Menuju konten utama

Mat Solar: Melawak dan Melawan Orde Baru

Sebelum bermain di "Bajaj Bajuri" dan "Tukang Bubur Naik Haji", Mat Solar sudah malang melintang di dunia hiburan. Dia pernah jadi pendukung PPP di zaman Orde Baru.

Mat Solar: Melawak dan Melawan Orde Baru
Aktor komedi senior, Nasrullah atau lebih dikenal Mat Solar (tengah) berada di kursi roda berfoto bersama keluarganya usai menghadiri wisuda anaknya di ITS. Mat Solar terserang stroke yang membuatnya harus menggunakan alat bantu gerak. FOTO/Dok. ITS

tirto.id - Para penonton Trans TV generasi pertama tidak asing dengan komedi situasi Bajaj Bajuri. Ia bercerita tentang sopir bajaj bernama Ahmad Bajuri (alias Bajuri alias Bang Juri) yang hidup bersama istrinya (yang bernama Oneng), ibu mertuanya (yang dipanggil Emak), dan tetangga-tetangganya (yang punya masalahnya masing-masing).

Di komedi situasi itu ada Rieke Diah Pitaloka yang berperan sebagai Oneng yang jujur, polos, sekaligus oon; Nani Wijaya sebagai Emak si mertua yang serakah, mata duitan, pelit, dan menyebalkan bagi siapa saja; dan Fanny Fadillah sebagai Ucup bin Sanusi si tetangga yang payah.

Bajuri alias Bang Juri diperankan Mat Solar. Sosok Bajuri digambarkan ceplas-ceplos dan apa adanya. Juri adalah gambaran warga kota jelata yang tidak malas menarik bajajnya demi keluarga. Sebagai suami, dia juga rajin “menarik Oneng.”

Serial ini tergolong sukses di era 2000-an. Di antara banyak komedi situasi di zamannya, Bajaj Bajuri yang paling populer. Trans TV kerap memutar ulang serial ini. Mat Solar memerankan dengan baik karakter Bajuri. Ini terkesan tidak sulit. Selain tampang dan posturnya yang lucu, Mat Solar sendiri memang pelawak berpengalaman di layar lebar. Karena Bajuri, nama Mat Solar tentu saja makin terkenal.

Sepanjang sejarah serial yang ditayangkan sejak 14 April 2002 hingga 28 Januari 2007 ini, Bajuri hanya diperankan Mat Solar. Karakter Bajuri sudah terlanjur melekat pada laki-laki kelahiran Pejompongan, Jakarta, 4 Desember 1962 itu. Namun, dalam sebagian episode, Bajuri banyak absen dan akhirnya tidak muncul lagi. Belakangan, serial Bajaj Bajuri pun akhirnya berhenti. Memang ada usaha nekat menghidupkan Bajaj Bajuri pada 2014, tapi tidak ada gaungnya. Seolah-olah hanya Mat Solarlah si Bajuri.

Setelah sosoknya melekat pada Bajuri, Mat Solar muncul lagi pada 2012. Bukan dalam sebuah komedi situasi, melainkan dalam sebuah sinetron yang dicap sinetron religi. Judulnya: Tukang Bubur Naik Haji.

Si tukang bubur, yang bernama Sulam, diperankan Mat Solar. Jika di Bajaj Bajuri sosok yang diperankannya kadang ceplas-ceplos ala Betawi, dalam Tukang Bubur Naik Haji ia berperan sebagai orang yang suka menebar senyum.

Di sini Mat Solar tetap berperan orang sabar. Tapi bukan sabar terhadap mertua. Ia sabar terhadap tetangga yang bernama Haji Muhidin dan Hajjah Maemunah. Meski haji, tabiat pasutri ini digambarkan buruk. Mereka suka berprasangka dan kerap merendahkan Sulam si tukang bubur.

Awalnya Sulam belum haji, tapi akhirnya naik haji. Bisnis bubur kecil-kecilan dengan gerobak itu semakin ramai.

Waktu memerankan Haji Sulam, Mat Solar sudah terkenal. Seperti komedi situasi Bajaj Bajuri, sinetron Tukang Bubur Naik Haji juga sukses. Lagi-lagi, seperti Bajaj Bajuri, Mat Solar tidak tergantikan sebagai Haji Sulam. Seperti di Bajaj Jajuri pula, Mat Solar menghilang di tengah jalan.

Meski Sulam sudah naik haji dan kemudian tidak pernah muncul, Tukang Bubur Naik Haji terus berlanjut di RCTI. Tayangan sinetron yang mulai tayang sejak 2012 ini panjangnya sudah 2000-an episode. Mengalahkan Cinta Fitri dan sinetron lainnya. Sudah jadi penyakit pertelevisian Indonesia, yang selalu memanjang-manjangkan cerita. Setelah Tukang Bubur Naik Haji, Mat Solar seolah-olah tenggelam dari dunia hiburan.

Infografik Mat Solar

Malang-Melintang di Dunia Hiburan

Pada era 2000-an, Mat Solar bukan bocah kemarin sore di dunia hiburan Indonesia. Meski bukan yang paling terkenal, sebelum Bajaj Bajuri dan Tukang Bubur Naik Haji, Mat Solar sudah malang-melintang di dunia hiburan.

Ia pernah ikut film dari grup lawak legendaris Warkop Prambors DKI (Dono, Kasino, Indro). Wajah dan laku lucunya nangkring di film Dongkrak Antik (1982), di mana Mat Solar berperan sebagai orang agak budeg tapi polos. Di tahun yang sama, tampang Mat Solar nongol juga di Perawan Rimba. Di film Dilihat Jangan Dipegang Jangan (1983), Mat Solar ikut berakting kocak pula.

Laki-laki yang pernah kuliah sosiologi di FISIP Universitas Indonesia ini kerap nongkrong di Radio SK (singkatan dari Sentra Komedi). Menurut Herry Gendut Janarto dalam Bagito, trio pengusaha tawa (1995: 74), Mat Solar berkawan dengan grup lawak Bagito. Mereka juga kerap muncul bersama.

Film Mendung Tak Selamanya Kelabu (1982), menurut Ensiklopedi Jakarta: buku 2. J-P, Volume 2 (2005: 346) adalah film pertamanya. Sebelum main film, Mat Solar sudah main di Teater Mama Pejompongan pimpinan Cuwiek Soegijanto. Dia ikut dalam komedi Betawi yang kritis.

“Teater Mama lebih berani mengkritik pemerintah dengan sindiran halus berbentuk komedi. Mereka bicara tentang HPH, korupsi, dan birokrasi,” tulis buku ensiklopedia tersebut.

Di situlah untuk pertama kalinya dia memakai nama Mat Solar. Nama aslinya adalah Nasrullah. Sedari SMP, pada 1976, dia sudah bermain di Teater Mama yang semula kumpulan remaja Pejompongan. Remaja-remaja kocak itu kerap diundang di acara-acara kampung.

Menurut Ensiklopedi Jakarta, dia pernah aktif di Radio Suara Kejayaan pada 1986 dan pernah jadi Manager Produksi Bens Radio pada 1990. Sebelum milenium ketiga, dia pernah muncul di Senggal-Senggol, Sorga di Bawah Telapak Kaki Ibu, Raja Sawer, dan Luv.

Soal berpolitik, itu bukan hal baru bagi Mat Solar. Tak mengherankan jika dirinya pernah menjadi calon legislatif. Di masa Orde Baru, ketika Golkar berjaya, Mat Solar punya pilihan beda. Ia adalah pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang punya basis kuat di Jakarta.

Ade Armando dalam Televisi Jakarta di atas Indonesia: kisah kegagalan sistem televisi berjaringan di Indonesia (2011: 95) menyebut Mat Solar seperti Rhoma Irama, yang dipersulit untuk tampil di TVRI pada 1980-an. Ini tak lepas dari kegiatan politiknya di partai yang bukan kesayangan penguasa.

Baca juga artikel terkait KOMEDIAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan