Menuju konten utama
Miroso

Melankolia dalam Sepiring Nasi Gandul

Yang membuat pengalaman menyantap nasi gandul di Pati jadi lebih berkesan adalah interaksi orang-orang di sekeliling.

Melankolia dalam Sepiring Nasi Gandul
Header Miroso Nasi Gandul. tirto.id/Tino

tirto.id - Bosan dengan menu makan siang yang itu-itu saja, suatu hari saya terlena dengan bujuk rayu teman kantor yang mengajak menyantap nasi gandul. Momen makan siang itu cukup mendebarkan lantaran selama ini saya sengaja menghindari makan nasi gandul di kota perantauan.

Takutnya, ketika menyantap hidangan ini di perantauan bisa membuyarkan kerinduan saya akan kampung halaman. Saya khawatir kenangan saya berubah lantaran pengalaman makan yang mungkin tidak sebaik ketika nasi gandul disantap di Pati, kota asalnya juga merupakan kota kelahiran saya. Walau demikian, siang itu, saya memesan nasi gandul dengan isian paru sapi dan tak menyisakan barang sebutir nasi.

Menyantap nasi gandul seolah jadi ritual bagi saya setiap kali pulang ke kampung halaman. Tak jarang, bayang-bayang kelezatan sepiring nasi gandul –dengan kuah yang masih mengepulkan uap panas– membuat saya menaruk kegiatan ini sebagai prioritas utama begitu sampai di rumah. Padahal, ketika memikirkan ini, saya bahkan baru mendaratkan pantat di atas kursi bus PO Haryanto dan perjalanan dari Yogyakarta ke Pati masih sekitar 6 jam lagi. Tapi begitulah, kecintaan saya dengan kuliner ini justru semakin membuncah seiring makin jauh saya dari rumah.

Nasi gandul di keluarga saya punya kedudukan yang cukup penting. Makanan ini jadi cara nenek saya menyambut kedatangan anak bungsunya dari luar kota. Ia adalah sosok yang paling gelisah setiap kali mendengar putranya –paman saya, anak terakhir dari lima bersaudara– bakal berkunjung ke rumah. Tinggal dengan nenek sejak kecil membuat saya hafal dengan tabiatnya dalam situasi ini. Ia bakal meminta saya atau bibi yang tinggal serumah untuk segera membeli nasi gandul guna menjamu putra kesayangannya.

Cara kami memesan nasi gandul juga berbeda-beda tergantung situasi.

Kalau untuk menjamu tamu, seperti contoh kasus di atas, nenek bakal meminta agar isiannya diperbanyak dua hingga tiga kali lipat. Ini artinya, potongan daging atau jeroan sapi di dalam kuah gandul bakal melimpah ruah. Kondimennya juga minimal terdiri dari dua jenis: tempe garit yang digoreng garing dan perkedel kentang yang dibalur dengan telur. Itu pun, kadang bibi saya masih menggoreng telur ceplok, menyiapkan sambel dan sekaleng kerupuk, dan memastikan semua makanan tersaji dalam kondisi hangat. Ada kepuasan tersendiri melihat tamu kami menyantap nasi gandul sampai habis, seolah-olah kami sekeluarga baru saja mengatakan, “Benar kan makanan kami tidak mengecewakan.”

Berbeda jika kami pesan nasi gandul untuk dimakan sendiri. Isiannya sangat minimalis –jika mengacu pada istilah jaman sekarang. Tak jarang, meski sudah menyendok kuah berkali-kali, saya hanya mendapati dua sampai tiga iris daging. Biasanya, saya dan para sepupu menyiasatinya dengan menggoreng telur ceplok untuk lauk tambahan. Walaupun lebih sederhana, tapi ritual makan dengan kuah gandul itu selalu membekas dalam ingatan. Kami makan dengan lahap; paman saya makan di meja sambil mengenakan sarung, sementara saya, bibi, nenek, dan dua sepupu saya duduk di kursi sambil menonton televisi.

Bukan Masakan Rumah

Meski sama-sama ikon kuliner, tetapi tidak seperti gudeg atau mangut lele, nasi gandul bukan sejenis masakan rumahan. Saya tak pernah melihat teman-teman ataupun saudara-saudara saya di Pati memasak nasi gandul di rumah mereka. Berbeda dengan gudeg atau mangut lele yang sekali waktu saya jumpai di rumah kawan-kawan di Yogyakarta dan diolah sendiri oleh tuan rumah. Dalam ingatan saya, selama saya tinggal di Pati, tak pernah ada ajakan makan seperti, “Ayo makan dulu, ibuku sudah memasak nasi gandul.” Sebab, memang nasi gandul tak dimasak di rumah sebagai menu harian. Nasi gandul yang saya kenal adalah nasi gandul yang diracik langsung dari warung.

Ada dua warung nasi gandul langganan keluarga saya, pertama nasi gandul Muntiman yang terletak di dekat SMP 8 Pati. Sedangkan yang kedua, nasi gandul romantis Pak Sardi yang terletak di Desa Gajahmati, persis di sebelah terminal Kota Pati. Sejak puluhan tahun silam, wilayah ini memang terkenal sebagai daerah penjaja nasi gandul. Tak heran kalau beberapa warung nasi gandul dibubuhi tulisan “Gajahmati” walau dijajakan di luar area tersebut. Agaknya “Gajahmati” di sini punya fungsi untuk menunjukkan kalau nasi gandul tersebut orisinal.

Kedua warung ini sudah berdiri sejak puluhan tahun yang lalu dan hingga kini masih setia melayani pembeli. Selain dua warung tersebut, saya dan sahabat karib saya semasa SMA juga punya warung langganan di dekat terminal Kota Pati, namanya warung nasi gandul H. Warsimin. Setiap pulang ke Pati, kami pasti janjian untuk bertemu dan menikmati sepiring nasi gandul di warung ini. Laku kebiasaan ini juga yang membuat saya hafal dengan foto Bondan Winarno yang dipajang di salah satu sisi tembok. Foto jurnalis cum foodies yang terkenal dengan kelakar maknyusnya itu jadi semacam badge of honour.

Sebagaimana tampilan warung pada umumnya, warung nasi gandul langganan saya itu dilengkapi dengan terpal yang menjadi penanda identitas. Kata gandul diambil dari metode berjualan nasi gandul zaman dulu yang dijajakan dengan cara dipikul menggunakan dua bakul besar di sisi kanan dan kiri. Sisi sebelah kanan biasanya berisi kuali besar, tempat menyimpan kuah gandul panas, sedangkan sisi sebelah kiri merupakan wadah untuk menyimpan peralatan makan. Penjualnya duduk di tengah seperti seorang dalang yang dengan cekatan meracik karya terbaiknya.

Infografik Miroso Nasi Gandul

Infografik Miroso Nasi Gandul. tirto.id/Tino

Santap di Warung Lebih Nikmat

Agaknya saya mulai paham mengapa makan nasi gandul di kota perantauan membuat saya sedikit tertekan. Sebab, pengalaman menyantap nasi gandul di Yogyakarta dengan di Pati benar-benar berbeda.

Di Yogyakarta, warung-warung nasi gandul yang jumlahnya memang tidak banyak, cenderung sepi sepanjang hari bahkan ketika jam makan siang atau jam makan malam. Antrean tidak mengular seperti di kota kelahiran saya dan orang-orang tidak berjubel dengan wajah kelaparan. Belum lagi tata letak makanan yang juga tidak semeriah seperti di kota asalnya.

Di Pati, pengunjung bakal dengan mudah gelap mata dan menghabiskan banyak sekali lauk pendamping karena kondimennya sangat lengkap. Tempe garit yang digoreng garing, perkedel kentang, tahu dan tempe bacem, beragam jenis sate dan jeroan sapi, telur dadar, telur rebus, telur asin, kerupuk tersaji di atas meja sejauh mata memandang. Siap menggoda perut yang lapar.

Pemilihan jenis kecap juga sangat mempengaruhi cita rasa nasi gandul. Di kota asal saya, kami lebih familiar dengan kecap cap Ikan Lele dan kecap cap Tiga Keong. Rasa kecap ini tidak begitu manis ketika diaplikasikan ke dalam masakan. Ia tidak mendominasi rasa masakan melainkan membuat rasanya jadi pas. Itu mengapa, kuah gandul asli Pati biasanya tidak begitu manis, dengan rasa gurih yang bakal tetap membekas di lidah. Persoalan kecap ini memang harus hati-hati, sebab isian empal daging di dalam nasi gandul biasanya sudah dibacem terlebih dahulu sehingga rasanya juga sudah manis.

Nasi gandul umumnya disajikan di atas piring yang telah dialasi daun pisang. Cara makannya lumayan unik yakni menggunakan potongan daun pisang atau disebut sendok suru. Sendok ini juga kerap digunakan untuk menyantap makanan tradisional lain seperti nasi liwet atau bubur.

Selain persoalan di atas, hal lain yang membuat pengalaman santap-menyantap nasi gandul di Pati jadi lebih berkesan adalah interaksi orang-orang di sekeliling. Mendengar para pengunjung di warung bercakap-cakap menggunakan logat Jawa khas Pati adalah sebentuk momen eksistensial bagi saya yang membuat saya berpijak ke bumi: inilah kota kelahiran saya, tempat saya dibesarkan, asal muasal saya. Jarak membuat saya lebih sentimentil dengan rumah dan kerinduan itu mewujud dalam sepiring nasi gandul.

Baca juga artikel terkait NASI GANDUL atau tulisan lainnya dari Ruhaeni Intan

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Ruhaeni Intan
Editor: Nuran Wibisono