Menuju konten utama

Melihat Lebih Dekat Bentuk Arsitektur Le Corbusier

Pameran “Encountering Le Corbusier” menjadi kesempatan untuk mengenal lebih dekat bentuk-bentuk arsitekturnya.

Melihat Lebih Dekat Bentuk Arsitektur Le Corbusier
Pameran Corbusier. foto/nenunruang

tirto.id - Meskipun merupakan salah satu arsitek paling tenar di dunia, sayangnya sosok Le Corbusier (1887-1965) relatif tidak begitu dikenal di Indonesia. Karya-karya Le Corbusier tersebar hingga ke pelosok dunia – dari Paris ke Moskow, Buenos Aires, Chicago, Ahmedabad, Chandigarh, Aljazair, Baghdad, hingga Tokyo – namun tidak satupun mampir ke Indonesia, tidak juga di Asia Tenggara.

Beruntung, melalui pameran “Encountering Le Corbusier”, yang menampilkan maket-maket Le Corbusier yang dibangun maupun tidak dibangun, kita berkesempatan untuk mengenalnya dengan melihat lebih dekat bentuk-bentuk arsitekturnya.

Pameran ini berlangsung di dua tempat sekaligus. Pameran pertama berlangsung pada tanggal 19 Oktober hingga 9 November 2022 di Selasar Pavilion, menampilkan maket-maket karya terbangun Le Corbusier yang dikemas dalam narasi “Le Corbusier Pro Forma”. Pameran ini juga merupakan pagelaran yang mengawali pembukaan fasilitas terbaru dari Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, karya dari perupa Sunaryo.

Sementara itu, di Kopimanyar, Jakarta, maket-maket Le Corbusier yang tidak terbangun dikemas dalam narasi “Karya Tak Terbangun/ Unbuilt Projects” berlangsung pada tanggal 20 Oktober hingga 6 November 2022.

Di Selasar Pavilion, maket-maket ini dideretkan secara kronologis sehingga pengunjung dapat menikmati perjalanan ekplorasi bentuk Le Corbusier – dari beberapa arah. Rancangan ruang pamer karya Sunaryo - yang mengingatkan kita pada tipologi wedding chapel - menumbuhkan aura suci pada puluhan maket putih sederhana. Beberapa maket dibuat terpancung sehingga kita diajak menengok masuk melihat bagaimana – misalnya – celah-celah pada pelingkup bangunan bisa memberikan pengalaman ruang yang unik.

Pada bagian yang lain, ada beberapa sajian yang menampilkan gagasan teoretis yang diwujudkan secara fisik. Pada beberapa karya yang terlihat relatif rumit, maket-maket dirancang untuk memperlihatkan bagaimana beberapa gagasan sederhana tergabung.

Mengenal Sosok Le Corbusier

Sosok dan karya Le Corbusier hadir di Indonesia terbatas lewat buku-buku dan percakapan di kelas-kelas pendidikan arsitektur sebagai gagasan-gagasan kanonikal di dalam perjalanan sejarah Arsitektur Modernis abad ke-20.

Bagi kebanyakan arsitek Indonesia, karya dan pemikiran Le Corbusier sebatas dikenal lewat foto, gambar, sketsa, dan diagram-diagram yang klinis. Untuk itu bentuk dan ruang arsitektur cenderung lebih dikenali secara dingin, berjarak, sistematik sehingga dapat dipereteli dan dijadikan materi pedagogi.

Para calon arsitek belajar arsitektur dengan mengenai anatomi-anatomi bangunan dan kota melalui karya-karya rancangan dan gagasan Le Corbusier. Sederet karya rumah tinggal karya Le Corbusier di awal dekade 1920 berbentuk kotak-kotak putih sederhana seakan membantah hakikat bentuk rumah – bahkan bangunan.

Bangunan seakan terlepas dari kodrat memiliki atap. Jendela tidak lagi berbentuk seperti jendela, menjadi seperti sobekan dinding atau menjadi dinding itu sendiri. Masyarakat – saat itu – menjadi tergugah, melihat bahwa bangunan – rumah, kantor, ruang ibadah, apapun – dapat diperlakukan dengan generik dan bebas. Tidak ada nilai instrinsik pada pintu, jendela, atap, dinding, teras, ruang tidur yang tidak dapat dipertukarkan atau digugat. Le Corbusier membebaskan arsitektur dari tradisi.

Berkat kebebasan yang diberikan oleh sistem konstruksi beton bertulang, elemen-elemen bangunan karya Le Corbusier dapat ditempatkan sesukanya, seturut kebutuhannya, menciptakan tempelan-tempelan elemen yang janggal.

Pada saat itu, beton bertulang merupakan sistem struktur mutakhir yang superior dan menjanjikan sehingga disambut dengan gegap gempita oleh para arsitek. Berbagai impian arsitek yang mustahil di masa lalu dapat diwujudkan oleh beton bertulang.

Kaki bangunan tidak lagi bersalutkan dinding tebal tetapi berupa deretan kolom tipis, memberikan ruang bagi pejalan kaki, naungan, dan kendaraan. Lantai yang tipis dan menjorok tanpa topangan tiang hingga bentuk-bentuk organik dapat diwujudkan oleh sistem konstruksi yang baru ini.

Berbekal kebebasan berekspresi, semangat dan keyakinan pada kemajuan teknologi, Le Corbusier beranggapan arsitektur dapat menuntun masyarakat menapaki dunia modern. Ia bahkan seakan bernubuat kendaraan bermotor, jalan raya bebas hambatan, gedung-gedung pencakar langit, dan rumah-rumah susun adalah keniscayaan yang memberikan kebaikan bagi umat manusia.

Warisan Le Corbusier

Seratus tahun berlalu dan kita bertanya-tanya seberapa jauh modernisasi membawa kita? Jalan-jalan kita makin dipenuhi oleh kendaraan bermotor yang senantiasa bertambah besar secara ukuran dan bertambah banyak secara jumlah.

Dengan lebih dari tujuh miliar manusia di bumi, hunian kita semakin sesak sedangkan ruang terbuka dan alam semakin langka. Gagasan Le Corbusier ditumbuhkan sebagai terobosan besar, tetapi saat ini Le Corbusier justru telah menjadi tradisi yang kembali kita tengok dan pertanyakan.

Beberapa gagasan Le Corbusier – seperti saran untuk meniadakan atap dan teritisan – tidak pernah diterima dengan gegap gempita di Indonesia. Karena iklim tidak mengizinkan, kita lebih akrab dengan naungan dan teras yang mengingatkan kita pada teras-teras dan teritisan rumah-rumah ‘Belanda’ yang teduh; ketimbang dinding-dinding putih polos tanpa pelindung atau atap-atap datar beton yang mudah bocor.

Lelehan air hujan yang membasahi jendela dan dinding senantiasa dihindari. Tetapi ketika gedung-gedung tinggi besar diselenggarakan, kepraktisan dan manfaat atap datar beton tidak terelakan. Belakangan kita malah turut gandrung meniadakan atap dan teritis, mengisi atap-atap beton kita dengan tanah, rumput, dan pepohonan serta memaklumi berbagai resikonya.

Tetapi, Le Corbusier juga adalah salah seorang protagonis yang mempopulerkan brise-de-soleil – sirip penangkal sinar matahari dari lempengan beton yang ditempelkan pada muka bangunan. Selain sebagai elemen pelindung, Le Corbusier juga memanfaatkan lempeng-lempeng beton ini sebagai elemen estetik yang memanipulasi cahaya dan bayangan sehingga memberikan pengalaman yang unik bagi ruang-ruang di baliknya.

Gagasan ini kemudian menjadi elemen standar di mana-mana termasuk di Indonesia. Ketika penggunaan pendingin udara masih langka, kita benar-benar mengandalkan sirip beton penangkal sinar matahari di gedung-gedung tinggi kita.

Pada dekade 1950, ketika mendapatkan kesempatan merancang beberapa bangunan religius, Le Corbusier memanfaatkan dinding beton telanjang yang kasar (‘beton brut’) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengalaman pemanfaatan ruangnya.

Tekstur kasar dinding pada rancangan kapel di bukit Ronchamp (1955) dan biara di La Tourette (1960) membawa penghuninya seakan masuk ke dalam ruang yang grotes dan kontemplatif. Ia juga membiarkan dinding-dinding kasar lusuh itu merasuk diantara pepohonan dan udara kering berpasir di Ahmedabad dan Chandigarh.

Di dekade 1950 hingga 1980, hanya ada sedikit sekali proyek arsitektur di Indonesia yang berani menampilkan finishing beton kasar, dengan latar kekhawatiran bahwa iklim tropis basah akan dengan segera membuat dinding beton berlumut, dihuni oleh banyak mikroorganisme, dan mudah bocor.

Tetapi di India, terutama di kota Ahmedabad dan Chandigarh, Le Corbusier meninggalkan banyak jejak terbangun dan pengaruh kuat pada arsitek-arsitek India, seperti Charles Correa (1930-2015) dan Balkhrisna Vithaldas Doshi (1927). Di kedua kota tersebut Le Corbusier merancang berbagai gedung – Mill’s Owner Association (1951) dan Villa Sharabai (1955) di Ahmedabad, Palace of Justice (1952) dan Secretariat Building (1953) di Chandigarh – yang dihias dengan sirip penahan sinar matahari yang sangat dominan.

Infografik Pameran Le Corbusier

Infografik Pameran Le Corbusier. tirto.id/Quita

Rumah Susun dan Ramp

Indonesia, belum pernah mendapatkan kesempatan mengembangan perumahan rakyat berkepadatan tinggi dengan skala yang besar. Hal ini bisa jadi membuat kita belum pernah mempertimbangkan gagasan-gagasan revolusioner mengenai rumah susun, termasuk gagasan-gagasan Le Corbusier, yang dituangkan dalam proyek Unite d’Habitation (1955-1965). Proyek ini disambut hangat dan digadang sebagai sebuah solusi bagi kelangkaan perumahan di Eropa pada dekade 1950 sehingga dibangun di Marseille, Nantes, Berlin, Briey, dan Firminy.

Gagasan utama proyek ini adalah sebuah kesatuan rumah susun berkepadatan tinggi perkotaan yang berfungsi bagaikan sebuah ‘kampung’. Setiap rumah susun ini memiliki ruang-ruang publik yang dimiliki dan dimanfaatkan bersama para penghuni: lantai dasar yang terbuka bagi pergerakan dan fungsi bersama, lantai atap sebagai ruang rekreasi, dan sebuah lantai komersil yang berisikan ‘warung’ – toko-toko yang menyediakan keperluan sehari-hari penghuni rumah susun.

Rancangan unit hunian Unite d’ Habitation memungkinan setiap unit rumah memiliki bukaan ke dua sisi panjang gedung – tidak hanya ke satu sisi seperti pada kebanyakan rumah susun konvensional – untuk memaksimalkan akses pemandangan, penghijauan kota, sinar matahari, dan udara segar. Rancangan rumah susun ini secara cerkas merajut fitur-fitur tadi menjadi sebuah wadah yang unik dan khas.

Jarak antara Indonesia dengan Le Corbusier juga membuat kita tidak mudah maklum pada obsesi-obsesinya. Aspirasi artistiknya pada mesin dan teknologi kendaraan bermotor – mobil, pesawat terbang, kapal laut – diterjemahkan menjadi skema rancangan yang menggiring alur gerak manusia dan kendaraan dalam ruang-ruang arsitektural.

Le Corbusier membuat bangunan-bangunannya seakan-akan adalah sebuah lintasan jalan raya yang dilengkapi ramp seperti; Villa La Roche (1923), Villa Meyer (1925), Villa Savoye (1931), College President’s House (1936), Carpenter Centre for The Visual Arts (1963), Palais de Congres (1964), Saddam Husein Gymnasium (1970).

Ramp yang meliuk, menembus, menyeruduk masuk dan menerobos keluar gedung merupakan pemandangan yang janggal sekaligus menawarkan keseruan.

Le Corbusier dan Pedagogi

Berkat kekayaan gagasan dan penjelajahan Le Corbusier, biro arsitektur RQ+T Architects yang berbasis di Singapura, menjalankan sebuah tradisi yang mewajibkan pemagang muda mereka untuk menghabiskan seminggu pertama mereka membuat sebuah maket dari salah satu karya Le Corbusier; baik yang terbangun maupun tidak, termasuk gagasan dan benda-benda konseptual.

Tradisi ini menghasilkan lebih dari 120 maket putih dalam berbagai ukuran. Koleksi ini menjadi istimewa karena merupakan sebuah koleksi satu-satunya di dunia yang memiliki rentang karya Le Corbusier dalam bentuk maket selengkap ini. Untuk itu, koleksi ini disambut baik oleh berbagai pihak.

Setelah berkeliling ke beberapa negara, maket-maket ini saat ini hadir di Indonesia dan memberikan kita kesempatan untuk dapat melihat gagasan, karya, bentangan anatomi arsitektur Le Corbusier lebih dekat.

Mudah-mudahan kesempatan ini dapat memberikan kita cermin untuk mendiskusikan masalah-masalah arsitektur dan memungkinkan kita melihat peluang-peluang baru yang lebih baik.

Baca juga artikel terkait ARSITEKTUR atau tulisan lainnya dari Setiadi Sopandi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Setiadi Sopandi
Penulis: Setiadi Sopandi
Editor: Lilin Rosa Santi