Sampah di Muara Bengawan Solo
Ilustrasi Pencemaran Bengawan Solo. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Siap-siap, lempar jangkarnya.” Aba-aba itu datang dari Ahmad, nelayan setempat yang mengantar kami menyusuri muara Sungai Bengawan Solo. Kami mendatangi Pangkah Wetan, sebuah desa pesisir utara Gresik yang menjadi pintu masuk Laut Jawa, pada Februari 2020.

Kami pun segera memutar balik perahu. Ahmad seketika mengingatkan, “Kalau tadi telat lempar jangkar, perahu akan tersangkut dan harus turun untuk dorong.”

Muara itu berlumpur dan penuh timbunan sampah plastik. Tambak-tambak warga membentang seluas 2.000-an hektare. Pohon-pohon bakau bergerumbul di pinggir muara dan tepi Laut Jawa.

Di musim hujan pada awal tahun, hilir sungai memang tak terlihat kotor. Meski demikian, sampah-sampah terlihat tersangkut di akar-akar batang bakau di kanan-kiri sungai, di antaranya sampah styrofoam dan popok. Ada juga sampah botol kaca, botol plastik, karung goni pakan ikan, sandal, sepatu karet, plastik mi instan, plastik makanan dan rumah tangga.

Bahkan ketika saya mengangkat jangkar, sesudah berhenti lima menit dan mesin perahu dinyalakan, sebuah sampah plastik berlumpur tersangkut jangkar.

Sampah-sampah plastik yang memenuhi muara sungai di desanya, ujar Ahmad, adalah kiriman dari hulu Bengawan Solo. Sampah-sampah itu terbawa ke laut lepas, lainnya menumpuk dan menepi di tambak warga. Bahkan, pada akhir 2019, sampah memenuhi muara sungai di tempat pelelangan ikan Tanjungrejo.

Sampah Bengawan Solo

Pengeboran minyak lepas pantai terlihat dari muara Sungai Bengawan Solo di Gresik Jawa Timur. tirto.id/Bhagavad Sambada

Seorang nelayan bernama Nanang mengisahkan sewaktu sungai tertutup sampah selama sepekan itu, “orang bisa berdiri di atasnya saking tebalnya sampah.” Banyak ikan mati. Warna sungai cokelat-kehitaman. Diduga, air sungai tercemar limbah.

Ahmad bercerita timbunan sampah itu baru lenyap di muara sungai setelah selama sepekan terbawa arus ke Laut Jawa. Bila ada nelayan yang nekat melaut, risikonya mesin perahu bisa ngadat, tersangkut sampah dan enceng gondok.

Seorang nelayan bernama Mustain, yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Muara Solo, berkata pernah memaksa diri melaut ketika sampah memenuhi muara Bengawan Solo. Mesin perahu motornya seketika ngadat karena baling-baling tersangkut limbah karung beras. Para nelayan yang lain segera menariknya ke daratan.

Ia berkata ongkos buat memperbaiki mesin perahunya antara Rp400 ribu-Rp500 ribu. “Kalau enggak diperbaiki,” katanya, “malah rugi karena enggak bisa melaut.”

Setiap tahun ketika musim hujan dan pintu air dari hulu dibuka, berbagai sampah mengalir dan menutupi muara sungai desanya, ujar Mustain. Dampaknya, nelayan kesusahan melaut, setiap 10 meter perahu harus berhenti karena menembus dan tersangkut sampah. Terkadang, nelayan mengurungkan niat bila sampah benar-benar memenuhi muara sungai—ibaratnya menjadi sungai sampah.

Sampah Bengawan Solo

Tumpukan sampah di pinggir Laut Jawa di Brondong, Lamongan Jawa Timur. tirto.id/Bhagavad Sambada

Dibiarkan Selama Pencemaran di Hulu Sungai Tak Disetop

Dalam kondisi begitu, warga desa pesisir di utara Gresik yang dibelah sungai Bengawan Solo bergantung pada kebaikan musim hujan. Mereka berharap sampah-sampah plastik, enceng gondok, atau batang bambu terbawa arus ke Laut Jawa atau menepi ke daratan.

Mereka belum mengupayakan prakarsa-prakarsa tertentu demi menyetop aliran limbah sampah dengan alasan, sekalipun berbagai cara dilakukan di tingkat lingkungan mereka, sampah tetap saja mengalir selama problem “kiriman sampah” dari hulu tak berhenti.

Pada akhir Maret 2020, Nanang mengirimkan video dari kampungnya yang merekam sampah batang-batang kayu bercampur plastik terserat arus laut lepas. “Sudah tiga hari,” katanya via pesan WhatsApp.

Kepala Desa Pangkah Wetan, Syaifullah Mahdi, membenarkan “sampah kiriman” dari hulu Bengawan Solo itu. Sampah-sampah itu percuma dibersihkan, katanya, “toh, akan datang lagi.” Saat musim hujan ketika debit air hulu sungai tinggi, otomatis sampah akan terus berdatangan ke kampungnya.

“Barusan banyak ikan mati karena limbah kiriman dari pabrik tekstil,” ujarnya. “Kasihan nelayan tambak, kalau air tercemar, bisa mati ikan-ikan.”

Pada akhir April, ikan-ikan mati karena limbah dibuang ke Bengawan Solo juga terjadi di Sragen, sebelah timur Surakarta. Warna air sungai hitam pekat. Berdampak pada 900-an keluarga di bantaran sungai, pencemaran itu bikin air sumur bau dan kulit gatal. Petani padi enggan menggunakan lagi sumber air Bengawan Solo karena kualitas padi bakal buruk. Warga mendesak Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, segera bertindak tegas karena “kerusakan Bengawan Solo sudah sangat parah.”

Infografik HL Indept Bengawan Solo

Infografik Pangkah wetan pintu keluar sampah bengawan solo. tirto.id/Lugas

Kondisi-kondisi itu seakan membuat warga desa pesisir pasrah.

Di Dusun Tanjungrejo, saya melihat tak ada tong sampah di depan rumah warga yang bersitentang dengan muara sungai. Ke mana warga membuang sampah rumah tangganya?

Seorang pemilik warung kopi berkata pemerintah desa menyiapkan tong sampah di di sebuah lokasi yang jauh dari pemukiman sehingga warga pesisir membuang sampah sembarangan ke muara sungai.

Saya melihat sampah-sampah plastik bertebaran di bawah perahu nelayan yang bersandar di Dusun Tanjungrejo maupun di belakang empang rumah.

Seorang warga mengisahkan dulunya pemerintah desa mengangkut sampah dari rumah sekali dalam dua pekan tapi praktik ini seakan percuma karena warga “tetap saja tidak buang sampah tidak pada tempatnya.”

Meski begitu, kepala desa Syaifullah membantah warga membuang sampah rumah tangga ke laut. “Kalau sampah rumah tangga sudah teratasi,” katanya.

Petugas kebersihan, katanya, datang menjemput sampah setiap pagi dan hal ini sudah berjalan selama lima tahun.

Jika pun ada sampah, kata Syaifullah, itu bukan murni dibuang warga setempat melainkan warga di luar dusun, biasanya menjadi tempat berkumpul orang-orang yang bekerja di tambak atau melaut.

“Yang masalah adalah sampah di bantaran sungai, banyak kiriman sampah. Gimana mau bersihkan, wong tiap hari ada?”

=========

Laporan ini didukung berkat dana hibah dari Internews Earth Journalism Network (EJN), organisasi nirlaba lingkungan hidup, dan Resource Watch, platform data terbuka yang memanfaatkan teknologi, data, dan jaringan manusia untuk menghadirkan transparansi.

Baca juga artikel terkait BENGAWAN SOLO TERCEMAR atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam