Menuju konten utama

Megadeth Membuat "Badai Tornado" di Konser JogjaROCKarta

Megadeth menyapa penggemar di festival JogjaROCKarta.

Megadeth Membuat
Penampilan Megadeth di konser JogjaROCKarta di Stadion Kridosono, Yogyakarta, Sabtu (27/10/2018). FOTO/Dok. Rajawali/Yogi Febrianto

tirto.id - “Saya ingin membuktikan kepada semua orang bahwa saya bisa melakukan apa yang bisa saya lakukan. Ketika saya kehilangan pekerjaan saya, karena mantan majikan saya mengatakan bahwa saya tidak bekerja dengan baik, itu benar-benar membuat saya marah, karena itu tidak benar. Saya pemain gitar yang bagus.”

Pernyataan itu disampaikan Dave Mustaine saat diwawancarai Billboard pada Mei 2018 lalu. Kata “majikan” itu tentu saja merujuk kepada band terdahulunya Metallica. Dave pernah di sana sebelum akhirnya didepak keluar. Dengan segala kemarahan yang ada, tahun 1983 ia membentuk Megadeth dan bertekad untuk membesarkannya, apapun risikonya.

Tiga puluh lima tahun kemudian, tepatnya di tanggal 27 Oktober 2018, Dave membuktikan ucapannya kepada para penggemarnya di Indonesia. Bersama Kiko Loureiro (gitar), Dirk Verbeuren (drum) dan David Ellefson (bass), Megadeth menyapa penggemar dan membuat “badai tornado” di Stadion Kridosono Yogyakarta.

Tampil sekitar pukul 21.48 WIB, Megadeth membawakan lagu pertama mereka berjudul "Hangar 18". Penonton langsung bersorak saat Dave dan Kiko menghajar gitar pada intro pertama. Sound berat serta dentuman kick drum yang menghantam dada membuat saya tak kuasa memalingkan pandangan dari arah panggung.

Dave tampil dingin, sering menundukkan kepala, rambutnya dibiarkan menutup wajah. Aura gelapnya benar-benar terasa saat ia menyanyikan bait-bait lirik di lagu "Hangar 18", seperti orang yang menahan amarah. Berbeda dengan Dave, Kiko tampil agresif dan sering melihat ke arah penonton usai menunjukkan kecepatan jarinya, skill-nya masih sama saat saya menyaksikan klinik gitarnya di Yogyakarta pada Oktober sewindu lalu.

Sementara David dan Dirk bermain kompak. Setiap kali David mencabik basnya, di saat itu pula Dirk menendang kick-nya. Kedua personel ini benar-benar kompak mengeluarkan dentuman yang membuat dada penonton bergetar.

Memasuki lagu kedua, Megadeth mempercepat temponya, adrenalin yang belum hilang di lagu pertama, kembali memuncak. Di buka dengan tempo gitar yang cepat, Megadeth memainkan lagu keduanya, "The Threat Is Real". Berbagai tayangan video yang menjadi background panggung serta sorotan lampu membuat lagu ini terasa kian mencekam. Kiko dan Dave kembali menunjukkan kepiawaian mereka bermain gitar.

Di lagu ini, Dave seakan “bersabda” dengan nada-nada datar dipadu dengan suara vokalnya yang berat sekaligus serak. Matanya terpejam sambil sesekali menatap tajam ke arah penonton. Seolah memanggil segala “kesakitan” di dalam dirinya. Sesekali Dave, Kiko dan David bertemu, saling pandang, kemudian berpindah posisi. Dave yang awalnya di tengah, bergerak ke sisi kanan dan kiri panggung, seperti ingin berlaku adil kepada kurang lebih 10 ribu penonton di depannya.

Memasuki lagu berikutnya, "Wake Up Dead", Dave mengerang dalam, suaranya benar-benar menyeramkan. Ekspresinya kembali dingin. Sementara Kiko semakin agresif karena mulai menguasai panggung. David juga terlihat demikian, ia berjalan ke sana kemari sambil memikul basnya. Sementara Dirk terus menghajar drum seraya menggoyangkan kepalanya.

Dari sekian banyak lagu, yang paling menarik adalah lagu "Tornado of Souls". Penonton langsung berteriak saat Dave memainkan intro pertama gitar di lagu ini. “Pedas, liar sekaligus sangar,” ungkap penonton di sebelah saya saat menggambarkan sound, nada dan aura yang keluar dari gitar Dave.

Dave menundukkan kepala, sesekali hantaman kick dan simbal mengiringi Dave melanjutkan intronya. Memasuki vokal, suasana mulai berubah, Dave benar-benar marah. Seperti ingin menunjukkan sekaligus menceritakan kepada dunia bahwa ia telah berhasil menaklukkan badai tornado yang sempat melanda karir bermusiknya.

Not for the money, not for the fame

Not for the power, just no more games

But now I'm safe in the eye of the tornado.

The land of opportunity

The golden chance for me

My future looks so bright

Now I think I've seen the light.

Dave menggeram, yang kemudian disambut dengan duet gitar antara dirinya dengan Kiko. Usai menyelesaikan bagian itu. Kiko, gitaris asal Brasil ini, langsung menunjukkan kebolehan gitarnya. Sesekali ia mengangkat gitarnya saat memainkan melodi yang menyerupai badai ini. Kiko sama sekali tak mengubah part yang dibuat gitaris terdahulunya itu, Marty Friedman. Kiko benar-benar memainkannya sesuai dengan versi audio rekaman.

Sementara David dan Dirk tetap bermain kompak, menyesuaikan komposisi lagu yang memberikan porsi lebih kepada Kiko dan Dave ini. Melalui instrumen masing-masing, personel Megadeth seolah menciptakan badai untuk penggemarnya di Stadion Kridosono.

Selama konser, respons penonton juga tampak lebih beragam, ada yang memejamkan mata, ada yang mengangkat tangan tinggi-tinggi, adapula yang ikut bernyanyi. Banyak pula yang bertepuk tangan saat Kiko dan Dave beradu aksi.

Tatanan panggung yang megah, sound yang memukau, serta berbagai ilustrasi video yang menggambarkan tengkorak, halilintar dan berbagai video klip, membuat kuartet asal Amerika ini tampil bak penyihir.

Malam itu, di panggung Jogjarockarta kedua, Megadeth membawakan 19 lagu plus satu lagu encore. Mereka membawakan lagu-lagu klasik seperti “Symphony of Destruction”, dan “Peace Sells", maupun lagu baru macam “Dystopia” yang diambil dari album berjudul Dystopia (2016).

Infografik Konser Megadeth

Perjalanan Panjang Meraih Grammy Award

Megadeth adalah band asal Los Angles yang didirikan Dave Mustaine pada tahun 1983. Keberadaan Megadeth sering dikaitkan dengan proyek “kemarahan” Dave Mustaine usai dikeluarkan dari Metallica. Band ini pertama kali merilis album berjudul Killing is My Bussines And Bussines is Good! pada tahun 1985. Album ini pula yang membuat mereka dikontrak oleh perusahaan rekaman raksasa Capitol Record.

Pada tahun 1990, Dave dan kawan-kawan kembali merilis album berjudul Rust In Peace. Album ini sempat menghentak karena berhasil dinominasikan ke dalam Grammy Award untuk kategori Best Metal Performance. Sejak saat itu mereka mulai mendapatkan pengakuan dari publik.

Terkait keberhasilan itu, kepada Billboard, Dave mengatakan: “Saya hanya berpikir itu benar-benar hebat bagi kami. Ketika kami menerimanya [Grammy], [kami] berada di sana bersama orang-orang yang telah menjadi bagian dari perjuangan [ini]. [...] Orang-orang yang dalam beberapa hal atau kapasitasnya telah berkontribusi pada kami mendapatkan Grammy itu,” ungkap Dave.

Memasuki tahun 1992, Megadeth kembali merilis album berjudul Countdown to Extinction. Album ini juga membuat mereka kembali dinominasikan untuk kategori best metal performance. Band ini sempat vakum sementara pada tahun 2002 karena Dave mengalami cedera lengan. Namun kembali aktif di tahun 2005.

Selama berkarir, band yang masuk dalam jajaran The Big Four dari thrash metal ini ini telah sebelas kali dinominasikan ke dalam Grammy Award. Namun, baru pada tahun 2017, band ini berhasil menang dalam kategori best metal performance untuk lagu “Dystopia”. Lagu ini berasal dari album berjudul Dystopia.

Dengan pencapaian itu, lengkaplah sudah pembuktian Dave Mustaine kepada dunia bahwa dirinya mampu berdiri tegak meski dikeluarkan dari band lamanya. Dan memang layak disejajarkan dengan band kelas dunia lainnya seperti Metallica, Slayer dan Anthrax, seperti yang sering disematkan kepada mereka.

Baca juga artikel terkait KONSER MEGADETH atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Musik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nuran Wibisono