Menuju konten utama

Melawan Pengaruh Kolonialisme Terhadap Standar Kecantikan

Stratifikasi sosial di era kolonial membuat standar kecantikan yang eurosentris terpatri di benak masyarakat.

Melawan Pengaruh Kolonialisme Terhadap Standar Kecantikan
Ilustrasi HL Iman Fachruliansyah. tirto.id/Teguh

tirto.id - Di Indonesia, nyaris mustahil menemukan produk perawatan khusus untuk rambut keriting di pasaran. Berbagai produk perawatan rambut keriting kebanyakan hanya bisa ditemui di salon-salon yang menyasar kelas menengah atas. Itu pun dengan harga relatif tinggi.

Manuver perusahaan besar khusus produk kecantikan lewat beragam iklan rambut berkilau yang menjejali kesadaran publik, ditambah dengan standar eurosentris hasil dari kolonialisme, telah menciptakan pola oposisi biner yang menentukan cantik atau tidaknya seseorang. Rambut keriting kerap dianggap tak terurus dan tidak sehat. Sementara rambut lurus yang berkilau adalah standar emas kecantikan seseorang.

Hal ini tentu saja menafikan karakter dan sejarah orang Indonesia itu sendiri, yang beragam secara ciri tubuh dan kebudayaan.

Tirto berbincang dengan Iman Fachruliansyah, dosen antropologi Universitas Indonesia soal kolonialisme, pembentukan standar kecantikan rambut, dan karakter orang Indonesia.

Seperti apa sebenarnya jenis rambut orang Indonesia?

Jenis rambut orang di Indonesia saya pikir sama seperti di negara mana pun atau belahan dunia mana pun, pastinya ada yang lurus ada yang ikal mungkin sama yang keriting. Tapi ada yang keritingnya juga seperti keriting yang afro istilahnya ya, saya kurang hafal juga, jadi ada keriting yang lemas gitu, tapi ada keriting yang kriwil-kriwil, seperti itu.

Hal ini sebenarnya berangkat dari perjalanan manusia itu sendiri. Manusia asalnya dulu dari Afrika yang kemudian bermigrasi ke seluruh belahan dunia dalam beberapa episode atau segmen-segmen waktu migrasi dan kemudian ada periode di mana kondisi geologi bumi itu berubah. Kemudian juga membuat sejarah interaksi antar kelompok manusia pada waktu itu cukup beragam.

Di Indonesia sendiri dulu kan kita bentuknya belum kepulauan seperti sekarang. Dulu sekitar 4.000 atau 5.000 lalu kita masih berdiri dari dua daratan yang luas. Paparan Sunda yang sekarang mencakup Sumatera, Kalimantan, Jawa. Dan paparan Sahul yang mencakup Papua dan Australia segala macam. Pada masa itu, sebelum 4.000 tahun yang lalu ya, mungkin kira-kira 50.000 tahun lalu, kelompok manusia pertama yang bermigrasi ke wilayah itu adalah mereka yang berasal dari Afrika. Itu dicirikan dengan kulit yang gelap dan rambut keriting. Seperti orang Afrika sekarang. Itu sisanya masih bisa kita lihat di bagian timur Indonesia, yang disebut dengan orang-orang Melanesia.

Kemudian ada gelombang migrasi lain, kira-kira hampir 10.000 tahun yang lalu dari daratan Asia Tenggara, dan dari Asia Tenggara ke Paparan Sunda. Mereka berkulit lebih putih seperti yang kita lihat sekarang orang-orang Indo-China itu.

Kemudian ada perubahan geologi bumi, ada periode suhu bumi itu lebih meningkat jadi lebih hangat sehingga ada pencairan es es di bagian belahan bumi kutub utara dan selatan, yang membuat paparan Sunda dan sebagian paparan Sahul itu tergenangi air laut. Jadi permukaan air laut itu meninggi, nah itu yang membuat kemudian Paparan Sunda menjadi terbelah ya, antara Sumatera Jawa dan Kalimantan terus kemudian Papua, dan Australia juga terpisah oleh laut yang membuat sekarang seperti kepulauan.

Pada masa itu ada gelombang migrasi dari leluhurnya penutur Bahasa Austronesia dari Taiwan, Filipina, dan pada waktu itu sebenarnya wilayah kita itu merupakan wilayah yang kalau menurut saya itu Sunda-Kosmopolit. Jadi sebenarnya sudah ada perdagangan antar manusia antar pulau yang cukup intens. Itu membuat enggak cuma orang berpindah, tapi juga berkawin-kawin dan itu setting sebenarnya kita punya orang Indonesia itu fisik dan etnik.

Jadi selain bahasa, itu juga membuat orang-orang Indonesia itu menjadi sangat beragam, jadi ada yang kemudian berkulit lebih putih terang maksudnya atau agak kekuningan gitu karena campuran dari Indo-Cina dan Taiwan. Tapi ada juga yang masih berkulit gelap dan berambut keriting seperti yang ada di Indonesia bagian tengah dan timur seperti orang Papua atau Ternate atau Ambon dan ada yang di antaranya berkulit sawo matang. Jadi memang di kita, yang membuat kita sangat beragam hal seperti itu, jadi kompleksitas migrasi dan interaksi antar orang dari lintas kepulauan gitu.

Berarti karakter orang yang berbeda-beda itu tergantung dari lokasi mereka migrasi ya?

Iya, ada faktor sejarahnya. Misalnya kita bisa lihat juga dalam periode migrasi itu kan enggak cuma pada masa itu. Jadi pada masa kolonial juga atau masa peralihan abad pertengahan masa kerajaan-kerajaan, banyak yang khususnya sampai Majapahit mulai kedatangan bangsa-bangsa Eropa, pedagang-pedagang VOC Belanda, Inggris, dan lain sebagainya.

Terus ada gelombang migrasi juga yang datang dari Jepang atau waktu itu pemerintah kolonial juga bawa pekerja-pekerja dari Hokkian ya ke Indonesia, ke Kalimantan, ke Bangka Belitung, ke beberapa bagian Sumatera untuk menjadi pekerja. Jadi ya itu tanpa sadar membuat fitur-fitur fisik Indonesia menjadi seperti sekarang ini.

Jadi mungkin kita enggak perlu heran kalau ada orang Jawa tapi berkulitnya putih terlihat seperti orang Tionghoa. Kita bisa traceback ke sejarahnya dulu atau mungkin mereka terlihat seperti orang Arab. Atau kalau di Sumatera mungkin terlihat seperti orang-orang yang datang dari India. Atau banyak juga yang dari kita terlihat tubuhnya indo kan campuran kayak orang Eropa tapi masih kayak terlihat seperti orang Indonesia.

Ya kita lihat juga bahwa sebenarnya hal itu terjadi karena faktor sejarah kita pada masa lalu. Kita juga merupakan wilayah yang sangat kosmopolis. Banyak orang datang untuk singgah maupun menetap.

Bisa bayangkan kalau misalnya sekarang kita berpergian itu paling lama berapa jam gitu, untuk bisa kembali lagi mudah, kalau dulu kan pelaut masih menggunakan teknologi nelayan juga mungkin yang mengandalkan kondisi alam. Ya itu kalau mereka datang mau balik lagi, ya tambah panjang lagi. Jadi atau mungkin beberapa tahun kemudian wajar pada akhirnya banyak yang kemudian menetap, kawin dengan penduduk lokal di manapun dia singgah. Dan itu tanpa sadar sebenarnya setting kita punya fisik yang sampai saat ini kita.

Konteks kosmopolit pada masa itu seperti apa?

Pada 4000 sampai 1000 tahun yang lalu itu sebenarnya periode dimulainya teknologi pelayaran yang sebenarnya cukup canggih. Karena memang dengan teknologi yang ada mungkin seperti perahu kano atau yang lebih besar sedikit tapi bisa kemana-kemana, bisa melintasi berbagai daerah, bahkan sebagian itu ada yang ke Madagaskar ada yang sampai ke Polinesia yang sekarang jadi penduduk Polinesia orang Hawai, orang Maladewa. Kalau dicek genetiknya, mereka berasal dari wilayah Indonesia tengah, sekitaran Kepulauan Maluku atau mungkin ada yang dari pesisir Papua Barat.

Jadi kosmopolit bisa kita bayangkan seperti kondisi ibu kota. Banyak orang datang dari berbagai macam pulau. Ada orang dari mancanegara untuk beraktivitas di sini, bahkan juga di daerah ekonomi lainnya. Pada masa lampau juga mungkin bentuknya tidak seperti Jakarta, tapi paling tidak kondisinya itu seperti itu. Seperti misalnya jalur rempah. Mungkin sudah dimulai sebelum kedatangan orang-orang Eropa. Sudah ada semenjak lampau gitu.

Di Indonesia, apa ada kawasan-kawasan yang enggak terbuka sama jalur migrasi?

Biasanya posisinya itu ada di daerah-daerah yang bisa dibilang remote ya.

Seperti di mana?

Remote seperti pegunungan di Papua. Jadi wilayah interior nya,kondisi alamnya lebih lebat. Ada juga beberapa pulau yang kemudian karena lokasinya enggak strategis, enggak dilalui oleh jalur perdagangan itu juga menjadi sedikit atau bisa dibilang terisolasi. Tapi kalau saya perhatikan dari apa yang sudah saya pelajari dari kondisi beberapa pulau, wilayah, atau orang-orang etnik di Indonesia itu enggak benar-benar terisolasi.

Misalnya di interior Kalimantan yang diisi sama orang-orang asli yang disebut orang Dayak, itu kalau dilihat sejarahnya ternyata mereka juga banyak yang berinteraksi ke pesisir kemudian masuk ke dalam. Di dalam juga mereka ada yang saling berinteraksi. Entah lewat peperangan atau perkawinan. Apalagi di Jawa dan Nusa Tenggara. Ternyata juga mereka banyak interaksi dengan wilayah tengah dari Nusa Tenggara, Ambon, Sulawesi Selatan atau Utara itu juga banyak interaksi dengan orang-orang atau kerajaan dari Filipina, Sabah, Taiwan. Atau misalnya orang Kalimantan, Sumatera juga ada sejarah interaksi dengan orang-orang yang dari Thailand, China, Kamboja, Vietnam, atau bahkan dari India. Jadi enggak pernah benar-benar terisolasi sebenarnya. Selalu ada sejarah atau cerita dimana mereka kedatangan orang dari luar yang kemudian menetap dan menjadi bagian dari mereka, selalu ada cerita seperti itu.

Hal ini terjadi juga di negara lain?

Saya enggak bisa bilang eksklusif di Indonesia. Tapi banyak di belahan dunia lain itu yang kondisinya itu mereka benar-benar minim interaksi dengan orang dari luar.

Seperti di mana contohnya?

Misalnya yang saya tahu itu ada paling dekat sini itu ada yang disebut orang-orang Andaman. Andaman ini kepulauan yang terletak di atas Sumatera. Dia berbatasan dengan Myanmar di sebelah barat dan India di sebelah timur.

Secara fisik, fitur mereka mirip orang-orang Papua. Menurut informasi yang saya baca, penduduk Andaman masih tertutup sampai pertengahan abad 20. Dalam arti mereka tidak begitu terbuka atau menerima kedatangan orang dari luar pulau. Jadi banyak catatan soal penyerangan terhadap para pedagang, pelancong-pelancong, dan kaum intelektual dari Eropa yang hendak masuk ke kawasan kepulauan.

Saya pikir sampai saat ini mereka tergolong sebagai orang yang masih mempertahankan kelompok mereka. Jadi dari culture, fitur-fitur fisiknya juga disebutkan masih keturunan dari orang yang bermigrasi dari Afrika. Jadi sisa-sisa migrasi dari 50.000 tahun kalau disebut dalam studi biologinya.

Nah, itu kan juga sumbernya sama gitu dengan di Indonesia, sisanya kan di bagian timur kita ya. Di Filipina juga masih ada, orang-orang yang mirip dengan orang-orang Maluku. Selain itu ada penduduk di Semenanjung Malaysia itu ada yang disebut dengan orang asli. Mereka cenderung lebih menutup diri dari orang luar.

Meski begitu, tetap masih ada interaksi karena ada kesamaan bahasa yang dipakai oleh orang-orang di Indonesia Tengah, orang Papua di pesisir, dan orang di Filipina tadi, dan orang di Semenangjung Malaysia. Ini menunjukkan ada interaksi. Entah lewat perdagangan atau apapun meskipun bukan dalam perkawinan. Jadi interaksi ketemu aja.

Di samping itu, karena mungkin ada relasi power sehingga membuat bahasa aslinya tidak digunakan lagi sehingga mereka lebih menggunakan bahasa Austronesia. Andaikata mereka minim atau tidak ada interaksi, misalnya seperti di bagian interior Papua ya, Papua Nugini di daerah pegunungan. Itu membuat mereka secara genetik masih mempertahankan, menggambarkan bahwa mereka orang-orang yang bermigrasi 50.000 tahun yang lalu.

Jadi enggak ada tanda genetik dari sebaran migrasi yang dari Austronesia 4000 tahun yang lalu atau dari Indo-Cina 10.000 tahun yang lalu.

Masih spesifik ya di situ. Termasuk juga bahasanya.

Dari sekian banyak gelombang migrasi, kenapa yang dijadikan kiblat itu yang rambut lurus tebal?

Ada faktor sejarah kolonialisasi. Ada periode di mana masyarakat kita diatur oleh pemerintah kolonial. Mereka mendatangkan pekerja, tentara, pasukan keamanan, tapi juga sebenarnya juga para perempuan untuk dinikahi. Untuk menetap dan tinggal di sini.

Di sisi lain sebenarnya pemerintah kolonial pada masa itu ya itu, menerapkan sistem stratifikasi sosial yang berlapis menyerupai sistem kasta. Jadi orang Eropa yang berkulit terang rambutnya mayoritas lurus dan pirang, ada di tingkatan yang paling atas. Di bawahnya adalah pedang-pedagang Asia Timur dan Arab. Dan yang paling bawah adalah orang yang disebut pribumi. Yang kalau kita lihat di foto-foto kulitnya enggak ada yang putih, enggak terang, dan rambutnya enggak lurus.

Kita juga bisa lihat lagi lewat dokumentasi-dokumentasi yang ada pada masa itu, orang-orang Eropa dan pedagang-pedagang yang dari Timur dan Arab mengambil pekerja dari golongan pribumi yang kulitnya gelap dan mungkin berambut keriting.

Secara enggak langsung itu menempatkan atau terserap ke dalam benak kita kalau orang yang berkulit gelap itu enggak terlihat menarik, cantik, bersih, atau atau menawan; dibanding mereka yang berkulit terang.

Dan akhirnya berdampak juga pada kontes-kontes kecantikan. Yang mana yang terpilih jadi pemenang, mayoritas adalah yang fiturnya mendekati ‘strata’ tinggi tadi.

Jadi sisa-sisanya itu secara enggak sadar masih terpatri banget soal gambaran ideal tentang apa yang terlihat menarik.

Tapi sebenarnya itu juga ada faktor atau pengaruh media. Media-media itu kan selalu, sampai tahun 90an itu kan definisi kecantikan kurang lebih yang kayak gitu, yang putih rambut lurus. Sekarang balik lagi kalau mbak perhatiin iklan-iklan skincare, pasti sebagian besar gimana caranya supaya produk itu membuat kulit kita lebih cerah, jadi yang menarik dan terlihat glowing itu yang cerah dan sudah pasti rambutnya juga lurus. Ya mungkin ada yang ikal tapi enggak yang keriting atau gimana.

Saya sempat lihat iklan produk kecantikan dengan model berkulit cokelat dan keriting. Tapi saya enggak tahu nanti kedepannya apakah si model akan dibuat jadi lebih cerah kulitnya tau enggak. Kalau nantinya dibuat jadi cerah berarti secara umum kita belum menerima atau belum bisa ngebayangin kalau orang yang berkulit gelap dan keriting itu sama menawannya atau lebih menawan.

Meskipun sebenarnya sudah banyak juga, kita lihat juga perempuan mulai bangga punya kulit cokelat. Saya pikir satu hal yang menarik, karena memberikan resistensi terhadap standar kecantikan yang dulu muncul dari faktor kolonialisme.

Menurut Anda, produk-produk yang dijual di pasaran berhubungan dengan standar umum kecantikankah?

Industri sampo itu kan memang datangnya dari barat ya. Yang memang mayoritas berambut lurus. Jadi karena mereka punya kekuatan secara ekonomi, distribusi, produksi, ya secara enggak langsung, itu mempengaruhi.

Saya pikir sekarang masyarakat juga bisa mempengaruhi. Karena masyarakat kan pasar sebetulnya. Masyarakat juga bisa mempengaruhi produsen. Misalnya beberapa tahun terakhir kan mulai banyak yang sampo untuk perempuan berhijab padahal dulu tidak ada. Karena sekarang sudah mulai banyak yang menggunakan hijab.

Mungkin kalau misalnya kedepannya masyarakat dan media bisa mengangkat atau bikin gerakan untuk mengangkat orang-orang yang berkulit tidak terang dan berambut tidak lurus tetap terlihat menarik dan “menuntut” produk sampo yang sesuai, saya pikir ada kemungkinan pada akhirnya si produsen bisa melihat pasarnya bagaimana. Ada kalanya mereka menciptakan pasar, tapi ada juga kalanya dipengaruhi pasar.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Adi Renaldi