Menuju konten utama

Mayor Polak: Anggota Partai Sosialis Indonesia Dulunya PNS Kolonial

Mayor Polak pernah jadi pegawai negeri di era Kolonial hingga Indonesia Merdeka. Dia lalu jadi wakil Indo-Eropa di DPR dan PSI lalu merekrutnya.

Mayor Polak: Anggota Partai Sosialis Indonesia Dulunya PNS Kolonial
Sekolah OSVIA (Hoofden School) zaman Kolonial, Serang. FOTO/wikipedia/ropenmuseum

tirto.id - Kala Jepang menyerang dan kemudian menduduki Hindia Belanda pada 1942, hidup Mayor Polak berantakan. Dia bukan tentara, melainkan pegawai sipil kolonial. Nama lengkapnya Johan Bernard Abraham Fortunatus Mayor Polak.

Buku Kami Perkenalkan (1954, hlm. 102) menyebut Polak lahir di Malang pada 4 Nopember 1905. Kariernya sebagai PNS kolonial merentang dari 1929 hingga saat Jepang datang menyerbu Hindia Belanda. Selama itu, dia pernah menjadi aspiran kontrolir di Malang, juga di Bondowoso, dan kemudian di Tuban.

Di Bondowoso, Polak merangkap sebagai anggota Dewan Kabupaten. Dia akhirnya menjadi kontrolir untuk urusan pertanahan di Kalimantan Barat dan kemudian kontrolir urusan sosial-ekonomi desa di Cirebon. dia pernah pula menjadi sekretaris keresidenan Cirebon.

Dari sejak 1939 hingga 1941, Mayor Polak menjabat sebagai kontrolir di bawah Binnenlands Bestuur. Di sini, dia ditempatkan di bagian Pemerintahan Umum yang dikepalai Dr. W. Hoven.

“Dalam fungsi ini menjadi penyusun Desa-Ordonnantie yang mengganti Inlandse Gemeente Ordonantie 1905 dan sudah diterima baik oleh Volksraad, tetapi pelaksanaan ditangguhkan berhubung pecahnya Perang Dunia II di Eropah,” tulis Mayor Polak dalam memoar pribadi yang diwariskan kepada keluarganya.

Jelang pecahnya Perang Dunia II, Polak dia berdinas di Keresidenan Batavia. Sempat pula ia mendapat tugas rahasia membuat propaganda anti-Jepang. Ketika Jepang akhirnya menduduki Indonesia pada 1942, kariernya tentu saja putus. Selama masa Pendudukan, Polak merana jadi tawanan perang Jepang. Sebagai seorang Indo-Belanda, Polak tentu saja jadi sasaran kecurigaan Kempeitai (polisi rahasia Jepang).

Jepang menangkap Polak dan menawannya di Padang. Setelah bebas, dia terlibat dalam gerakan antifasisme Jepang Eenheid door Democratie (EDD) di Cirebon. Itu termasuk tindakan berani untuk ukuran zaman itu. Pasalnya, jika ketahuan, Otoritas Jepang yang amat otoriter itu tak bakal menoleransi orang-orang yang terlibat gerakan antifasis.

"Setelah Jepang Kalah beliau dan para romusha (Belanda maupun pribumi) dirawat di Singapura," tutur Gde Bayu Adhyasa, cucu Mayor Polak.

Di Singapura, Mayor Polak pernah bekerja di Netherlands Bureau for Documentation and Registration of Indonesians. Lalu sekira akhir 1945, Polak kembali ke Indonesia dan bekerja lagi jadi pegawai kolonial. Semula, pada 1946, dia bekerja sebagai kontrolir di Jakarta dan kemudian Lombok.

Ketika bekerja di Lombok, Mayor Polak ditarik untuk ikut serta dalam Konferensi Malino (15-25 Juli 1946). Dalam konferensi yang membahas rencana pembentukan negara-negara federal di Indonesia itu, dia punya tugas utama menjadi penerjemah bagi Letnan Gubernur Jenderal van Mook.

Selepas tugas itu, Mayor Polak diangkat menjadi asisten residen di Kalimantan Timur. Namun, dia tak jadi berangkat karena sebuah musibah yang menimpa koleganya.

"Ketika kami akan berangkat ke tempat itu dari Lombok, maka Asisten-Residen di Bali, Tuan van Beuge, kena tembak dalam tangan dan kaki kiri, sehingga lumpuh dan Residen, Tuan Jacobs, minta kepada Departemen, supaya kami diperbantukan kepadanya mengganti Tuan van Beuge. Usul Residen dikabulkan dan kami ditempatkan di Bali (Juli 1946)," aku Mayor Polak.

Pada akhir 1946, Mayor Polak kembali dipanggil untuk menjadi juru bahasa bagi van Mook dalam Konferensi Denpasar. Lalu sejak Januari 1947, Polak ditunjuk jadi asisten residen yang diperbantukan untuk dewan raja-raja Bali yang dinamakan Paruman Agung. Tugasnya adalah mempersiapkan Bali menjadi daerah otonom.

Tentang ini, Mayor Polak menulis, "Setelah peraturan dasar terbentuk, maka keuangan dan jawatan2 pemerintahan dioperkan, maka daerah Bali terbentuklah dalam waktu singkat dan dalam waktu singkat berjalan sebagaimana mestinya. Kami lalu cuti 4 bulan ke negeri Belanda untuk istirahat dan berobat."

Setelah Konferesi Meja Bundar (KMB) dan Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, Mayor Polak menjadi warga negara Indonesia. Setelah terbentuknya pemerintahan Republik Indonesia Serikat, Mayor Polak diangkat menjadi anggota DPR sebagai perwakilan golongan minoritas Indo-Eropa.

RIS lalu bubar pada Agustus 1950 dan Indonesia kembali menjadi negara republik. Di masa ini, Mayor Polak tetap menjadi anggota DPR RI mewakili warga Indo-Eropa. Sejak 195o pula, dia menjadi penganut Hindu dan punya nama Bali Nyoman Sukarma.

Mayor Polak kemudian direkrut ke dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Secara ideologis, Mayor Polak tentu punya kecocokan dengan PSI. Selain terpelajar, Mayor Polak juga seorang sosialis dan antifasis seperti halnya PSI.

Jauh sebelum tentara Jepang mendarat di Indonesia, Mayor Polak rupanya pernah menjadi anggota Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) dan Sociaal-Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Keduanya menampung golongan sosial demokrat seperti Polak.

Namun, usia PSI sayangnya tidaklah panjang. PSI kemudian terseret dalam masalah pemberontakan PRRI-Permesta dan kemudian dilikuidasi pemerintah.

Di luar ranah politik dan pemerintahan, Mayor Polak juga berkegiatan sebagai akademisi. Dia sempat menjadi pengajar di beberapa perguruan tinggi, di antaranya menjadi dosen di Universitas Airlangga Malang. Lalu pada 1958-1959, Mayor Polak menjadi pengajar sosiologi dan ekonomi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Airlangga Malang.

Selama jadi dosen, Mayor Polak juga menyusun beberapa buku ajar untuk sosiologi, di antaranya Sosiologi: Suatu Pengantar Ringkas (1960), Pengantar Sosiologi Industri dan Perusahaan (1966), dan Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum, dan Politik (1967). Nama Mayor Polak juga muncul dalam buku pelajaran Sosiologi di SMA. Namanya kerap muncul pula dalam beberapa daftar pustaka buku-buku sosiologi di Indonesia.

Mayor Polak juga terlibat dalam pendirian Perguruan Tinggi Ekonomi Malang (PTEM) pada 27 Juni 1957. Pada 1959, dia menjadi pimpinan PTEM dan cukup berhasil meningkatkan pamor perguruan tinggi ini. PTEM kemudian bersama dua yayasan pendidikan lain berfusi menjadi Universitas Brawijaya.

PTEM sendiri merupakan embrio dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Mayor Polak kemudian diangkat menjadi dekan pertamanya pada 1963.

==========

Artikel ini telah dikoreksi berdasarkan keterangan dan tambahan sumber dari anak dan cucu Mayor Polak, yaitu Made Dharsana Polak dan Gde Bayu Adhyasa Mayor Polak.

Baca juga artikel terkait NICA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi