Menuju konten utama

Masyarakat Adat & Difabel: Perjuangkan Hak, Kursi DPR Perlu Diraih

Kecewa hak-haknya tak terpenuhi, masyarakat adat berkontestasi dalam Pileg 2019.

Masyarakat Adat & Difabel: Perjuangkan Hak, Kursi DPR Perlu Diraih
Seorang difabel menggunakan hak suaranya saat mengikuti simulasi Pemilihan Umum (Pemilu) di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Kediri, Jawa Timur, Sabtu (15/12/2018). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/aww.

tirto.id - Sebanyak 35 penyandang disabilitas atau difabel maju sebagai calon anggota Legislatif dalam Pemilu 2019. Mereka maju melalui beragam partai politik dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

Menurut Pelaksana Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Penyandang Disabilitas, April Syar, keterlibatan para penyandang disabilitas sebagai bentuk perjuangan pemenuhan hak-hak yang abai terwujud.

"Para disabilitas yang direkrut para partai menjadi caleg adalah mereka yang berjiwa sosial, saya yakin itu. Sehingga nanti mereka akan memperjuangkan hak-hak kaum disabilitas," ujar April kepada reporter Tirto selepas acara diskusi di Jakarta Selatan, Minggu (3/1/2019).

April menuturkan, meski Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas sudah disahkan, implementasinya masih jauh dari harapan. Atas dasar itulah para penyandang disabiltas dinilai perlu turun ke kancah politik.

"Bahkan belum ada apa-apa. Delapan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) yang kami perjuangkan saja belum semuanya disahkan. Dan ini akan menjadi kewajiban bagi para caleg nanti. Kami jadi punya harapan," ujar April.

Atas Dasar Kekecewaan

Tak hanya para penyandang disabilitas, sebanyak 157 perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga maju sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019. Mereka maju melalui beragam partai politik dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan, masyarakat adat perlu proaktif dalam menyuarakan hak-haknya yang belum terpenuhi. Salah satu caranya, kata dia, dengan menjadi anggota parlemen.

"Ini sangat penting karena menjadi utusan masyarakat adat. Ada nilai leluhur yang kami usung, ada prinsip perikemanusiaan, HAM, kesetaraan, dan itu harus kami junjung tinggi dengan tindakan menjadi politikus yang baik," kata Rukka.

Rukka mengatakan terjunnya masyarakat adat dalam kancah politik atas dasar kekecewaan terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Rukka menilai Jokowi-JK telah ingkar janji terkait pemenuhan hak-hak masyarakat adat.

Padahal, kata Rukka, saat Pemilu 2014 seluruh anggota struktural AMAN dikerahkan untuk mendukung pasangan Jokowi-JK. Saat itu, Jokowi-JK dinilai bakal membawa harapan baru bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat.

"Untuk pertama kali sejarah perhelatan politik Indonesia," jelasnya.

Sayangnya, harapan masyarakat adat tak kunjung terwujud. Selain itu, berbagai persoalan terus menekan kehidupan masyarakat adat, mulai dari tak punya hak atas lahan hingga tak terdaftar sebagai warga negara.

"Masih banyak dari kami yang belum menjadi warga negara dan masih banyak sekali persoalan pelanggaran HAM, perampasan wilayah adat, menjadi miskin tidak sekolah, bahkan terancam punah," ujar Rukka lirih.

Keikutsertaan penyandang disabilitas dan masyarakat adat dalam Pemilu 2019 dinilai sebagai hal positif. Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, kelompok-kelompok minoritas yang tengah memperjuangkan hak-haknya melalui jalur legislatif perlu mendapat dukungan.

"Ada kelompok perempuan yang berjuang untuk menuju kesetaraan, masyarakat adat, kelompok disabilitas, lalu kelompok muda. Politik harus memberi harapan bagi mereka," ujar Titi.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Politik
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan