Menuju konten utama

Melacak Muasal Coworking Space di Indonesia

Konsep coworking space di Indonesia dimulai pada 2010, ketika Yohan Totting mendirikan Hackerspace di Bandung. Ide muncul setelah Yohan berkunjung ke Hackerspace Singapura yang merupakan salah satu coworking yang sudah sukses. Hingga 2015, tercatat ada 34 coworking space di Indonesia.

Melacak Muasal Coworking Space di Indonesia
Comma co working space. FOTO/Comma

tirto.id - Schraubenfabrik dijuluki sebagai mother of coworking. Julukan yang tidak berlebihan karena memang Schraubenfabrik secara resmi menjadi coworking space pertama di dunia. Schraubenfabrik didirikan oleh Stefan Leitner-Sidl dan Michael Pöll pada tahun 2002, di Wina, Austria.

Ide awal pendirian Schraubenfabrik adalah untuk membuat pusat entrepreneurship bagi para pegiat start-up. Tidak hanya diperuntukkan bagi para start-up digital, tetapi juga untuk berbagai macam jenis perusahaan, termasuk para freelancer.

Meski Schraubenfabrik menjadi coworking space pertama, namun ide awal coworking sudah ada sejak tahun 1995. Pada tahun itu, di Jerman didirikan C-Base Station sebagai pusat pembelajaran komputer. C-Base merupakan organisasi nirlaba yang sengaja dibuat untuk kepentingan meningkatkan kemampuan penggunaan komputer masyarakat Jerman.

Ide C-Base Station itu kemudian dikembangkan oleh Bernard “Brian” DeKoven. Tiba-tiba saja terlintas di pikirannya untuk membuat konsep kantor yang berisi kolaborasi dari berbagai macam orang yang semua setara tanpa ada bos.

Gagasan yang dicetuskan Bernard itulah yang kemudian dikenal dengan coworking space. Yang membedakan coworking space dengan kantor pada umumnya, menurut Bernard, adalah bantuan teknologi.

Coworking Space di Indonesia

Di Indonesia, konsep coworking space belum lama diperkenalkan. Secara sah, konsep coworking diterapkan oleh anak-anak muda Bandung pada tahun 2010. Yohan Totting adalah perintisnya. Pada November 2010, dia mendirikan Hackerspace Bandung.

Yohan mendirikannya bukan tanpa sebab. Semua bermula dari kegelisahannya sebagai seorang freelancer yang tidak memiliki tempat kerja. Pada tahun 2009, dia kerap pindah tempat kerja. Jika bosan di rumah, dia pindah ke kafe atau warung kopi.

Pada satu kesempatan, Yohan mendapat undangan dari Seedcamp untuk datang ke Singapura. Di sana, dia berkunjung ke Hackerspace Singapura yang merupakan coworking sukses. Yohan pun terkagum-kagum dengan konsep coworking space itu. Sepulangnya ke Indonesia, dia pun langsung mengajak temannya merancang coworking space.

Setahun setelah Hackerspace Bandung didirikan, konsep serupa muncul di Surabaya, Yogyakarta, Medan dan beberapa kota lainnya. Sayang, tidak semua sukses.

Satu-satunya coworking space di Indonesia yang berhasil justru ada di Bali, yakni Hubud (Hub in Ubud). Hubud didirikan oleh tiga orang ekspatriat, yakni Peter Wall, John Alderson dan Steve Munroe. Hubud pun menjadi rujukan bagi para pegiat coworking space di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, mulai banyak berdiri coworking space di Indonesia. Sejak tahun 2009 hingga 2015, tercatat ada 34 coworking space yang tersebar di Indonesia. Memasuki awal 2016, jumlah itu mulai berkurang. Comma, coworking pertama di Jakarta, tutup pada awal tahun 2016 lantaran bisnisnya tidak berjalan baik.

Infografik HL Coworking Space di Indonesia

Upaya Memperkuat Komunitas

Menjawab tantangan bisnis coworking space yang sulit berkembang di Indonesia, para pebisnis coworking space di Indonesia pun membuat konferensi bersama yang dinamai “Coworking Unconference”. Konferensi digelar pada Februari 2016.

Dalam pertemuan tersebut, para pelaku bisnis coworking berbagi pengalaman dalam mengelola coworking space. Selain itu juga membuat gerakan bersama untuk mengampanyekan coworking space kepada anak-anak muda di Indonesia.

Erwin dari Cre8, coworking space di Jakarta yang hadir dalam konferensi itu, mengatakan bahwa dalam pertemuan dibahas keunikan bisnis coworking space di Indonesia. Menurutnya, harus diakui bahwa konsep ini memang belum bisa sepenuhnya diterima. Sebab jika membayar tempat dan hanya bisa menggunakannya beberapa jam, orang akan lebih memilih di kafe.

“Kita bayar jam-jaman, mungkin orang bisa ke kafe, kafe juga ada internetnya. Jadi memang bisnis kita bukan murni dari profit. Kita mencari komunitas juga,” beber Erwin pada tirto.id, Senin (21/11/2016).

Meski demikian, Erwin mengakui pentingnya formulasi yang tepat untuk mengelola coworking space yang menguntungkan. Sebab selama ini, banyak pengelola coworking space yang masih menganut azas “asal tidak rugi, sudah happy”.

“Kita harusnya bisa, karena sebenarnya banyak anak muda kita yang kreatif dan punya gagasan untuk membuat bisnis atau start up. Coworking space ini tidak hanya sekadar tempat, tapi juga komunitas untuk saling membangun,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait COWORKING SPACE atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Bisnis
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti