Menuju konten utama
Kronik Ramadan

Melanggengkan Tradisi dan Silaturahmi di Hari Raya Idul Fitri

Seluruh umat Islam di dunia menyambut gembira perayaan Idul Fitri. Di Indonesia, perayaan itu adalah bagian dari tradisi.

Ilustrasi perayaan Idul Fitri di Indonesia. tirto.id/Mojo

tirto.id - Bila kita meneroka uraian dalam Adat Aceh, atau kisah-kisah dari para pedagang dan duta besar yang berkunjung ke Kesultanan Aceh tatkala sedang jaya-jayanya, selalu ada deskripsi istimewa soal penyelenggaraan pesta. Hampir tidak dapat dipercaya, betapa banyak waktu dan tenaga yang digunakan untuk menyelenggarakan arakan-arakan, pertunjukan, dan hiburan, termasuk pada bulan suci Ramadan dan Idul Fitri.

Dalam uraian mengenai perayaan Idul Fitri di Aceh pada ke-17, Adat Aceh memberikan perhatian utama kepada urut-urutan pejabat menurut pangkat dalam iring-iringan gajah kerajaan yang membawa mereka dari benteng, dan kepada pelbagai jenis musik dan tabuhan gendang pada setiap tahap iring-iringan. Di dalam masjid, imam memimpin sembahyang yang diwajibkan dan khatib memberikan ceramah.

Tulisan-tulisan orang asing tentu saja menunjukkan kesan takjub dengan semua upacara ini. Tujuan segala upacara tersebut jelas: agar semua orang dapat menyaksikan keagungan raja pada kesempatan yang berbahagia itu.

Dalam Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh (2004), Amirul Hadi menggambarkan kesaksian seorang pengunjung asing yang datang ke Aceh pada abad ke-17:

"Seekor gajah besar berhias dibawa perlahan-lahan ke halaman istana. Raja muda [Ali Ri’ayat Syah], yang mengenakan semacam daster emas, menaiki gajah dan duduk di bawah sebuah atap yang megah; di depannya duduk seorang prajurit berpakaian indah dan mengenakan mahkota mungil dari emas, dia mengendalikan gajah itu, dan seorang prajurit lain, juga berpakaian indah, duduk di belakangnya [...] Demikianlah pangeran muda itu pergi ke masjid, diiringi oleh banyak bangsawan, banyak sekali gajah dan sejumlah kecil kuda [...] Suara hiruk pikuk luar biasa tersembur dari berbagai macam alat musik, seperti terompet, seruling, tambur, dan simbal" (hlm. 129-130).

Salat Id

Perayaan yang menutup Ramadan—disebut ‘iidu al-fitr—seperti yang saya ilustrasikan di atas, terjadi setelah dua puluh sembilan atau tiga puluh hari berpuasa. Selebrasi ini terkadang disebut dengan ‘iidu as-saghiir (perayaan kecil), dan berbeda dengan Idul Adha yang juga disebut ‘iidu al-kabiir (perayaan besar).

Hanya saja, di Indonesia, julukan-julukan itu tidaklah tepat, sebab Idul Fitri (Lebaran) merupakan perayaan yang lebih besar dibandingkan dengan Idul Adha. Umat Muslim diperintahkan untuk “mengagungkan Allah SWT atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (Surah al-Baqarah, ayat 185). Seruan ini biasa berbentuk takbiran yang dikumandangkan sepanjang malam menjelang Idul Fitri:

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar

La ilaha illa Allah, wa Allahu akbar

Allahu akbar, wa li Allahi al-hamd

Memang, malam ini berfokus pada pengagungan Allah. Dalam sebuah Hadis, kita diberitahu bahwa siapa saja yang menghidupkan malam ini akan dihidupkan hatinya pada hari ketika hati orang-orang lain telah mati. Pada malam ini, zikir, takbir, doa, dan istighfar mesti diserukan.

Sembahyang sunah pada hari Idul Fitri (salat id) terdiri dari dua rakaat, dan mendahului sebuah khotbah. Sembahyang id yang berstatus sunah muakkad menurut hukum Islam ini hendaknya ditunaikan secara berjamaah pada pagi 1 Syawal, dan sebanyak mungkin umat Muslim harus hadir. Menurut Hadis Rasulullah, sah-sah saja menunaikan sembahyang ini di dalam masjid atau di lapangan, walaupun ada kecenderungan mengutamakan yang terakhir disebut. Faktanya memang tidak banyak masjid di Indonesia yang dapat menampung banyak umat Muslim pada pagi 1 Syawal.

Dilaporkan pula di dalam Hadis, Nabi Muhammad terbiasa ke luar untuk bertemu kaum perempuan dan menyajikan khotbah pada mereka setelah khotbah utama selesai. Pada waktu itu, Bilal juga ikut untuk mengumpulkan sedekah para perempuan ini. Selain riwayat ini, tidak banyak informasi yang bisa didapat dari kumpulan Hadis mengenai hari raya Idul Fitri dan sembahyang id. Hal ihwal ini berbeda sekali dengan apa yang terjadi di Indonesia, dan berbagai daerah lain di dunia Islam, di mana perayaan Idul Fitri ini sangat penting dan beraneka ragam.

Tradisi Indonesia: Halalbihalal, Nyekar, Mudik

Sebuah topik lain yang amat penting berhubungan dengan Idul Fitri dalam konteks Indonesia kontemporer adalah halalbihalal atau silaturahmi. Konsep ini tidak ada dalam Alquran dan Hadis, tetapi sangat penting bagi umat Muslim di Nusantara. Memang, tanpa silaturahmi atau halalbihalal, pesta lebaran adalah mustahil. Lema silaturahmi berasal dari dua kata bahasa Arab, yaitu silah dan rahiim, dan pada umumnya dialihbahasakan sebagai “tali persaudaraan”. Di kala Lebaran, ada pesta makan besar yang disantap bersama dengan suka cita.

Pelbagai Hadis menggarisbawahi pentingnya silaturahmi, tapi Hadis-Hadis ini tidak berhubungan dengan pesta Idul Fitri secara khusus, dan senyatanya silaturahmi pada Lebaran ini merupakan tradisi khas Indonesia. Pada acara silaturahmi, Muslim Indonesia saling meminta maaf, dan ini dengan keyakinan bahwa bukan saja kemaafan Ilahi yang penting pada hari ini, tetapi juga kemaafan duniawi. Permintaan maaf pada hari Lebaran merupakan kegiatan yang sangat emosional. Tak jarang orang akan berderai air mata dengan tersedu-sedu saat melakukannya.

Selanjutnya, tradisi berziarah kubur (nyekar) juga menjadi tradisi Islam Nusantara. Menurut Andre Moller dalam Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting (2007), sama halnya dengan pergi ke kuburan yang dilakukan sebelum Ramadan, keluarga (atau bagian tertentu dari keluarga) umumnya pergi bersama-sama ke kuburan. Laki-laki pergi bersama perempuan.

Keinginan mengunjungi kuburan pada hari Idul Fitri berdasarkan niat untuk dimaafkan anggota keluarga yang telah tiada. Kebiasaan meminta maaf kepada handai-taulan dengan demikian tidaklah terbatas kepada yang masih hidup. Dengan kata lain, nyekar sehabis Ramadan tidak lain merupakan silaturahmi dengan yang sudah meninggal dunia. Nyekar setelah Ramadan tak perlu dilakukan tepat pada hari Lebaran, dan kuburan-kuburan umumnya ramai sepanjang minggu pertama pada bulan Syawal (hlm. 222-223).

Selain itu, juga ada tradisi yang merupakan kegiatan khas Indonesia pra-Lebaran: mudik. Mudik (kembali ke udik/asal) adalah gerak sosial yang luar biasa yang melibatkan ratusan juta manusia. Meski dipenuhi banjir informasi tentang betapa berat dan sukar perjalanan mudik, tiap tahun orang-orang berbondong-bondong pulang ke kampung halamannya.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/06/13/idul-fitri-di-indonesia--kronik--mild--mojo_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Kronik Idul Fitri di Indonesia" /

Zakat untuk Mereka yang Fakir

Sebelum sembahyang id ditunaikan, seluruh umat Muslim harus terlebih dahulu membayar zakatulfitri (Ahmad 9, 1605; Muslim 5, 2159). Zakat ini wajib dibayar semua orang Islam, dan merupakan puncak kedermawanan mereka selama bulan Ramadan.

Namun, Ramadan dan Idul Fitri bukanlah satu-satunya kesempatan kaum Muslim bersedekah kepada orang miskin. Perintah Allah agar kaum Muslim bersedekah kepada orang fakir dan miskin ada di hampir setiap halaman Alquran. Sedekah tidak memiliki bentuk. Bersedekah berapa pun, kapan pun, dalam keadaan apa pun, merupakan tindakan terpuji dan dianjurkan, dan semakin terpuji bila niatnya suci. Islam mengajarkan bahwa orang fakir dan miskin punya “hak” atas kekayaan orang kaya (QS 70: 24-25) dan menasihati orang kaya untuk senantiasa menjalankan kewajiban ini.

Zakat terdiri dari sumbangan wajib tahunan sebesar dua setengah persen dari kekayaan pribadi untuk kesejahteraan umum. Zakat diwajibkan pada anak kecil dan orang dewasa, laki-laki dan perempuan. Meski bisa lebih dari dua setengah persen jika dikehendaki, besaran zakat tidak bisa kurang dari dua setengah persen. Berlaku curang dalam menghitungnya, menurut hukum Islam, merupakan kejahatan yang dapat dihukum.

Dana zakat harus dikeluarkan untuk golongan yang disebutkan Alquran, yaitu orang miskin dan papa, musafir yang fakir, tawanan, pengumpul zakat, dan mereka yang berjuang di jalan Allah. Semua golongan ini khusus, yang dapat didefinisikan dengan ketat, kecuali yang terakhir. Golongan terakhir bermakna ganda dan kadang-kadang ditafsirkan bahwa dana zakat bisa digunakan bagi kesejahteraan umum. Sunah membolehkan dana zakat digunakan untuk pendidikan, kesejahteraan masyarakat, dan pembelaan umat Islam.

================

Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangka Raya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.

Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Ivan Aulia Ahsan