Menuju konten utama
12 Mei 2007

Matori Abdul Djalil, Politikus Klasik NU di antara Konflik PKB

NU tak pernah kehabisan stok politikus tangguh. Dari mereka yang tumbuh di era Orba, salah satu yang menonjol adalah Matori Abdul Djalil.

Matori Abdul Djalil, Politikus Klasik NU di antara Konflik PKB
Matori Abdul Djalil. tirto.id/Sabit

tirto.id - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah partai politik yang lahir dari rahim Reformasi 1998. Sehari setelah lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendapat berbagai usulan kaum nahdiyin dari berbagai daerah di Indonesia.

Banyak warga NU yang menginginkan agar dibentuk parpol yang mewadahi aspirasi kaum nahdiyin dan umat Islam di Indonesia pada umumnya. Saat itu bahkan tercatat ada 39 bakal nama parpol yang diusulkan. Belum lagi rancangan lambang, visi dan misi, rumusan AD/ART, hingga orang-orang yang dinilai layak menjadi pengurus parpol orang NU nantinya.

Sejak 1974, ketika fusi partai ala rezim Orba mulai diberlakukan, aspirasi politik kaum nahdiyin agak tersumbat karena Partai NU "dipaksa" melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan, sepuluh tahun kemudian pada Muktamar NU 1984 di Situbondo, Gus Dur yang baru saja terpilih menjadi Ketua Umum PBNU mewacanakan khitah 1926, yaitu agar NU kembali menjadi organisasi sosial-keagamaan.

Matori Abdul Djalil dalam biografinya yang ditulis oleh M.F. Nurhuda Yusro dan Mahrus Ali, Pergulatan Membela yang Benar (2008), menyebutkan bahwa keputusan kembali ke khitah tidak menghilangkan hak politik warga NU. Bahkan, menurut ketua umum pertama PKB itu, keputusan tersebut menjadikan warga NU bebas memilih partai.

PPP bukan lagi menjadi satu-satunya kanal politik warga NU. Sejumlah tokoh NU lainnya ada juga yang bergabung dengan Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Perbedaan pilihan partai politik itu disebut Matori sebagai "cara mengentalkan naluri politik warga NU di semua lini". Namun, di sisi lain, hal itu juga membuat persinggungan antara warga NU semakin kentara.

“Setelah NU keluar dari PPP, persaingan baru muncul karena loyalitas para pemimpin NU, serta pengikut mereka, semakin terpisahkan oleh garis partai (Golkar, PPP, dan PDI),” sebut Donald J. Porter dalam Managing Politics and Islam in Indonesia (2004).

Karena itulah, setelah Soeharto lengser dan kebijakan penyederhanaan partai-partai tidak berlaku, naluri politik warga NU membuncah kembali dan muncullah usulan pembentukan partai sendiri.

PBNU dan Kelahiran PKB

PBNU menampung berbagai usulan tersebut. Namun, seperti yang tertulis dalam website resmi PKB, PBNU harus sangat berhati-hati karena secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis, sesuai keputusan Muktamar 1984.

Sikap PBNU membuat warga nahdiyin kurang puas. Usulan agar segera dibentuk partai politik untuk umat NU justru semakin kencang. Bahkan, sejumlah partai politik berbasis massa NU sudah dideklarasikan, seperti Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan Partai Kebangkitan Umat di Cirebon.

Dikutip dari Relasi Islam, Politik dan Kekuasaan (2013) karya Abdul Halim, PBNU akhirnya mengadakan rapat pada 3 Juni 1998 untuk memenuhi aspirasi nahdiyin. Hasilnya, terbentuklah Tim Lima yang terdiri dari K.H. Ma’ruf Amin sebagai ketua, dengan anggota K.H. M. Dawam Anwar, K.H. Said Aqil Siradj, H.M. Rozy Munir, dan Ahmad Bagdja.

Dalam rapat selanjutnya, dibentuk Tim Asistensi yang bertugas membantu Tim Lima dalam menginventarisasi dan merangkum usulan pembentukan partai politik baru, sesuai aspirasi nahdiyin, yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU. Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menjadi salah satu anggota Tim Asistensi ini.

Akhirnya, pada 23 Juni 1998, terbentuklah partai politik yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa untuk menampung aspirasi warga NU pada khususnya, dan umat Islam serta rakyat Indonesia pada umumnya. Deklarasi dilakukan di kediaman Ketua Umum PBNU, Gus Dur.

Selain Gus Dur, beberapa tokoh NU yang turut mendeklarasikan berdirinya PKB di antaranya K.H. Ilyas Ruhiat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri, serta K.H. Muchith Muzadi. Matori Abdul Djalil terpilih sebagai Ketua Umum PKB pertama.

Ketika terpilih sebagai ketua umum, Matori adalah politikus kawakan NU. Orang Salatiga kelahiran 11 Juli 1942 itu sudah malang melintang sejak muda dalam panggung politik. Sebagai pelajar dan mahasiswa, ia aktif di badan-badan otonom NU seperti Ansor, IPNU, dan PMII. Di akhir 1960-an ketika NU masih berbentuk partai, Matori, yang baru saja lulus dari kuliah, sudah tergabung sebagai pengurus di kota kelahirannya.

Karier politiknya kemudian makin menanjak. Kala Partai NU dilebur ke dalam PPP, Matori turut bergabung dalam partai baru tersebut. Ia merangkak dari bawah sebagai anggota DPRD kabupaten, DPRD provinsi, hingga DPR. Pada 1989, Matori akhirnya terpilih sebagai Wakil Ketua Umum PPP mendampingi Ismail Hassan Metareum.

Matori Abdul Djalil, yang meninggal pada 12 Mei 2007, tepat hari ini 14 tahun lalu, adalah contoh paling representasional dari politikus klasik NU yang tumbuh di era Orde Baru. Ia tidak punya trah darah biru sebagai, misalnya, anak seorang kiai besar. Karier politiknya dimulai sejak belia sebagai aktivis di Jawa Tengah dan kemudian menjadi politikus tingkat nasional.

Rekan segenerasinya yang memiliki jalan karier hampir mirip adalah Hasyim Muzadi, yang malang melintang sejak muda di Jawa Timur. Bedanya, di puncak karier mereka, Hasyim menduduki jabatan "non-politis" sebagai Ketua Umum PBNU; sementara Matori konsisten di jalur partai.

Di PKB, Matori tak luput dari, dan terlibat dalam, konflik-konflik internal yang menjadi pemandangan umum di partai-partai baru pada awal era Reformasi. Konflik terbesarnya tentu saja dengan sang patriark partai, Abdurrahman Wahid.

Matori vs Gus Dur

PKB langsung ambil bagian di Pemilu 1999 yang diikuti 49 peserta dan memperoleh jumlah suara yang mengejutkan sebagai partai pendatang baru. PKB menempati posisi ke-3 dengan 13.336.982 suara, hanya kalah dari dua partai politik lama yakni sang pemenang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar.

PKB bahkan lebih unggul dari partai Islam yang jauh lebih tua, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di peringkat ke-4. Berkat perolehan suara di Pemilu 1999 itu, sebut Mahrus Ali dan M.F. Nurhuda dalam Pergulatan Membela yang Benar, PKB mendapatkan 51 kursi di DPR.

Selain restu dari PBNU serta peran santri dan para kiai, juga tentunya warga nahdiyin, keberhasilan PKB dalam debutnya di Pemilu 1999 tidak terlepas dari sosok Gus Dur yang sangat dihormati dan berpengaruh, serta merupakan salah satu tokoh Reformasi 1998.

Gus Dur kemudian menempati posisi orang nomor satu di negeri ini sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4, menggantikan B.J. Habibie. Gus Dur menjadi Presiden RI sejak 20 Oktober 1999 hingga dilengserkan pada 23 Juli 2001.

PKB dipimpin Alwi Shihab sejak 15 Agustus 2001. Namun, perpecahan terjadi di internal partai ini antara kubu Matori dengan pihak Alwi yang didukung Gus Dur.

Dikutip dari Hukum Online, perpecahan di PKB berawal dari pemecatan sepihak tehadap Matori oleh Dewan Syura PKB dari posisinya selaku Ketua Tandfidz Dewan Pengurus PKB.

Pemecatan Matori tersebut dilatarbelakangi kehadirannya saat Sidang Istimewa MPR 2001 yang digawangi oleh Amien Rais untuk menjungkalkan Gus Dur dari kursi kepresidenan, yang kemudian digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.

Kendati diterpa badai perpecahan yang cukup berlarut-larut, PKB masih mampu berbicara banyak di Pemilu 2004 dengan mempertahankan posisi ke-3 dan memperoleh 52 kursi di DPR.

Infografik Mozaik Matori Abdul Djalil

Infografik Mozaik Matori Abdul Djalil. tirto.id/Sabit

Matori vs Muhaimin

Muhaimin Iskandar dituding sebagai salah satu orang di balik dipecatnya Matori Abdul Djalil dari PKB pada 2001. Sebelum resmi didepak, Matori melawan dengan menggelar konferensi pers di Gedung MPR/DPR tanggal 30 Juli 2001. Dalam konferensi pers itu, Matori menegaskan bahwa ia masih Ketua Umum PKB yang sah.

Bahkan, Matori mendesak kepada 5 fungsionaris partai agar keluar dari PKB karena telah mendorong Gus Dur bertindak konfrontatif terhadap lembaga legislatif dan mendukung dikeluarkannya Dekrit Pembekuan MPR/DPR.

Kelima orang petinggi PKB yang disebut Matori, seperti diwartakan Liputan6 edisi 31 Juli 2001, adalah Alwi Shihab, Effendi Choirie, Chotibul Umam Wiranu, Arifin Junaidi, dan Muhaimin Iskandar.

Gertakan Matori tak mempan. Tanggal 4 Agustus 2001, Gus Dur menggelar rapat internal dan memutuskan bahwa Matori Abdul Djalil (Ketua Umum PKB) dan Abdul Khaliq Ahmad (Sekretaris Fraksi PKB di DPR) dipecat dari keanggotaan partai.

Rapat ini dipimpin langsung oleh Gus Dur dan dihadiri oleh seluruh fungsionaris DPP PKB, termasuk anggota fraksi PKB di DPR/MPR. Kendati begitu, kubu Matori tetap melawan dan membawa dualisme PKB ke ranah hukum yang bergulir cukup lama.

PKB yang didukung Gus Dur jalan terus. Alwi Shihab ditunjuk memimpin PKB untuk sementara. Posisi Alwi sebagai Ketua Umum PKB dikukuhkan dalam Muktamar Luar Biasa (MLB) pada 17 Januari 2002. MLB juga menetapkan Muhaimin Iskandar tetap menjabat sebagai Sekjen PKB hingga 2005.

==========

Versi awal artikel ini diterbitkan dengan judul "Sejarah PKB: Menokohkan Gus Dur, lalu Dikuasai Cak Imin" pada 21 Agustus 2019. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan mengembangkannya untuk ditayangkan dalam rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PARTAI KEBANGKITAN BANGSA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya & Rachma Dania

tirto.id - Politik
Penulis: Iswara N Raditya & Rachma Dania
Editor: Ivan Aulia Ahsan