Menuju konten utama

Media Asing Tindaklanjuti Soal Penjarahan Kapal Perang di Laut Jawa

Laporan investigatif Tirto soal penjarahan kapal perang ini ditindaklanjuti sejumlah media asing seperti The Guardian dan De Telegraaf.

Media Asing Tindaklanjuti Soal Penjarahan Kapal Perang di Laut Jawa
Ilustrasi Kapal Perang.

tirto.id - Sejak Kamis (18/1/2018) pekan lalu, Tirto menerbitkan sejumlah laporan terkait penjarahan kapal perang di perairan Indonesia dan Malaysia. Disebutkan bahwa sepuluh kapal perang yang karam ketika Perang Dunia II itu hilang dicuri penjarah besi tua. Beberapa sudah raib tanpa jejak, sementara sisanya tinggal sebagian.

Laporan investigatif ini kemudian ditindaklanjuti sejumlah media asing seperti The Guardian dan De Telegraaf. Kedua media ini masing-masing berbasis di Inggris dan Belanda, negara yang kapal perangnya ketahuan dijarah.

Seperti dikutip De Telegraaf, laporan Tirto terkait pencurian kapal Perang Dunia II yang karam di Laut Jawa itu membuat parlemen Belanda terkejut dan marah. Mereka berencana memanggil Menteri Pertahanan Belanda Anna Theodora Bernardina Bijleveld.

Pemanggilan dilakukan lantaran laporan yang dibuat Kementerian Pertahanan Belanda yang dirilis pekan lalu, berbeda dengan hasil investigasi Tirto. Dalam laporan Kementerian Pertahanan Belanda, mereka tak bisa menemukan siapa yang memiliki puing-puing bangkai kapal tersebut.

Andre Bosman, salah seorang anggota parlemen Belanda berkata “Surat [dari Kemenhan Belanda] memberi kesan pelaku pencurian tidak dapat ditemukan. [Itu] Sangat tidak memuaskan,” kata Bosman.

Selain Bosman, Salma Belhaj anggota parlemen dari Partai D66 juga memberikan pernyataan keras atas laporan yang dirilis Tirto.

“Saya ingin tahu sampai sejauh mana informasi ini sudah dimasukkan dalam penelitian ini,” kata Belhaj. “Jika tidak, saya ingin tahu apakah mereka siap melakukannya dalam penyelidikan lebih lanjut.

Kementerian Pertahanan Belanda lantas bereaksi atas pernyataan parlemen. Juru bicara Kementerian Pertahanan, Luar Negeri, dan Kebudayaan Paul Middelberg menyatakan akan mempelajari terlebih dahulu laporan Tirto.

“Kami memperhatikan fakta baru yang disajikan oleh Tirto.id. Kami akan mempelajarinya dan mengomentarinya nanti,” kata Middelberg dalam pesan singkat kepada Tirto, Senin (22/1/2018) sore.

Sekitar 900 pelaut Belanda tewas dalam pertempuran di laut Jawa di atas kapal HNLMS De Ruyter, HNLMS Java, dan HNLMS Kortenaer. Mereka tenggelam, bersama dengan kapal Inggris, Australia dan AS, pada tahun 1942.

Publikasi Tirto ini juga menuai perhatian dari pemerintah Inggris. Kepada The Guardian, juru bicara Kementerian Pertahanan Inggris menyatakan "mengutuk gangguan yang tidak sah dari setiap rongsokan kapal karang yang berisi jasad manusia."

Lebih jauh, mereka menyebut kapal-kapal sisa perang dan artefak terkait jelas dilindungi oleh hukum internasional sehingga harus dijaga betul keberadaannya.

Adapun kapal-kapal Inggris itu bernama HMS Exeter, HMS Encounter (sisa 20 persen), HMS Electra (40 persen), HMS Repulse, HMS Prince of Wales, HMS Banka, Tien Kuang [HMS Tien Kwang], HMS Kuala, Lock Ranza, HMS Thanet, dan Hachian Maru (dua bendera: Jepang/Inggris). Dari sepuluh kapal itu, tujuh dijarah di Indonesia dan 4 kapal lain di perairan Malaysia.

HMS Electra, salah satu kapal milik Inggris yang kini sisanya tak lebih dari 40 persen, adalah kuburan massal karena di sana. Menurut data Kementerian Pertahanan Inggris, ada jasad tak kurang dari 119 orang.

Sementara dalam HMS Exeter, sebuah kapal berat sepanjang 175 meter tercatat 45 orang meninggal dunia. Adapun HMS Encounter ditenggelamkan untuk menghindari penangkapan oleh orang Jepang.

"Kapal perang harus tetap tidak terganggu dan mereka yang kehilangan nyawa di sana harus diizinkan untuk beristirahat dalam damai," kata juru bicara tersebut.

Menurut penelusuran wartawan Tirto, Aqwam Fiazmi Hanifan, tidak jarang penjarahan dibarengi dengan perusakan jasad-jasad tersebut.

Keterangan ini diperoleh dari Haji Abdul Ghoni asal Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur, bos lokal yang mengatur dan mencarikan buruh lokal untuk memotong lempengan-lempengan besi dan baja bangkai kapal.

"Terkadang ada. Terkadang tidak ada," kata Abdul Ghoni, November tahun lalu, ketika ditanya apakah mungkin tengkorak manusia ikut terangkut dalam proses penjarahan. "Terbawa ke pelabuhan. Saya kumpulkan, saya buang lagi ke laut," Ghoni menambahkan.

Baca juga artikel terkait PENJARAHAN KAPAL atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari