Menuju konten utama

Melihat Borok Pasar Glodok

Manajemen Pasar Glodok buruk. Semula surga elektronik beralih menjadi surga aksi kriminal.

Melihat Borok Pasar Glodok
Deretan toko yang sudah tidak dihuni oleh pedagang di Pasar Glodok lantai 3, Jakarta, Senin (14/8). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Jelang pukul 2 siang, Jumat pertengahan Agustus lalu, terdengar pengumuman dari Perusahaan Daerah Pasar Jaya Glodok. Isinya mengenai instruksi pembayaran listrik penghuni kios lewat tiga cara, dengan menggandeng Bank BCA. Jika bayar telat, ujarnya, pedagang terkena risiko.

“Untuk menghindari pemutusan aliran listrik, bayarlah sebelum 25 Agustus,” bunyi ancaman itu.

“Kami seolah-olah kayak orang yang dijajah, bukan kawan sekerjanya. PD Pasar Jaya maunya otoriter,” kata Saman, 40 tahun, yang enggan mengungkap nama sebenarnya lantaran takut diketahui lantas terancam kriminalisasi.

Sudah 16 tahun Saman menjadi pedagang di Unit Pasar Besar, yakni Pasar Glodok atau Glodok City, Jakarta Barat. Ia berkata tak pernah akur dengan pihak manajemen PD Pasar Jaya Glodok.

Penataan kios Pasar Glodok semrawut. Di lantai dasar, ada penjual mainan, makanan, pakaian, hingga sembako. Sedangkan di lantai 1 hampir serupa: ada pedagang makanan, pakaian, tas, barang elektronik, obat-obatan, hingga karpet. Lantai selanjutnya nyaris serupa pula.

Di sayap kanan gedung lantai 1 hingga 4, etalase rata-rata setinggi 1,5 meter diletakkan nyaris menutupi jalan pembeli. Tak heran jika pembeli harus berjalan miring untuk menyisiri kios. Dampaknya, banyak kios di bagian ujung yang tak diindahkan oleh para pembeli.

Selain itu, di setiap lantai, ada 18 konter mungil berukuran sekitar 1x0,5 meter persegi, berjajar mengelilingi ruang tengah. Biaya sewa konter kecil itu Rp700 ribu per bulan, termasuk biaya listrik dan pemeliharaan.

Konter itu menyapu mata pembeli. Ia menjual barang elektronik, VCD bajakan, hingga makanan dan minuman ringan—yang nyaris serupa dijajakan kios-kios besar lain.

Kebersihan gedung Pasar Glodok pun jadi perkara penting. Itu terlihat dari kondisi toilet. Dari pintu masuk lantai 1, tertera petunjuk arah ke toilet. Jaraknya sekitar 50 meter. Anda harus menuruni dua kali tangga berdebu berbentuk 'L' menuju lantai dasar.

Anda harus bayar Rp5 ribu untuk cuci pakaian, Rp 3 ribu untuk buang air besar, dan Rp2 ribu untuk buang air kecil. Pemilik kios pun dikenakan biaya bulanan bila memakai toilet.

“Sewaktu saya di Harco, toilet enggak bayar. Di sini bayar Rp35 ribu per bulan. Kami semua kena per kios,” tutur Saman menyebut Harco Glodok, mal tua yang sempat jaya di era 1980-an, yang kini dipoles ulang oleh PT Agung Podomoro Land Tbk., salah satu perusahaan properti besar di Indonesia.

Muhammad Ridwan, 41 tahun, turut mengomentari buruknya perawatan toilet berbayar.

“Swasta menggratiskan toilet. Gratis saja wangi. Ini bayar tapi bau,” ungkapnya. Belum lagi tempatnya berdagang sering becek di musim hujan.

Soal penarikan biaya toilet, merujuk aturan daerah Provinsi DKI Jakarta soal pengelolaan area pasar, disebutkan bahwa salah satu sumber penerimaan termasuk dari jasa mandi cuci kakus (MCK). Aturan ini ditandatangani Gubernur Fauzi Bowo pada 28 Januari 2009.

Merujuk tahun anggaran 2016 untuk BUMD DKI Jakarta, Pasar Glodok dan tiga pasar lain di bawah pengelolaan PD Pasar Jaya menerima biaya pengelolaan toilet. Pagu anggarannya sebesar Rp 1.280.072.200, yang dikerjakan oleh PT Answara sukses Perdana Indonesia sebagai pemenang tender. Masa kontrak jasa pengelolaan toilet ini berakhir pada 19 Agustus 2016.

Permasalahan lain adalah pendingin ruangan. Sebagaimana diungkapkan Ridwan, selama nyaris enam tahun ia merasakan kondisi panas di Pasar Glodok “kayak naik metromini” karena AC mati.

Pada 7 Mei 2014, seorang pedagang menulis pengaduan soal penyejuk ruangan ini. Ia mengeluh alat pendingin ruangan Pasar Glodok mati selama lima tahun. Setahun kemudian, pada 20 Mei, muncul laporan serupa. Seorang pedagang kembali mengeluh bahwa AC telah mati selama enam tahun.

Pada pengaduan kedua itu PD Pasar Jaya merespons, dengan memberi komentar bahwa “AC lantai satu dan lima sudah berfungsi seperti biasa atau hidup. Sementara lantai 2,3, dan 4 dalam proses perbaikan.” Penjelasan singkat ini bertanggal 3 Juni 2015.

Hal itu agak janggal. Padahal, pada 9 November 2015, perbaikan sistem sentral penyejuk udara Pasar Glodok baru dalam tahap pengumuman usai kualifikasi.

Peremajaan sistem sentral AC Pasar Glodok ditambang dari anggaran BUMD DKI Jakarta 2015. Nilainya Rp9.902.109.000. Tendernya dimenangkan oleh PT Jaya Teknik Indonesia, dengan masa kontrak hingga 21 Desember 2015.

Pendanaan soal perawatan AC juga diambil dari pedagang, untuk membayar biaya tambahan. Biayanya menyerap 20 hingga 30 persen ongkos penerangan jalan umum di setiap kios. Tapi, hingga kini, tak ada hawa dingin dari gorong-gorong udara yang merujuk pada sistem sentral AC.

Selasa, 1 Agustus lalu, saat saya datang ke Pasar Glodok, ada dua eskalator yang tidak bisa digunakan di lantai 1 dan 5. Sembilan hari kemudian, eskalator di lantai 5 masih mati.

Ridwan berkata “sudah bosan” mengadu terus kepada manajemen PD Pasar Jaya.

“Eskalator mati itu berminggu-minggu,” tuturnya.

Darmadi, 43 tahun, seorang pembeli, ngos-ngosan usai menaiki tangga di lantai 5. Ia berniat mencari Playstation yang murah untuk anaknya. Menggunakan lift juga repot, kerap penuh dengan kurir yang membawa banyak barang.

“Saya sudah berumur. Naik lift ngantre lama. Rebutan dengan orang bawa barang,” katanya.

Infografik HL Indepth Glodok

PD Pasar Jaya Anggap Sepele Keluhan Pedagang

Henry Manurung, Manajer PD Pasar Jaya untuk Pasar Glodok, terkesan anggap enteng soal buruknya tata kelola Pasar Glodok.

Manurung menilai keluhan pedagang adalah hal wajar. Ia menyindir pedagang hanya menyampaikan keluhan, tapi tak pernah mengadu jika dalam kondisi senang.

“Dari jumlah 21 (eskalator), kalau ada 1 yang mati ya wajar,” ujarnya, mengibaratkan pekerjaannya sebagai sopir yang melayani penumpang.

Namun, saat ditanya mengapa AC nyaris 6 tahun tak dibenahi dan apa alasan toilet berbayar, Manurung enggan merespons.

“Tanya ke kantor pusat. Itu bukan kebijakan saya,” kilahnya.

Hubungan renggang antara manajemen dan pedagang, terbukti, bikin loyo pengawasan Pasar Glodok. Imbasnya, marak aksi-aksi kriminal.

Pada 2012, misalnya, Pasar Glodok jadi lokasi jual-beli narkoba. Praka Susanto, serdadu TNI AD, kedapatan mengonsumsi narkotika jenis sabu di kantin pasar. Ia membeli narkotika Golongan I itu di Pasar Glodok senilai Rp200 ribu. Ia diadili di Pengadilan Militer II-08 Jakarta.

Sepanjang 2009 hingga 2016, setidaknya ada 20 perkara mengenai VCD, DVD, MP3, Playstation, hingga film porno bajakan.

Dalam kasus terakhir, Pasar Glodok sebagai pemicu utama tindak pidana di luar Jakarta. Barang bajakan, yang dibeli dari Pasar Glodok, dijual kembali di Dumai dan Rokan Hilir (Provinsi Riau), Bangka Belitung, Jambi, Lampung, Sumatera Barat, Yogyakarta, Purbalingga, Batang (Jawa Tengah), Surabaya, Kediri (Jawa Timur), dan Sulawesi Tenggara.

Pada 2009 hingga 2013, sebanyak 141.869 keping cakram padat bajakan dimusnahkan oleh kepolisian. Pada 2014, ada 53.780 keping, 2015 ada 11.632 keping, 2016 ada 1.334 keping. Hingga kini, beberapa pedagang di Pasar Glodok masih menjajakan VCD dan DVD bajakan.

Selain itu, Pasar Glodok memicu persebaran obat kuat dan kosmetik tanpa izin edar. Setidaknya ada tiga perkara di pengadilan yang seluruhnya diputus pada 2013.

Barang-barang itu dibeli dari Pasar Glodok untuk dijual di Kediri dan Jakarta Barat. Beberapa di antaranya krim obat kuat merek Stud, cairan pembesar alat vital pria merek Lintah Oil, Lotion pembesar payudara merek Huomeiren, obat pelangsing tubuh merek Acai Berry, viagra Cina, Tadalafi, tablet obat kuat merek PLAYBOY, dan lain sebagainya.

Sampai sekarang, Pasar Glodok tetap identik sebagai pusat pasar bajakan dan ilegal dari dunia seksual dan kriminal.

Itu kian menutup mata terhadap banyak pedagang seperti Saman maupun Ridwan dan keluhan mereka terhadap manajemen PD Pasar Jaya.

Roy Nicholas Mandey, Ketua Asosiasi Pedagang Ritel Indonesia (Aprindo), berharap pengelola Pasar Glodok segera memperbaiki diri. Pola manajemen pasar menurutnya banyak kekurangan.

“Memperbarui pelayanannya, memperbarui fasilitasnya, memperbarui cara promosinya, semua mesti diperbarui,” ujar Mandey.

Baca juga artikel terkait GLODOK atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam