Menuju konten utama

Mau (Terima) Donor ASI? Cermati Pedoman dan Risikonya

Ternyata, donor ASI tak boleh dilakukan secara sembarangan.

Mau (Terima) Donor ASI? Cermati Pedoman dan Risikonya
Ilustrasi donor ASI. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Setelah hampir setahun mendapat donor ASI untuk anak angkatnya, Pradaningrum Mijarto baru tahu bahwa tak seharusnya ASI didapat dari sembarang donor. Sebab, ASI bisa menjadi medium penularan beragam penyakit berbahaya seperti HIV, rubella, dan hepatitis. Terlebih, ia menerima donor tanpa melalui proses skrining atau penapisan terlebih dulu.

“Saya berencana melakukan tes kesehatan pada anak saya untuk mengetahui kemungkinan tertular virus,” katanya.

Era media sosial membuat praktik donor ASI di Indonesia menjadi semakin mudah. Lazimnya, para ibu yang membutuhkan donor cukup menyebar pengumuman lewat beragam chat dan status di media sosial. Setelahnya, para pendonor akan langsung menghubungi nomer kontak yang tertera untuk memberikan ASInya. Proses pemberian ASI pun jamak tak melewati mekanisme yang tepat.

Baca juga: ASI Menguntungkan bagi Keluarga dan Negara

Celah ini membuka jalan penularan ragam penyakit berbahaya dari donor kepada bayi. Kerugian memakai ASI donor dijelaskan oleh Ketua Satgas ASI IDAI, dr. Elizabeth Yohmi SpA, IBCLC. Meski ASI donor merupakan alternatif makanan bayi terbaik, ia punya kemungkinan membawa virus atau bakteri berbahaya.

“Kasus yang paling sering ditemui adalah penularan virus CMV, hepatitis B dan C, dan virus pemicu leukemia dan limfoma (HTLV),” jelas dr. Yohmi.

Oleh karena itu, sebelum dilakukan donor ASI, penting untuk melakukan penapisan pada ibu pendonor. Ia memaparkan, hasil penelitian tahun 2010 menunjukkan terdapat 3,3 persen kandungan virus sifilis, hepatitis B, hepatitis C, HTLV, dan HIV pada sampel 1.091 donor ASI. Selain itu, ditemukan juga pertumbuhan berbagai bakteri pada 810 ASI yang belum dipasteurisasi.

Baca juga: Obat HIV Sudah Dekat

Hasil penelitian tersebut harus menjadi pegangan bagi para ibu agar lebih waspada menerima donor ASI untuk anaknya. Apalagi, tingkat HIV di Indonesia menunjukkan tren kenaikan, dan ibu rumah tangga merupakan kelompok tertinggi ketiga yang terkena HIV. Kasus HIV prenatal juga cukup tinggi, yaitu 2,8 persen transmisi merupakan virus dari ibu ke anak.

“Bisa dibayangkan jika mereka menjadi pendonor ASI, tentu akan menularkan ke bayi-bayi lain.”

Baca juga: ASI Perah Boleh, Tapi Jangan Melewatkan Menyusui Langsung

Aturan Donor ASI

Sejauh ini, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat juga tak merekomendasikan ASI donor tanpa didahului proses penapisan. Pada tahap penapisan, pendonor akan diperiksa secara lisan atau tertulis mengenai riwayat kesehatannya. Kemudian, ASI diperiksa di laboratorium.

“Pendonor akan ditanya apakah dia vegetarian, menerima transfusi dalam 12 bulan terakhir, minum alkohol, atau sedang minum obat hormonal. Karena itu berdampak pada kualitas ASI,” papar Yohmi.

Jika hasil penapisan ibu terbukti sehat, ia tak langsung layak jadi donor. ASI donor harus diperas dan disimpan dengan benar bahkan dipasteurisasi. Pedoman WHO menyatakan, sebelum diberikan pada bayi, ASI harus terlebih dulu dikultur, yakni ditanam di media guna memantau pertumbuhan kuman. Dan, idealnya, pengirimannya diperlakukan seperti darah: disimpan dalam kotak pendingin khusus dan petugas pengelolaannya menggunakan alat pelindung.

“Jadi, tidak semudah itu memberikan donor ASI.”

Baca juga: Saat Susu Formula Menggerogoti ASI

Infografik Donor ASI

Masalahnya, fasilitas-fasilitas untuk melakukan penapisan ASI di laboratorium Indonesia masih terbatas. Saat ini deteksi penyakit hepatitis dan HIV memang sudah dapat dilakukan dengan mudah, tapi tidak untuk pemeriksaan HTLV. Bank penyimpanan ASI yang cukup baik juga baru ada di RSCM, Jakarta. Padahal, Bank ASI ini penting. Tidak hanya untuk memastikan keamanan ASI, ia juga menjamin kandungan zat gizinya tetap terjaga.

Menurut Irma Hidayana, peneliti ASI dan konflik kepentingan industri susu formula, Inggris dan Kanada telah memiliki organisasi yang merancang standar pemberian donor ASI dan telah ditiru di beberapa negara maju, termasuk Australia. Organisasi tersebut adalah UK Association for Human Milk Banking dan Human Milk Banking Association North America.

Terdapat beberapa aturan yang diterapkan kedua organisasi itu saat mendonor. Pendonor harus dinyatakan sehat dalam tes darah, tidak menerima donor darah atau organ dalam 6 bulan terakhir, dan tidak merokok. Bahkan, Food & Drug Administration (FDA) mengimbau masyarakat untuk menerima donor ASI yang jelas asal usulnya.

“Ini wajar, mengingat di Amerika banyak kasus HIV dan drug abused. Selain itu, pastikan ASI donor masih dalam kondisi bagus [tidak basi],” katanya kepada Tirto.

Baca juga: Generasi ASI Bukan Generasi Sapi

FDA juga melarang menerima donor ASI dr internet atau perseorangan secara langsung. Donor ASI harus didapatkan dari organisasi/lembaga pendonor ASI karena sudah terlebih dulu melewati skrining.

Meski kita harus berhati-hati, Irma mewanti-wanti kehati-hatian ini jangan sampai membuat kita terbawa isu bahwa “ASI dapat menularkan penyakit.” Yang harus ditekankan adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas yang bisa menguji keamanan dan kualitas ASI.

“Pemerintah harus berbenah diri menyediakan fasilitas skrining donor ASI untuk mencegah penularan penyakit lewat ASI donor,” kata Irma.

Baca juga artikel terkait ASI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani