Menuju konten utama
Thrift Fashion

Melihat Bisnis Pakaian Bekas: Antara Cuan & Risiko di Baliknya

Bisnis pakaian bekas atau thrift makin menjamur di Indonesia karena digandrungi kalangan anak muda.

Melihat Bisnis Pakaian Bekas: Antara Cuan & Risiko di Baliknya
Pembeli memilih pakaian bekas yang dijual di Lantai 2 Blok III Pasar Senen pada H-1 Lebaran di Jakarta Pusat, Rabu (12/5/2021). ANTARA/Dewa Wiguna/am

tirto.id - Istilah thrift tengah marak dibicarakan, khususnya di kalangan milenial sampai generasi Z. Menjamurnya thrift shop di media sosial menjadi bukti nyata ramainya tren thrift fashion. Salah satu pelaku usahanya adalah Gayatri (nama disamarkan) yang mulai berjualan baju bekas sejak tiga tahun terakhir, tepatnya pada 2019. Bisnis pakaian bekas ini menjadi penyelamat keluarganya selama pandemi.

“Awalnya aku jual baju bekas punya sendiri, tapi kemudian laku dan habis. Setelah itu baru mulai pesan thrift dari Pasar Gede Bage, ya ada seller, saya waktu itu pertama kali beli ball [karung] sekaligus yang besar Rp8 jutaan,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/6/2022).

Gayatri mengatakan, saat awal merintis bisnis pakaian bekas pada 2019, ia bisa menjual 100 pakaian per bulan. Penjualannya terus meningkat saat media sosial ramai bahas pakaian bekas. Konsumen pun mulai berlangganan pada 2020.

Saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia pada Maret 2020, Gayatri bahkan bisa menjual sekitar 500 pakaian dalam satu bulan. Pakaian yang ia pesan juga khusus atasan jenis blus dan kemeja khusus perempuan. Biasanya ia mendapat paket baju bekas dari Jepang, Cina sampai Korea.

“Aku fokusin ini bal-balan yang dari Korea. Aku pernah ngalamin beli ball, karena aku gak tahu merek dan isinya kayak apa, akhirnya ternyata isinya zoonk, yang cacatnya banyak. Tapi seirirng berjalannya waktu akhirnya aku sudah ada kenalan yang nyediain barang bagus,” tutur Gayatri.

Saat ini, Gayatri bisa menjual sekitar 5 karung pakaian dalam sebulan. Satu karung setidaknya ada sekitar 500 pakaian bekas. Namun, tidak semua isi karung bisa dijual, hanya 60 persen di antaranya yang masih layak jual ke konsumen.

Menurut Gayatri, harga satu blus dan kemeja yang layak biasa dijual di harga Rp45 hingga Rp70 ribu. Meskipun kebanyakan barang yang dijualnya tidak bermerek, Gayatri setidaknya bisa mengantongi sekitar Rp25-30 juta per bulan dari bisnis pakaian bekas ini.

“Sekarang jadi bisnis keluarga, dibantu adik sama mama juga. Aku biasanya sebulan 5 ball per bulan. Alhamdulillah jalan, selama pandemi malah gak ada masalah, saya malah lagi merintis selama pandemi, karena jualannya online ya. Sebulan aku bisa jual 500 baju, kan, kerjanya di rumah, jadi lebih rajin,” jelas dia.

Sementara pakaian yang rusak atau cacat, kata Gayatri, biasanya ia jual obral dengan harga kisaran Rp10 ribu hingga Rp20 ribu per pakaian.

Hal yang sama dilakukan Rahman (30) yang baru memulai bisnis thrift pada 2021. Namun, karena peminatnya sangat banyak, saat ini Rahman sudah bisa menjual 1 ball per hari dari bisnis thrift. Tahun lalu, Rahman mulai merintis usaha offline dengan menggelar lapak di car free day di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Tanpa ia duga peminat dari baju bekas begitu tinggi.

“Dulu saya [kerja sebagai] marketing, kemudian resign dan mulai bisnis thrift. Saya awalnya jualan di pinggir jalan, kemudian car free day, dan tahun ini saya baru buka outlet di GOR Bekasi. Tapi baru setahun ini saya sudah ada 3 cabang, mungkin orang butuh baju baru yang bagus, tapi murah ya, saya juga baru sadar kalau peminatnya tinggi jadi thrift booming,” kata dia kepada reporter Tirto.

Saking tingginya permintaan konsumen di berbagai daerah, saat ini Rahman tak hanya mendapatkan order dari konsumen, tapi juga dari reseller. Rahman menjelaskan, keuntungan dari penjualan pakaian bekas ada di atas 10 persen untuk setiap karung pakaian yang ia beli.

Berbeda dengan Gayatri, Rahman banyak menemukan pakaian bekas branded yang ia jual dengan harga murah. Misalnya, ia pernah menemukan jaket merk Dior yang ia jual dengan harga Rp3 juta. Ia mengaku, harus memeriksa keaslian kondisi barang sebelum menetapkan harga pakaian.

“Saya pernah beberapa kali dapet jackpot ya, seperti jaket Dior yang saya cek harganya Rp20 juta, saya temukan di tumpukan baju itu, saya cek dulu barangnya asli apa nggak, kemudian saya jual dengan harga Rp3 juta. Itu ada yang mau beli. Kadang-kadang kalau ada barang bagus, saya simpan dulu buat di lain hari, butuh uang bisa saya keluarin," jelas dia.

Rahman mengatakan bisnis ini punya potensi bagus apalagi dari banyaknya milenial yang ikut berjualan. Baju yang tadinya lusuh bisa dibersihkan, kemudian disetrika dan dipack dengan rapi bisa membuat konsumen yakin dan aman untuk membeli pakaian meskipun bekas.

“Kalau dulu, kan, bisnis ini banyak di Pasar Senen, tapi kan yang jual dulu pedagang biasa saja. Kalau sekarang sudah banyak yang jual itu milenial yang bisa ngolah barang dan tahu barang bagus, itu bagusnya dijual berapa. Saya takut ya sebenernya, kan ini bisnis tuh limbah, takutnya pemerintah ada aturan lain, mungkin pemerintah bisa pertimbangkan karena banyak yang cari uang dari sumber ini,” kata Rahman.

Risiko di Balik Bisnis Pakaian Bekas

Menanggapi adanya kekhawatiran tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan, ada ancaman di balik tingginya minat pasar ke baju bekas impor. Ancaman tersebut secara langsung akan menggerus pasar tekstil di dalam negeri, baju bekas yang saat ini makin beragam, menarik dan murah akan mengambil pasar industri tekstil di kelas menengah.

“Ancaman tentu. Jadi ancaman untuk produksi pakaian lokal. Mereka jadi pesaing, khususnya pada kelas menengah,” kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto.

Bhima menambahkan, “Kondisinya seperti sampah kan ya, negara lain baju bekas itu dimusnahkan. Tapi ada juga kebijakan baju bekas ini dikirimkan ke negara miskin di Afrika, tapi karena fashionnya cepat di negara maju, sementara kemampuan untuk menampung limbah tadi juga terbatas, salah satu yang dianggap pasar komersil yang menguntungkan adalah Indonesia.”

Bhima mengatakan, Indonesia juga relatif longgar dalam hal menampung pakaian bekas impor. Selain itu, regulasi sampai pengawasannya juga longgar. Karena itu, pangsa pasar yang besar membuat Indonesia menjadi negara tujuan pengiriman limbah pakaian bekas karena memiliki nilai untuk dikomersialkan.

“Balik lagi, jadi ada suplay demand. Sebaiknya ini diperketat lagi ya soal pakaian bekas seperti apa yang akan masuk ke Indonesia. Jangan semua gitu. Kemudian dari sisi kesehatan juga kan, kita gak tahu ya kalau barang bekas ini bawa penyakit apa,” kata Bhima menambahkan.

=========================

Adendum: Naskah ini ada perubahan per Jumat, 9 September 2022. Awalnya kami menulis nama lengkap narasumber, tapi informan minta disamarkan.

Baca juga artikel terkait PAKAIAN BEKAS atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz