Menuju konten utama

Media Massa Menolak Binasa, Maka Mereka Meminta Hak Cipta

Perusahaan big tech macam Google dan Facebook bertahun-tahun mengambil keuntungan dari berita-berita arus utama yang disajikan dalam platform mereka.

Media Massa Menolak Binasa, Maka Mereka Meminta Hak Cipta
Ilustrasi Bisnis Media Online. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Orang yang lahir dan tumbuh ketika dunia digital tengah berkembang pesat atau digital native diprediksi menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk mengakses internet. Mereka lebih sering mengepul informasi melalui media sosial, tidak terkecuali berita, yang sederhananya adalah laporan tentang kejadian aktual dan dianggap menarik atau penting bagi banyak orang.

Menurut survei Pew Media Research medio 2021, hampir sepertiga penduduk Amerika Serikat merujuk pada media sosial sebagai sumber berita. Lebih rinci, sebanyak 31% secara rutin mengonsumsi berita dari Facebook, lalu 22% atau seperlima dari Youtube.

Terkadang sumber media sosial adalah media pemberitaan resmi. Dengan kata lain media massa tak dibaca langsung, tapi lewat pihak ketiga.

Masalah dari media sosial sebagai etalase berita membuat akses kepada media massa secara langsung menjadi lebih minim. Memang media massa mencoba beradaptasi dengan memiliki akun media sosial resmi, tapi itu belum cukup.

Dalam peringatan Hari Pers Nasional, Kamis (9/2/2023), Reuters melaporkan bahwa di Indonesia sedang ada yang mengupayakan agar media massa mendapat keuntungan jika beritanya dibagikan di media sosial atau lewat aggregator lewat peraturan presiden. Aturan ini sebenarnya sudah digagas sejak dua tahun lalu, namun masih belum terealisasi. Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli memperkirakan aturan ini akan selesai dibuat dalam waktu sebulan ke depan.

Zulkifli mengatakan perusahaan teknologi besar mendapat keuntungan dari berita-berita yang dibagikan lewat platform mereka. Sedangkan media massa tidak. Jangankan iklan, situs mereka belum tentu diakses orang dan hanya mendapat keuntungan yang tidak seberapa. Wajar bila media massa merasa dirugikan.

“Tidak ada keberimbangan di sini,” kata pria kerap disapa Azul tersebut.

Melawan Dominasi Big Tech

Aktivis asal India Prabir Purkayastha menulis, di antara perusahaan-perusahaan teknologi besar, ada dua entitas yang memonopoli berita: Google dan Meta atau Facebook. Bisnis mereka pada dasarnya seperti media massa karena mengambil untung dari iklan-iklan yang masuk. Masalahnya, sejak Google dan Meta berkuasa, media massa mulai mengalami defisit pemasukan.

Dalam esai berjudul Media in The Digital Age, Purkayastha menulis penghasilan media baik televisi, radio, atau cetak tidak menghasilkan banyak uang dari iklan dibandingkan media daring dari 2015 sampai 2022. Namun media daring pun hanya mencatat pemasukan dari iklan paling besar 450 miliar dolar AS. Sementara Google dan Facebook punya penghasilan 224 miliar dolar AS dan 113 miliar dolar AS pada 2021, dan lebih dari 80%-nya diperoleh dari sektor periklanan. Ingat bahwa yang kita bicarakan adalah perbandingan antara banyak sekali media massa dengan hanya dua perusahaan.

Laporan lain dari We Are Social menyebut hal serupa. Pertama-tama mereka menyebut bahwa Google dan Facebook (Meta) mendominasi pasar media sosial. Sepanjang Januari-Desember 2022, pengguna gawai paling sering mengakses aplikasi yang dimiliki oleh Google dan Facebook, termasuk Youtube (milik Google) dan Whatsapp (milik Facebook).

Potensi iklan dipimpin oleh Facebook. Mereka memperkirakan iklan di Facebook mampu mencapai 1,98 miliar pengguna. Di bawahnya ada Instagram dengan jangkauan 1,32 miliar pengguna, kemudian TikTok dengan 1,05 miliar pengguna. Twitter berada di bawah dengan potensi iklan 556 juta pengguna.

Dengan banyaknya orang-orang yang setiap hari mengakses Google dan Facebook, tak heran pengiklan lebih memilih memasarkan produknya di media sosial daripada media massa.

Hasil studi Reuters Institute for the Study of Journalism mempertebal “ketidakberimbangan” ini. Mereka mencatat bahwa percepatan dunia digital, dengan internet dan ponsel, menghasilkan perubahan pada industri media, terutama soal periklanan. Banyak perusahaan yang akhirnya memilih mengiklan kepada big tech macam Google dan Facebook daripada media massa.

Reuters Institute memperkirakan penurunan ini juga karena akses orang-orang kepada media massa tidak bebas. Banyak media yang sekarang sudah menetapkan sistem berbayar atau berlangganan (yang sebenarnya adalah siasat mencari pemasukan). Di Indonesia, Tempo dan Kompas adalah salah dua contohnya. Namun, dalam enam tahun belakangan, jumlah yang berlangganan tak meningkat secara signifikan.

“Kebanyakan orang sudah senang dengan berita yang bisa mereka akses secara gratis dan di antara mereka yang berlangganan, kebanyakan hanya mau membayar untuk satu media saja,” kata Direktur Reuters Institute, Rasmus Kleis Nielsen.

Negara yang menyadari kerugian media massa dan mengupayakannya agar tetap bernapas adalah Australia. Pada tahun 2021, negara tersebut menerbitkan regulasi News Media and Digital Platform Mandatory Bargaining Code. Dengan aturan ini, media bisa mendapatkan uang iklan milik Google.

Langkah ini membuat Google meneken perjanjian dengan beberapa raksasa media seperti Fox News dan Sky News. Keduanya adalah perusahaan media milik konglomerat keturunan Australia-Amerika Rupert Murdoch. Selain itu Google juga bekerja sama dengan Nine Entertainment yang punya The Sydney Morning Herald dan Seven West Media dengan The Sunday Times.

Nilai dan durasi kontrak berbeda-beda. Untuk Nine Entertainment, Google rela mengeluarkan uang lebih dari 30 juta dolar AS untuk satu tahun selama jangka waktu lima tahun. Sementara dengan Rupert Murdoch, Google hanya menandatangani kontrak untuk tiga tahun. Diperkirakan pengeluaran Google mencapai 47 juta dolar AS.

Facebook menolak berlaku sama. Ketika aturan ini disahkan, mereka mengambil sikap untuk memblokir semua pemberitaan melalui platformnya. Bahkan tidak hanya berita, layanan kesehatan dan gawat darurat pun diblokir selama lima hari.

Kebijakan Facebook membuat pemerintah Australia segera mencari jalan damai. Mereka setuju untuk tidak mengharuskan Facebook membayar lagi jika memang telah bekerja sama dengan media massa terkait. Facebook juga diberikan waktu satu bulan untuk menyesuaikan diri.

Facebook memang terkenal bandel. Parlemen AS beberapa kali mengundang perusahaan milik Mark Zuckerberg ini untuk dimintai keterangan terkait agenda anti-monopoli. Facebook diduga merisak pesaingnya hingga tidak punya pilihan, antara hancur atau rela diambil alih.

Bagi Douglas E. Schoen, konsultan politik dan kolumnis The Hill, jika konten digital terus dibiarkan begini, media massa memang akan hidup berlumuran darah. Iklan-iklan di media massa tidak meningkat, tetapi Google dan Facebook terus semakin kaya karena konten-konten yang dialirkan media-media tersebut.

Sejak 2021, Google sebetulnya mengeluarkan platform baru berupa Google Showcase yang menjalin kerja sama dengan penyedia berita. Tapi Schoen menganggapnya belum tepat. Alasannya karena kerja sama itu dijalin melalui kerelaan Google semata dan besarannya tak ditentukan dengan aturan hukum.

“Dan jika perusahaan macam Alphabet dan Facebook tidak menganggap ini sebagai masalah dan mengubah praktik-praktik mereka, pemerintah harusnya mengintervensi supaya industri pemberitaan dan informasi menjadi lebih bebas dan berimbang,” tulis Schoen.

Infografik Media Sosial

Infografik Media Sosial. tirto.id/Mojo

Matinya Jurnalisme Pinggiran

Aturan yang diterbitkan pemerintah Australia diyakini banyak pihak menuju ke arah perbaikan industri media dari segi finansial. Meski demikian, kritik dan ketakutan jurnalis dari aturan ini tetap ada.

Memang Google dan Facebook bersedia bekerja sama dengan media besar, tapi bagaimana nasib media kecil, minor, atau lokal?

Di AS, dari 2004 hingga 2018, setidaknya 1.800 koran lokal bangkrut. Dengan runtuhnya koran lokal, informasi di beberapa wilayah menjadi sulit diakses. Hal ini bukan hanya buruk bagi jurnalisme, tapi juga berdampak sosial-politik pada masyarakat setempat. Misalnya, kasus-kasus hukum di daerah akan menjadi sulit diakses dan diperhatikan orang luas.

Hasilnya, mengutip The Conversation, tidak ada “tekanan publik yang cukup untuk menuntut perubahan.”

Selain itu, uang hasil kerja sama dengan big tech belum tentu akan memberikan dampak positif bagi masyarakat. Menurut artikel jurnal Diana Bossio, Terry Flew, dkk (2022), tidak ada jaminan keuntungan itu dialirkan demi menghasilkan produk jurnalistik yang lebih berkualitas dan memenuhi kebutuhan publik. Bossio, dkk menemukan bahwa hanya media ABC saja yang mengklaim akan menggunakan dana-dana yang didapat dari perusahaan teknologi itu untuk “membiayai investasi perusahaan pada layanan-layanan daerah yang baru dan penting.”

Baca juga artikel terkait MEDIA MASSA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino