Menuju konten utama
Sejarah Masjid di Indonesia

Masjid Wapauwe Kaitetu: Saksi Sejarah Islam di Tanah Maluku

Masjid Wapauwe merupakan saksi sejarah dari perkembangan agama Islam di Maluku. 

Masjid Wapauwe Kaitetu: Saksi Sejarah Islam di Tanah Maluku
Masjid Wapauwe. FOTO/Istimewa

tirto.id - Masjid Wapauwe merupakan salah satu masjid tertua di kawasan timur Indonesia, tepatnya di Kaitetu, Maluku Tengah. Masjid yang didirikan pada 1414 Masehi ini merupakan saksi sejarah dari perkembangan agama Islam di Maluku.

Perkembangan Islam di Nusantara dapat ditelusuri keberadaannya melalui berbagai sumber, seperti literatur, prasasti, dan peninggalan lainnya. Salah satu jejak Islam di di Maluku bisa diketahui melalui keberadaan bangunan masjid yang masih ada sampai saat ini.

Pemaparan Dwi Astuti bertajuk "Masjid Wapauwe, Saksi Perkembangan Islam di Wilayah Timur Nusantara" dalam Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (2017) menyebutkan, Maluku dikenal sebagai penghasil rempah-rempah yang menjadikan para saudagar dari berbagai negeri berdatangan.

Kedatangan mereka, termasuk kaum pedagang dari negeri-negeri Islam, menyebabkan terjadinya kontak dengan masyarakat lokal. Kontak inilah yang kemudian berlanjut kepada penyebaran agama Islam yang dibawa oleh para saudagar tersebut.

Islam mulai berkembang di Maluku dimulai dari Kesultanan Ternate pada 1257 M. Penyebaran Islam oleh Kesultanan Ternate memberi pengaruh sampai ke wilayah Maluku lainnya, termasuk dengan keberadaan Masjid Wapauwe di Maluku Tengah.

Sejarah Masjid Wapauwe

Awalnya, Masjid Wapauwe dikenal dengan nama Masjid Wawane karena didirikan di lereng Gunung Wawane, Maluku Tengah.

Abdul Baqir Zein dalam Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia (1999) mengungkapkan, perintis berdirinya Masjid Wawane adalah Pernada Jamilu, seorang bangsawan keturunan Kesultanan Jailolo di Maluku Utara, yang sedang menyebarkan ajaran Islam pada awal abad ke-15 M.

Masjid Wawane dipindahkan daratan Tehala pada 1614 M, di sebelah timur Gunung Wawane, karena gangguan dari Belanda yang saat itu menyerang Kerajaan Tanah Hitu. Kala itu, Wawane termasuk wilayah milik kerajaan tersebut.

Belanda menguasai seluruh wilayah Tanah Hitu pada 1646 M. Kaum penjajah ini kemudian mendesak warga di lereng gunung untuk turun ke daratan, termasuk penduduk di lereng Gunung Wawane.

Maka, pada 1664, terbentuklah suatu negeri yang dinamakan Negeri Kaitetu. Di sinilah daratan Tehala yang menjadi lokasi berdirinya Masjid Wawane.

Lantas, mengapa nama Masjid Wawane diganti menjadi Masjid Wapauwe? Konon, nama tersebut diambil dari pohon mangga berabu (mangga hutan), atau wapa dalam bahasa Kaitetu, yang banyak tumbuh di sekitar tempat itu.

Itulah asal-usul penamaan Masjid Wapauwe. Artinya, masjid yang dibangun di bawah pohon mangga berabu atau wapa.

Arsitektur Masjid Wapauwe

Arsitektur Masjid Wapauwe sarat dengan nilai sejarah dan punya ciri khas.Penelitian Tekat Dwi Cahyono berjudul "Penilaian Bangunan Masjid Tua Wapauwe di Desa Kaitetu Maluku" dalam Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (2018), menyebutkan bahwa bangunan Masjid Wapauwe memiliki ukuran 10x10 meter.

Pada bagian depan Masjid Wapauwe, terdapat bangunan tambahan yang berukuran 6,35x4,75 meter. Masjid ini memiliki bentuk empat bujur sangkar.

Dikutip dari buku berjudul Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia (1983) yang disusun oleh Abdul Rochym, Masjid Wapauwe memiliki keunikan khas, yaitu bangunan induk yang konstruksinya dirancang tanpa menggunakan paku pada setiap sambungan kayu.

Keunikan masjid ini juga dapat dilihat dari dindingnya yang dibangun dengan pelepah sagu (gaba-gaba). Konstruksi dinding yang menggunakan gaba-gaba terlihat sangat rapi dan terawat. Pada bagian atap bambu dijadikan bahan pendukung untuk konstruksinya.

Hingga saat ini, bangunan Masjid Wapauwe tetap terjaga keasliannya serta masih difungsikan sebagai tempat ibadah dan tempat untuk melakukan berbagai kegiatan keagamaan oleh warga Kaiketu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MASJID NUSANTARA atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri & Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Alhidayath Parinduri & Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya