Menuju konten utama

Melampaui Tenggat Jokowi, Corona di Jatim Malah Makin Liar

Jokowi memberi tenggat bagi Jatim mengatasi Corona. Hasilnya gagal, kata epidemiolog. Tapi Khofifah bilang berhasil berdasarkan statistik kesembuhan.

Melampaui Tenggat Jokowi, Corona di Jatim Malah Makin Liar
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (tengah) membagikan masker kepada pedagang dan pekerja di Pasar Kapasan, Surabaya, Jawa Timur, Senin (29/6/2020). ANTARA FOTO/Moch Asim/pras.

tirto.id - Presiden Joko Widodo mengeluarkan semacam ultimatum kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan pemerintah di bawahnya terkait penanganan COVID-19: virus dapat dikendalikan dalam waktu dua pekan.

"Saya minta dalam waktu dua minggu ini pengendaliannya betul-betul kita lakukan bersama-sama dan terintegrasi dari semua unit organisasi. Baik itu di gugus tugas, provinsi, kota, kabupaten, seterusnya sampai ke rumah sakit, kampung, desa," kata mantan Gubernur DKI tersebut.

Pernyataan ini ia sampaikan pada Kamis 25 Juni 2020--ketika penambahan kasus positif mencapai 247, terbanyak di antara provinsi lain. Dengan demikian, tenggat dua pekan dari Jokowi jatuh kemarin, Kamis 9 Juli.

Lalu apakah tenggat tersebut terpenuhi?

Bagi ahli kesehatan masyarakat sekaligus epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Laura Navika Yamani, jawabannya: tidak. "Kalau dua minggu, harusnya hari ini, kan? Tapi akhirnya memang tidak bisa. Kasusnya terus meningkat, tidak hanya konsisten," katanya kepada reporter Tirto, kemarin (9/7/2020).

"Jawa Timur gagal untuk mencapai target yang sudah diberikan oleh Presiden," katanya menegaskan.

Menurut Gugus Tugas, per 8 Juli lalu (diumumkan 9 Juli), total konfirmasi positif Jatim mencapai 14.967 kasus, tertinggi di antara provinsi lain. Di peringkat kedua ada DKI Jakarta yang total konfirmasi kasusnya sebesar 13.211.

Jumlah kasus meninggal Jatim pun berada paling atas. Hingga 8 Juli angka pasien meninggal mencapai 1.102, bertambah 23 dalam waktu 24 jam.

Menurut Laura, salah satu faktor yang membuat kasus terus naik adalah akibat pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pergerakan masyarakat yang besar membuat penularan semakin masif, terutama dari orang-orang yang berstatus positif tetapi tanpa gejala (orang tanpa gejala/OTG).

Masih banyak masyarakat tidak mengindahkan protokol kesehatan, sementara di sisi lain pemerintah tidak tegas. "Masyarakat itu perlu mendapat pemahaman dan itu mungkin belum secara maksimal dilakukan," kata Laura.

Ketua Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jatim Nursalam bilang setidaknya ada lima persoalan dalam penanganan COVID-19 di provinsi ini. Pertama, soal pemeriksaan tes PCR. Harga yang mahal, mencapai jutaan rupiah, membuat tes PCR secara masif sulit dilakukan, sementara hasil rapid test tidak presisi.

"Perlu pemeriksaan PCR secara masif dan berkala setiap 14 hari," kata Nursalam kepada reporter Tirto, Kamis.

Kedua, penerapan protokol kesehatan belum maksimal. Ketiga, kurangnya jumlah dan desain kamar di rumah sakit. Nursalam mengatakan di lapangan banyak desain ruangan maupun keterbatasan SDM membuat penanganan COVID-19 tidak optimal.

Keempat, kurangnya edukasi ke masyarakat. Terakhir, para perawat bekerja secara berlebihan dan di sisi lain belum menerima insentif.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim Sutrisno menitikberatkan kedisiplinan masyarakat sebagai faktor kenapa target Presiden tidak terpenuhi. Ia mengutip sebuah riset yang menyebut masyarakat yang tinggal di rumah maupun menerapkan protokol kesehatan kurang dari 50 persen.

"[Mau] selesai gimana, wong yang jadi pokok masalahnya tidak ingin menyelesaikan. Masyarakat harus bertanggung jawab sendiri," kata Sutrisno, Kamis. "Masyarakat Surabaya atau Jatim kalau pengin selesai ya tolong patuhi protokol kesehatan," tambahnya.

Epidemiolog Unair lain, Windhu Purnomo, juga mengatakan "penularan masih terjadi karena ketidakdisiplinan warga dalam mematuhi protokol kesehatan." Namun, itu bukan semata-mata salah masyarakat. "Kata kuncinya law enforcement dengan sanksi denda dan administratif yang betul-betul ditegakkan. Tentu bukan sanksi pidana karena pelanggar kedisiplinan ini bukan kriminal," kata Windhu.

Kata Khofifah

Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa tidak tegas mengatakan apakah target Jokowi terpenuhi atau tidak. Namun, ia menegaskan kalau dalam dua pekan terakhir "upaya mengendalikan COVID-19 di Jatim mulai membuahkan hasil signifikan."

Dilaporkan Antara, Khofifah mengutip data gugus tugas soal persentase kesembuhan.

Pada 25 Juni, ketika Jokowi mengumumkan 'ultimatum', angka kesembuhan 3.429 dari total 10.532 kasus atau setara 32,56 persen. Dua pekan kemudian, ada 2.150 penambahan pasien sembuh. Itu artinya, hingga 8 Juli, pasien sembuh mencapai 5.579 atau setara 37,34 persen dari total kasus positif. Antara menyebutnya "tertinggi sejak dua pekan terakhir."

"Dengan kesembuhan kasus yang terus bertambah ini semoga ke depan semakin banyak warga Jatim yang terkonversi negatif," katanya.

Khofifah lalu melanjutkan: "Kami optimistis dengan tingginya angka kesembuhan ini maka Jatim bisa segera melalui masa darurat pandemi, sesuai instruksi dari Presiden Jokowi."

Baca juga artikel terkait KASUS CORONA DI JAWA TIMUR atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino