Menuju konten utama

May Day 2018: Buruh Perempuan Suarakan Diskriminasi di Tempat Kerja

Memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) 2018, buruh perempuan suarakan kekerasan dunia kerja berbasis gender yang masih marak terjadi.

May Day 2018: Buruh Perempuan Suarakan Diskriminasi di Tempat Kerja
Sejumlah aparatur sipil negara yang tergabung dalam Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) menggelar karnaval dan deklarasi saat Perayaan Peringatan Hari Buruh Sedunia, Jakarta, Selasa (1/5/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Ratusan buruh perempuan dari berbagai kelompok melakukan aksi pada Peringatan Hari Buruh Internasional (May day) 2018 untuk menyuarakan diskriminasi dan penghentian kekerasan berbasis gender di dunia kerja.

Dalam siaran pers tertulis di sela-sela aksi di Jakarta, Selasa (1/5/2018), disebutkan kekerasan dunia kerja berbasis gender merupakan kekerasan yang banyak dialami buruh perempuan, dikutip dari Antara.

Dalam perjalanan menuju atau pulang dari tempat kerja, para buruh perempuan sering mengalami pelecehan seksual, takut pulang di malam hari dan beberapa menjadi korban kekerasan seksual.

Kekerasan terjadi di tempat publik seperti di sepanjang jalan, panggilan bernada menggoda di jalan, di sarana transportasi, dan lain-lain. Ancaman ketakutan ketika pulang di malam hari menunjukkan indikasi adanya kekerasan yang mengancam para buruh perempuan.

Kekerasan berbasis gender juga masih terjadi di tempat kerja misalnya sistem kerja target yang tidak manusiawi. Jam kerja yang panjang, tekanan dan beban kerja yang sangat tinggi mengakibatkan buruh perempuan yang sedang hamil sangat rentan mengalami keguguran.

Di luar itu, tidak selamanya kekerasan di dunia kerja merupakan kekerasan fisik, tapi banyak juga yang bersifat pemaksaan kehendak, psikologis sampai dengan pembunuhan kharakter.

Jenis kekerasan di tempat kerja yang lain, misalnya buruh perempuan harus melakukan banyak pekerjaan dengan waktu kerja yang panjang, pemaksaan bekerja lembur di saat sakit atau berduka, pemaksaan ide atau klaim prestasi atas sebuah ide atau pekerjaan, pelecehan secara seksual maupun secara verbal, dimarahi atasan atau majikan secara berlebihan dan menggunakan bahasa yang kasar.

Karena itu, pada Peringatan Hari Buruh Internasional 2018, buruh perempuan menuntut pemerintah untuk memberikan dukungan atas advokasi penghentian kekerasan di dunia kerja dan tidak melakukan pembiaran atas kekerasan di dunia kerja.

Buruh perempuan juga menuntut pengusaha, majikan atau pemberi kerja untuk tidak melakukan kekerasan terhadap buruh perempuan yang terjadi di dunia kerja.

Mereka juga meminta semua pihak tanpa kecuali untuk menghentikan kekerasan di dunia kerja pada buruh perempuan, baik yang bekerja di domestik maupun publik.

Aksi buruh perempuan pada Peringatan Hari Buruh Internasional 2018 diikuti oleh Jala PRT, Federasi Buruh Lintas Pabrik, Serikat SINDIKASI, Perempuan Mahardhika, Solidaritas Perempuan, Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT. Pancaprima EkaBrothers, PurpleCode Collective, Kalyanamitra, Emancipate, JOUDI Foundation, Aliansi Remaja Independen (ARI), LBH APIK, Institut Perempuan, Seperti Pagi Foundation, Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG), perEMPUan, dan www.Konde.co.

Tuntutan Akses Kerja Layak

Selain itu, dalam rilis persnya Selasa(1/5/2018), Koalisi Perempuan Indonesia menilai perempuan Indonesia masih mengalami berbagai bentuk diskriminasi dalam akses kerja layak. Menurut Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari, meminta pada segenap stakeholder untuk menghentikan praktek diskriminasi pengupahan terhadap perempuan.

Meskipun pemerintah telah memiliki peraturan tentang “upah yang sama untuk kerja yang sama” (equal pay for equal work) dan melarang adanya diskriminasi pengupahan. Namun praktek di lapangan menunjukkan bahwa di semua lapangan pekerjaan,upah pekerja perempuan lebih kecil daripada upah pekerja laki-laki. Selisih upah perempuan berkisar antara 15%-33% lebih rendah dari upah laki-laki untuk pekerjaan di sektor yang sama.

Selain menerima upah lebih rendah, menurut Dian, perempuan juga membayar pajak lebih banyak daripada laki-laki, karena perbedaan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Peraturan perpajakan menentukan bahwa PTKP bagi Pekerjalaki-laki yang telah menikah jauh lebih besar daripada perempuan, karena dikurangi tanggungan keluarga (istri dan anak). "Sementara pekerja perempuan, meskipun telah menikah, tetap diperlakukan sebagai lajang. Tidak ada perhitungan tanggungan keluarga dalam perhitungan pajak yang harus dibayarnya. Meskipun, suaminya tidak memiliki pekerjaan," jelasnya.

Selain itu, KPI meminta pembahasan dan pengesahan peraturan perundangan untuk melindungi Pekerja Rumah Tangga dan Pekerja Rumahan atau Pekerja Putting-off System.

Baca juga artikel terkait HARI BURUH atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri