Menuju konten utama

Maut di Peru dan Ghana Akibat Tembakan Gas Air Mata ke Tribune

Tembakan gas air mata ke tribune penonton telah merenggut ratusan jiwa di Peru dan Ghana. Petaka itu kembali terulang di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Maut di Peru dan Ghana Akibat Tembakan Gas Air Mata ke Tribune
Header Mozaik Jebakan maut gas air mata di Stadion. tirto.id/Ecun

tirto.id - Sepak bola bisa menjadi darah dan nadi bagi para penggemarnya, menjaga jantung terus memompa kencang dan adrenalin berdesir. Namun, dalam beberapa kesempatan, reseptor rasa sakit bakal menjadi, dengan sensasi terbakar hebat di mata, tenggorokan, paru-paru, dan kulit, ketika gas air mata ditembakkan ke tribune.

Hasil akhir pertandingan yang harusnya cuma angka di papan skor, malah jadi kematian yang sayangnya kerap hanya jadi angka statistik. Penggunaan gas air mata dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan merupakan pelanggaran terhadap pedoman FIFA yang mengakibatkan kematian.

FIFA dengan jelas menyebutkan dalam pedoman keamanannya bahwa penjaga atau petugas polisi yang ditempatkan di stadion tidak diperbolehkan menggunakan senjata api atau 'gas pengendali massa'.

Selain itu, ada indikasi pelanggaran aturan lain di Stadion Kanjuruhan. Sesuai pedoman FIFA, petugas keamanan yang ada di dalam stadion harus selalu memastikan bahwa pintu keluar, pintu darurat, dan rute lainnya tetap tidak terhalang setiap saat.

Tragedi di Stadion Kanjuruhan membuka kembali kejahatan gas air mata, yang pernah terjadi di Peru dan Ghana. Sesuatu yang harusnya tidak terulang lagi, bukan malah menjadi tabel klasemen siapa negara yang paling jago membunuh penonton sepak bolanya.

Gas Air Mata di Estadio Nacional

Pada 24 Mei 1964, Peru menjamu Argentina di Estadio Nacional di Lima. Pertandingan ini merupakan babak kualifikasi Olimpiade Tokyo, dengan Peru berada di urutan kedua dalam tabel. Meski punya keyakinan tinggi, tetapi dengan Brasil menunggu di pertandingan terakhir, Peru secara realistis membutuhkan setidaknya hasil imbang melawan Argentina.

Pertandingan itu disaksikan 53.000 penonton yang datang ke stadion. Argentina memimpin 1-0, memasuki enam menit waktu normal tersisa gol penyama kedudukan Peru dianulir oleh wasit Uruguay Ángel Eduardo Pazos. Keputusan ini membuat marah fan tuan rumah dan jadi pemicu invasi lapangan.

Dua penonton memasuki lapangan. Pertama adalah seorang jagoan yang dikenal sebagai Bomba, yang mencoba untuk memukul wasit sebelum dihentikan oleh polisi dan dipersekusi di luar lapangan. Kedua, Edilberto Cuenca, yang kemudian mengalami serangan brutal.

"Polisi kami sendiri menendang dan memukulinya seolah-olah dia adalah musuh. Inilah yang membuat semua orang marah, termasuk saya," sebut Jose Salas, salah satu fan di Estadio Nacional hari itu, dalam wawancara pada tahun 2000 dengan BBC.

Untuk mencegah lebih banyak penggemar menyerbu lapangan, polisi Peru menembakkan tabung gas air mata ke tribun utara. Hal ini menyebabkan kepanikan dan upaya putus asa untuk menghindari gas. Penonton yang panik menuruni tangga, mendorong mereka yang berhadapan dengan jalan keluar yang tertutup.

Alih-alih gerbang standar, stadion memiliki daun jendela baja bergelombang yang kokoh di bagian bawah terowongan yang menghubungkan ke jalan, melalui beberapa anak tangga, ke area tempat duduk di atas. Jalan keluar masuk ini akan ditutup seperti biasanya di setiap pertandingan. Gerbang itu ambruk didorong tumpukan manusia.

Di jalanan, kerumunan menyebabkan kerusakan di sekitar stadion. Terjadi bentrok lainnya dengan polisi, amukan dan dendam penonton dibalas peluru. Jumlah korban tewas resmi adalah 328, tetapi ini belum dihitung yang meninggal akibat tembakan.

Banyak laporan saksi mata tentang orang-orang yang meninggal karena luka tembak. Anehnya, hakim Benjamin Castaneda yang ditunjuk untuk menyelidiki tidak pernah dapat menemukan mayat untuk membuktikannya.

Saat mendengar ada dua mayat dengan luka tembak dibawa ke Rumah Sakit Lima Loayza, dia bergegas untuk memeriksanya. Ketika tiba, dia diberitahu bahwa sudah ada yang membawa.

Dari kejadian itu, setidaknya mereka yang dihukum dapat dihitung dengan dua jari. Pertama, Jorge Azambuja, komandan polisi yang memberi perintah untuk menembakkan gas air mata, dijatuhi hukuman 30 bulan penjara. Satu lagi adalah sang hakim Castaneda.

Castaneda didenda karena menyerahkan laporannya terlambat enam bulan, dan karena tidak menghadiri 328 otopsi seperti yang seharusnya dia lakukan.

Dalam laporannya yang kemudian ditolak, Castaneda mengatakan jumlah korban tewas yang diberikan oleh pemerintah tidak "mencerminkan jumlah korban yang sebenarnya, karena ada kecurigaan yang beralasan atas pemindahan rahasia mereka yang terbunuh oleh peluru."

Dia melanjutkan dengan menuduh menteri dalam negeri saat itu mendalangi invasi lapangan dan respons brutal polisi, untuk menghasut massa agar melakukan kekerasan. Sehingga memberikan dalih agar aparat bisa membalas tindakan dengan kekerasan.

Pertunjukan kekuatan itu dimaksudkan, katanya, untuk "membuat orang belajar, dengan darah dan air mata" risiko yang mereka hadapi jika menantang pihak berwenang.

Sementara itu, pihak pemerintah menyalahkan para agitator Trotskyis atas masalah tersebut. Dalam konteks Peru saat itu, ada banyak demonstrasi dari gerakan buruh dan partai komunis. Fidel Castro sedang jadi sosok idola, gerakan Kiri cukup kuat, dan terjadi bentrokan permanen antara polisi dan rakyat.

Setelah tragedi tersebut, keputusan dibuat untuk mengurangi kapasitas tempat duduk stadion dari 53.000 menjadi 42.000 pada tahun 1964. Meski kemudian ditingkatkan menjadi 47.000 untuk Copa América 2004.

Bagaimanapun, ini bukan hanya sebuah bencana stadion, tetapi tragedi kemanusiaan terburuk di dunia yang terjadi di ibu kota Peru, Lima. Lebih dari 300 orang tewas, tetapi kisah lengkapnya tidak pernah diceritakan, dan mungkin tidak akan pernah terjadi. Luka yang seharusnya tidak boleh terulang.

Duka Lainnya di Stadion Accra

Gas air mata disebut sebagai senjata kimia dalam Protokol Jenewa 1925, dan dilarang penggunaannya dalam perang tak lama setelah Perang Dunia I. Sayangnya, teks protokol tidak membahas secara mendalam tentang gas apa yang dilarang. Meski gas air mata yang digunakan kemudian disebut berbeda dengan yang dipakai saat perang, komposisinya masih cukup mematikan.

Pada tahun 1993, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelesaikan Konvensi Senjata Kimia, yang melarang pengembangan, produksi, penimbunan dan penggunaan senjata kimia dan mengharuskan negara-negara untuk menghancurkan senjata kimia dan fasilitas produksi yang dimilikinya.

Konvensi Senjata Kimia mulai berlaku pada tahun 1997. Meski begitu, perjanjian tersebut mencakup pengecualian yang mengizinkan penegak hukum untuk menggunakan agen pengendalian huru hara untuk “tujuan pengendalian huru hara dalam negeri.” Poin ini yang menyebabkan gas air mata masih digunakan aparat kepolisian.

Ketika gas air mata ditembakan dalam stadion, bencana seperti di Estadio Nacional kembali terjadi. Pada tanggal 9 Mei 2001, dua tim paling sukses di liga lokal Ghana saling berhadapan di Stadion Ohene Djan, Accra. Klub Accra Hearts of Oak yang berjuluk "The Phobians" menjamu Asante Kotoko dengan sebutan "Porcupine Warriors".

Pada hari itu, Kotoko memimpin dengan satu gol hampir di sepanjang pertandingan. Namun, Accra berhasil mencetak dua gol di penghujung terakhir pertandingan, menghasilkan kemenangan 2-1 yang membuat kecewa para pendukung Kotoko.

Mereka mulai melemparkan kursi plastik ke lapangan bersama dengan botol. Polisi berusaha mengendalikan situasi dengan menembakkan gas air mata dan peluru plastik, yang malah memperburuk situasi.

Infografik Mozaik Jebakan maut gas air mata di stadion

Infografik Mozaik Jebakan maut gas air mata di stadion. tirto.id/Ecun

Polisi terus menembaki kerumunan di tribune utara, lagi-lagi tanpa peringatan. Para penggemar melarikan diri. Mereka tidak bisa masuk ke lapangan karena Stadion Accra saat itu memiliki pagar setinggi dua meter dengan kawat berduri dan paku di bagian atasnya. Jadi, tanpa tujuan lain, para penggemar bergegas menuruni tangga menuju gerbang keluar.

Menurut desain aslinya, Stadion Accra seharusnya memiliki delapan tangga, tetapi hanya enam yang dibangun. Masing-masing hanya selebar satu meter, tangga memiliki pagar logam di bagian bawah, yang menciptakan kemacetan. Saat para penggemar berhamburan menuju pintu keluar, mereka saling menabrak dalam panik. Sekali lagi, untuk beberapa alasan, gerbang terkunci.

Dilaporkan bahwa staf medis telah meninggalkan stadion karena sudah menit-menit akhir pertandingan, dan sejumlah gerbang sengaja dikunci. Para penonton bertumpuk satu sama lain. Orang-orang tersandung dan terinjak-injak, dengan tidak cukup ruang untuk bangkit kembali. Beberapa selamat dengan membenturkan wajah mereka ke pagar, menghirup udara sebanyak yang mereka bisa.

Ebenezer Afanyi-Dadzie dari Ghana News melaporkan 116 orang meninggal karena asfiksia traumatik, atau rongga dada mereka hancur ke dalam yang mengakibatkan mati lemas. Sepuluh lainnya meninggal karena trauma, kemungkinan karena terinjak.

Presiden Ghana, John Agyekum Kufuor, segera mengumumkan tiga hari berkabung nasional. Sebuah komisi investigasi diluncurkan, Liga Sepak Bola Utama Ghana menangguhkan liga selama satu bulan.

Penyelidikan resmi dilakukan, menyalahkan polisi karena bereaksi berlebihan, dan enam petugas didakwa dengan pembunuhan 127 korban. Namun, pengadilan akhirnya tidak bisa menyimpulkan apakah asfiksia itu disebabkan karena gas air mata atau karena terinjak-injak.

Ghana Institute of Architects menyebut stadion itu sebagai "jebakan maut". Stadion Accra baru direnovasi pada 2007 dengan membawa standar keamanan FIFA. Satu-satunya pengingat bencana stadion paling mematikan di Afrika itu adalah patung perunggu di luar lapangan dengan tulisan "Saya penjaga saudara saya".

Hilangnya ratusan nyawa bukanlah hasil yang diharapkan dari pertandingan sepak bola. Petaka di Estadio Nacional, Stadion Accra, dan Stadion Kanjuruhan harusnya jadi yang terakhir, ketika dengan jelas terbukti bahwa gas air mata memang senjata kimia mematikan.

Baca juga artikel terkait GAS AIR MATA atau tulisan lainnya dari Arif Abdurahman

tirto.id - Olahraga
Kontributor: Arif Abdurahman
Penulis: Arif Abdurahman
Editor: Irfan Teguh Pribadi