Menuju konten utama
16 Desember 1969

Mati Muda Soe Hok Gie di Tanah Tertinggi Pulau Jawa

Soe Hok Gie memang mati muda, tapi ia meninggalkan pesan soal sikap konsisten hingga bagaimana kepatutan beraktivitas di alam terbuka.

Mati Muda Soe Hok Gie di Tanah Tertinggi Pulau Jawa
Soe Hok Gie. tirto.id/Nauval

tirto.id - "Gua akan ulang tahun tanggal 17 Desember, artinya hari Rabu yang jatuh lusa itu, besok kan selasa tanggal 16 Desember. Gimana ya, seharusnya gua mau berulang tahun di tanah tertinggi di Pulau Jawa"

Ucapan Soe Hok Gie di tengah tujuh rekannya satu malam yang cerah di lereng Gunung Semeru, 49 tahun lalu jadi ingatan yang membekas Rudy Badil. Rudy salah satu mahasiswa Hok Gie yang ikut bagian dalam pendakian bersejarah, saat Hok Gie dan Idhan Lubis yang meregang nyawa di Puncak Semeru, sehari sebelum ulang tahun Hok Gie, pada 16 Desember 1969.

Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, dan Nessy Luntungan (Ed) dalam Soe Hok Gie Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya (2009:19), Rudy menceritakan secara detail bagaimana sebelum tragedi itu terjadi, semua berjalan seolah bakal tak ada kejadian yang genting.

Rudy menggambarkan persiapan perjalanan ke Semeru yang sederhana dengan transportasi kereta barang, canda tawa, diskusi hingga perdebatan yang menegang antara Hok Gie dan Herman Lantang, sang pemimpin rombongan soal lokasi bertenda di malam pertama jelang pendakian. Hok Gie memilih tinggal di rumah warga karena alasan logis demi menjaga stamina sebelum melakukan pendakian, Herman dengan modal buku Belanda tentang tata cara pendakian ke Semeru, ngotot ingin berkemah di tepi sungai.

"Hati kecil saya saat itu sempat tertawa, melihat perilaku pentolan Mapala FS-UI begitu egoisnya dan ngotot mau menang sendiri," kata Rudy. Namun, Hok Gie sempat berpetuah kepada Rudy Badil, masalah perbedaan itu soal bersikap.

Potongan kisah pendakian Hok Gie di Semeru ini menggambarkan bahwa kegiatan alam bebas bukan persoalan gagah-gagahan, melainkan ada sisi bagaimana seseorang harus melawan egoisnya dalam tim dan dan banyak hal penting lainnya dari aktivitas alam terbuka. Soal apa pentingnya naik gunung bagi anak muda, Hok Gie, dalam artikel berjudul “Menaklukkan Gunung Slamet” (Jaman Peralihan, 2005; hal 40-41), pernah menulis:

“Kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Soe Hok Gie adalah salah satu pendiri organisasi mahasiswa pecinta alam (Mapala). Istilah “mapala”, selain resmi menjadi nama pecinta alam Universitas Indonesia (Mapala UI), mapala juga jadi nama yang umum untuk merujuk organisasi mahasiswa pecinta alam di kampus. Di Mapala UI, Gie punya nomor anggota mirip James Bond dan juga nomor tahanan Pram: 007.

“Mapala Pradjna Paramita didirikan pada 1964, ketika Herman Lantang menjadi Ketua Senat (Fakultas Sastra UI). Pertemanan Soe Hok Gie dengan Herman memang diawali dengan adanya kegemaran yang sama, yaitu hobi naik gunung, hobi menikmati kehidupan di alam bebas,” tulis Luki Sutrisno Bekti dalam buku Soe Hok Gie Sekali Lagi (2009).

Sebagai anggota Mapala, Gie pernah naik gunung Gede di Jawa Barat. Ia juga rutin naik ke Gunung Salak dan terutama Pangrango. Lembah Mandalawangi di Pangrango adalah salah satu titik yang sangat disukai Gie dan ia abadikan dalam banyak catatan dan sajak. Ia juga pergi ke Gunung Slamet (3.428 meter dpl) di Jawa Tengah dan Gunung Semeru (3.676 meter dpl) di Jawa Timur

Di gunung terakhir itulah Gie menghirup gas beracun dan tutup usia jelang sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Gie meninggal bersama Idhan Lubis di Puncak Semeru. Mereka tewas dalam pendakian karena menghirup gas beracun, bukan tewas karena menjadi korban pendidikan dasar (diksar) seperti yang dialami tiga peserta Mapala Unisi (Universitas Islam Indonesia) di Tawangmangu, dan diksar lainnya.

Apa yang terjadi dengan tiga peserta Diksar Mapala di Jogja itu sepertinya jauh dari apa yang dipikirkan Soe Hok Gie sebagai salah satu pendiri Mapala. Ia manusia yang bahkan sangat tak menyukai acara macam Ospek, atau perpeloncoan, yang kelewat mengagungkan senioritas. Gie adalah manusia merdeka, dengan pikiran bebas, yang tentunya akan tidak menyukai segala praktik perpeloncoan.

Gunung, bagi Gie, bukan tempat bermain-main kekuasaan. Kepemimpinan dalam sebuah ekspedisi alam jelas tak terhindarkan, namun kepemimpinan itu diniscayakan oleh keadaan di lapangan justru karena isu keselamatan (safety first). Hukuman fisik sebenarnya hal biasa dalam pelatihan, namun idealnya itu diberikan untuk mendidik, bukan untuk menegaskan otoritas dan kekuasaan senior. Terutama diberikan ketika peserta sudah mulai membahayakan diri sendiri dan rekan-rekannya.

Itu pun tidak bisa dilakukan sembarangan. “Untuk metode mendidik, persoalannya ada yang mengadopsi gaya militer, tapi tak tahu ada ukurannya, tidak tahu porsi hukumannya, tahapannya seperti apa,” kata Galih Donikara, salah satu anggota senior Wanadri, menggambarkan proses pendidikan di Wanadri atau kegiatan alam bebas (lebih lengkap bagaimana Wanadri melakukan pendidikan dasar.

Sayang sekali jika gunung menjadi tempat penyiksaan. Harusnya gunung menjadi tempat mencari kebahagiaan sambil menjadikannya tempat berefleksi dan belajar, tentu saja tanpa kekerasan.

“Bagi Gie gunung bukan sekedar pelepas stres. Tapi, gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian dan keteguhan hati seseorang. Di tempat yang jauh dari semua fasilitas dan penuh kesulitan orang yang mengalami ujian, apakah dia selfish (yang hanya pikirkan dirinya sendiri) atau orang yang mau memikirkan orang lain,” tulis Stanley dalam penutup buku kumpulan tulisan Soe Hok Gie, Zaman Peralihan.

Dalam sejarahnya, Mapala UI lahir ketika politik kampus di tahun 1964 mulai tidak sehat. Sama tidak sehatnya dengan dunia media sosial di masa sekarang. Orang macam Gie akhirnya berinisiatif mengadakan acara nonton film dan naik gunung bersama kawan-kawan di kampusnya. Tujuannya tak lain agar tidak terjebak dalam politik kampus yang merusak hubungan pertemanan. Organisasi ekstra ketika itu juga sama berbahayanya dengan media sosial di masa sekarang. Berpotensi merusak silaturahmi dan pertemanan.

“Di dalam kampus, Soe Hok Gie menolak kehadiran organisasi ekstra kemahasiswaan yang merupakan onderbouw partai-partai. Penolakan bukan tanpa sebab. Organisasi-organisasi ini selalu memperebutkan posisi di Senat Mahasiswa yang adalah organisasi intra universiter,” tulis Luki Sutrisno Bekti. “Mapala UI, sampai sekarang berpegang teguh pada komitmen awal, yakni menolak organisasi ekstra kampus di almamaternya.”

Infografik Mozaik Soe Hok Gie

Infografik Mozaik Soe Hok Gie

Ketika itu, banyak organisasi-organisasi mahasiswa ekstra yang bertarung di kampus. Seperti Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), ada yang berbagi keagamaan macam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi terakhir sebetulnya dekat Masyumi yang sudah digulung Sukarno. Beruntung seorang Kristen bernama Johannes Leimena menghalangi pembubaran HMI.

Gie adalah saksi bagaimana HMI dan GMNI bertikai di kampus. Di masa Orde Lama, CGMI dan GMNI adalah yang paling getol ingin menguasai kampus, sementara HMI tertekan. Setelah Orde Baru mulai berjaya, HMI makin menguat. Bahkan mengambil alih Dewan Mahasiswa UI.

Dalam film Gie (2005), tergambar bagaimana sebuah debat antar mahasiswa dengan latar belakang organisasi ekstra berbeda, bisa berlanjut pada perkelahian. Betapa runyamnya kampus jika kepentingan organisasi ekstra dibawa masuk. Bukan rahasia lagi jika banyak pengurus BEM masa kini adalah orang-orang dari organisasi ekstra. Mereka hanya enggan mengakuinya.

Dengan kondisi sekarang yang polarisasinya mengingatkan pada zaman ketika Gie dan kawan-kawannya membentuk Mapala UI 12 Desember 1964. Gunung harusnya menjadi tempat alternatif untuk tetap waras. Mari naik gunung seperti Soe Hok Gie, dan kawan-kawannya, dengan prinsip keselamatan yang utama. Namun, naik gunung jangan untuk mati muda seperti yang pernah ditulis Hok Gie dalam catatan hariannya. “Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua”

Meski Hok Gie mati muda, ia telah memberikan pesan bagaimana seorang anak muda bersikap konsisten di tengah pragmatisme. Sebelum berangkat ke Gunung Semeru, Hok Gie sempat mengirimkan semua anggota DPR paket lipstik dan bedak. Itu sebagai sindiran agar teman-teman lama aktivis kampus yang sudah jadi anggota DPR tampak cantik di mata pemerintah. Hok Gie kecewa pada teman-teman seperjuangan yang dianggap telah melupakan perjuangan, dan sindiran ini masih relevan di masa kini.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 26 Januari 2017 dengan judul "Saat Politik Memecah Belah, Mari Naik Gunung Seperti Hok Gie". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra