Menuju konten utama

Melahirkan Perusahaan Teknologi dari Urunan Dana

Beberapa situsweb urunan dana atau crowdfunding jadi sumber pendanaan bagi mereka yang memiliki ide gemilang di bidang teknologi. Di Indonesia, crowdfunding masih belum dimanfaatkan untuk melahirkan para perintis perusahaan teknologi.

Melahirkan Perusahaan Teknologi dari Urunan Dana
ilustrasi crowdfunding [foto/shutterstock]

tirto.id - Membangun perusahaan teknologi sudah pasti membutuhkan dana yang besar. Sayangnya, tak semua orang cerdas yang kini sedang merintis perusahaan teknologi, memiliki akses pendanaan yang luas. Padahal, bisa jadi rintisan yang mereka buat bisa besar, seperti saat Steve Wozniak dan Steve Jobs membangun Apple. Ketika itu, keduanya nyaris tak memiliki pendanaan yang besar, untuk bisa mengembangkan usahanya.

Meyakinkan orang untuk mendanai usaha perusahaan teknologi juga bukan hal yang mudah. Investor pasti akan berhitung dengan cermat dan tidak dengan mudah mengucurkan dana besar untuk mendanai sebuah perusahaan rintisan teknologi.

Namun, zaman telah berganti, termasuk soal celah mencari pendanaan. Saat ini, ada opsi lain pendanaan yakni melalui “crowdfunding” atau situs urunan dana yang bisa menjadi sebuah pilihan bagi mereka yang ingin mengembangkan perusahaan rintisan.

Situs urunan dana bisa "mempertemukan" kreator dengan warga internet di seluruh dunia, untuk kemudian secara urunan memberikan pendanaan. Situs semacam ini, membantu kreator mempublikasikan apa yang hendak mereka buat, bagaimana prospek barang atau konten yang hendak mereka buat. Warga internet dunia lalu memutuskan untuk membantu atau tidak. Warga internet dunia, menganggap sebuah kampanye di situs urunan dana sebuah hal positif. Mereka akan beri bantuan dalam bentuk uang.

Namun, mengkampanyekan gagasan di situsweb memang tak selalu mendapatkan respons positif. Para kreator terkadang harus berhadapan dengan para "pembajak" yang akan meniru produk mereka yang sudah dipajang di situsweb urunan dana. Misalnya yang dialami seorang pengusaha muda asal Israel, Yakutiel Sherman. Pada Desember 2015, ia mulai mengkampanyekan idenya melalui Kickstarter. Ia membuat cover ponsel pintar yang bisa berubah menjadi selfie-stick atau lazim dikenal dengan sebutan tongsis.

Alih-alih memperoleh pendanaan, Sherman terkejut melihat idenya muncul di situs Ali Express. Alat yang seharusnya dibuatnya, dijual seharga $10 di situs jual beli asal Cina tersebut. Padahal, Sherman memperkirakan bahwa alat buatannya akan dihargai $47,4. Mimpi menjadi sukses melalui Kickstarter, harus ia kubur gara-gara idenya dicuri perusahaan asal Cina.

Namun di balik sisi negatif, crowdfunding punya banyak manfaatnya. Kickstarter misalnya. Semenjak diperkenalkan pada publik di 2009, Kickstarter mengklaim sebagai “Public Benefit Corporation”, telah membuat perubahan yang masif di tengah masyarakat.

Kickstarter dan University of Pennsylvania Wharton School of Business, mempublikasikan sebuah penelitian yang mengungkapkan bahwa situsweb Kickstarter, sukses mengelaborasi 283.000 kolaborator di seluruh dunia untuk merealisasikan proyek mereka menjadi kenyataan. Kickstarter mengklaim telah menciptakan 29.600 pekerjaan. Dampak terhadap dunia ekonomi senilai $5,3 miliar. Mereka juga mengklaim terdapat 57.515 proyek baru yang diluncurkan melalui platform urunan dana hingga melahirkan kreator sukses.

Infografik Mereka Lahir Dari Kickstarter

Mereka yang Berhasil

Situsweb urunan dana melahirkan kisah-kisah sukses besar. Oculus misalnya, merupakan perusahaan pembuat konsol Virtual Reality atau VR yang dirancang untuk bermain video gim. Memanfaatkan Kickstarter, proyek Rift, konsol yang hendak dibuat Oculus, mampu meraup pendanaan hingga 2.437.429 dolar dari 9.522 orang warga internet yang mendukung proyek tersebut. Target pendanaan melalui Kickstarter sebesar $250.000.

Padahal, Oculus hanya berkampanye via Kickstarter selama 1 bulan saja. Tepatnya dari 1 Agustus 2012 hingga 1 September 2012. Keberuntungan Oculus tetap berlanjut selepas kesuksesan di Kicstarter. Facebook, raksasa teknologi milik Mark Zuckerbeg, akhirnya mengakuisisi Oculus dengan harga senilai $2 miliar.

Selepas pembelian oleh Facebook, Oculus akhirnya dapat merentangkan sayap mereka lebih lebar. Pada 2015, Oculus membeli perusahaan rintisan asal Inggris yang khusus merancang rekonstruksi 3D. Pada November di tahun yang sama, Oculus bekerjasama dengan Samsung untuk membuat perangkat VR bernama Gear VR.

Oculus, merupakan kisah sukses sebuah perusahaan rintisan, yang memanfaatkan riuhnya dunia maya, tepatnya layanan urunan dana, untuk mewujudkan mimpi mereka. Hal yang tidak bisa didapatkan Steve Wozniak saat membangun Apple bersama Steve Jobs.

Pembelian Oculus oleh Facebook sebuah ledakan besar bagi dunia inovasi, terutama yang didukung melalui skema pendanaan urunan dana. “Kapanpun hal seperti ini akan terjadi, (akuisisi oleh Facebook) akan menggaungkan atensi pada sumber dana (Kickstarter)," kata Matt Murphy, investor dari Kleiner Perkins Caufield & Byer, sebagaimana dikutip dari Wired.

Selama ini, jika seseorang hendak membangun perusahaan rintisan terutama dalam bidang teknologi, selain memanfaatkan uang sendiri dan investor yang diajak khusus, founding father umumnya memanfaatkan Venture Capital untuk membuat perusahaan rintisan mereka agar sanggup bernapas.

“Akuisisi oleh Facebook terhadap Oculus ini lebih dari isyarat bagi Venture Capital yang selama ini menjadi sumber utama pendanaan perusahaan rintisan--setelah Oculus memulai tanpa uang dari Sand Hill Road," kata Gadi Amit, dari firma investasi NewDealDesign.

Selain Oculus, ada Pabble yang punya gagasan e-Watch akhirnya menjadi kenyataan berkat crowdfunding. Pabble memperoleh pendanaan via Kickstarter senilai $10 juta. Selain itu, ada pula OUYA, sebuah konsol hiburan canggih. OUYA, melalui situsweb urun dana, memperoleh pendanaan senilai $8,6 juta untuk membuat perangkatnya menjadi nyata.

Oculus, Pabble, dan OUYA memulai bisnis teknologi mereka, hanya melalui kampanye di situsweb urunan dana. Kickstarter pun mengklaim, telah lahir 8.800 perusahaan baru yang bermula dari kampanye urun dana di situsweb mereka. Angka tersebut tentulah sebuah revolusi bagi dunia teknologi. Kini, hanya berbekal ide dan kemauan, teknologi baru bisa dilahirkan, tanpa terlalu berpusing-pusing dengan dana yang harus ditanggung.

“Kita pasti akan melihat perusahaan rintisan perangkat (teknologi) lebih banyak akibat situsweb urunan dana,” kata

Tarikh Korula, seorang pengusaha di bidang teknologi, sebagaimana dikutip dari Wired.

“Kickstarter merupakan fenomena baru. Saya mendengar perusahaan rintisan lain di New York tidak akan mengambil pendanaan dari VC (Venture Capital) jika Kickstarter telah ada beberapa tahun lalu.”

Bagaimana dengan di Indonesia?

Di Indonesia terdapat beberapa situsweb urunan dana. Mulai dari Wujudkan, Kitabisa, dan berbagai situsweb lainnya. Situsweb crowdfunding jadi alternatif memberikan bantuan pendanaan seperti masalah-masalah sosial. Sayangnya, pemanfaatan situsweb urunan dana di Indonesia, tidak berjalan sebagaimana apa yang terjadi di Amerika Serikat(AS), terutama di bidang teknologi.

“Perbedaan situsweb urunan dana di Amerika Serikat dan Indonesia memang berbeda, karena kultur negaranya berbeda, ya pasti berbeda," kata Mandy Marahimin, Founder dan CEO Wujudkan.com.

Film, merupakan tema yang banyak mencari pendanaan di situsweb urunan dana di Indonesia. Situsweb Wujudkan.com misalnya, kampanye pendanaan terbanyak diraih oleh film karya Mila Lesama dan Riri Riza yang berjudul Atambua 39 Derajat Celcius. Film yang menargetkan urunan sebesar Rp300 juta, berhasil meraih pendanaan hingga Rp312 juta.

Bidang teknologi, kurang mencuat dalam layanan urunan dana di Indonesia bukan tanpa alasan. “Problemnya, di sini inovator insentifnya apa ya untuk menemukan sesuatu (perangkat teknologi baru)? Karena mengajukan paten saja bisa belasan tahun,” katanya.

Situsweb crowdfunding memiliki banyak peran, tak kecuali di Indonesia. Sudah saatnya crowdfunding bisa menyasar pada urunan dana dalam pengembangan teknologi dan yang tak kalah penting melahirkan para kreator. Keberhasilan Oculus bisa menjadi contoh.

Baca juga artikel terkait FACEBOOK atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra