Menuju konten utama

Masjid Sunda Kelapa yang Sempat Ditolak Gubernur

Di awal Orde Baru, lokasi awal Masjid Sunda Kelapa adalah saksi pemberangusan komunis.

Masjid Sunda Kelapa yang Sempat Ditolak Gubernur
Masjid Sunda Kelapa di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pasangan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno, memilih Masjid Sunda Kelapa sebagai tempat berkumpul sebelum berangkat ke Istana untuk pelantikan. Masjid ini berada di Jalan Taman Sunda Kelapa No. 16, Menteng, Jakarta Pusat, salah satu kawasan elit di DKI Jakarta.

Sandi menjelaskan bahwa dipilihnya Masjid Sunda Kelapa bukan tanpa sebab. Baginya, masjid ini penting dan punya nilai sejarah. "Tempatnya sentral. Dan itu adalah momen bersejarah untuk DKI. Ini masjid yang juga melambangkan salah satu nama pelabuhan utama, dan yang membangun Kota Jakarta pertama, kan adalah Sunda Kelapa," kata Sandi kepada sejumlah wartawan.

Benarkah masjid ini bersejarah?

Pembangunan masjid ini tak terpisahkan dari dua pengusaha tajir Orde Lama, Subhan Z.E dan HBR Motik, yang masing-masing tinggal di Jalan Banyumas Nomor 4, Menteng dan Jalan Banyumas Nomor 2. Satu hari mereka datang menghadap Wali Kota Jakarta Soediro (yang kemudian jadi gubernur kepala daerah 1953-1960 Jakarta Raya) Mereka tidak sedang minta proyek. Dua pengusaha ini menyampaikan uneg-uneg warga Menteng yang beragama Islam yang hendak mendirikan masjid di daerah tersebut. Namun, kala itu, Soediro menolak gagasan itu.

“Apa! Sebuah masjid di Taman Sunda Kelapa? Tidak, itu menakutkan kota,” katanya seperti yang diceritakan dalam buku Dakwah Remaja: Kajian Remaja dan Institusi Dakwah Remaja (2011).

Waktu zaman kolonial, Menteng adalah kawasan real estate pertama di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda tajir tinggal di kawasan ini. Sehingga tak mengherankan sebuah masjid sulit ditemukan.

Sebelum jadi kawasan elit, menurut catatan di buku Ensiklopedi Jakarta: buku 2. J-P - Volume 2 (2005), di sekitar Menteng pernah ada masjid, yang lokasinya di Jalan Mangunsarkoro dan Latuharhary yang dibangun Sayid Ahmad bin Muhammad bin Shahab pada 1870 (Masjid Shihabudin). Namun, pada 1908 dipindah lebih ke selatan, ke Jalan Tangkuban Perahu.

Setelah Indonesia merdeka, Menteng jadi kawasan hunian penggede negara. Meski banyak yang beragama Islam, seringkali ekspresi keislaman mereka tak kentara seperti pejabat negara masa kini. Bahkan Menteng dianggap sebagai simbol kekuasaan.

Pada 1966, niatan untuk membangun masjid muncul di kepala Motik. Di tahun-tahun itu, Subhan, yang pernah menjadi pimpinan Nahdlatul Ulama (NU), sedang asyik berpolitik. Motik dibantu H. Machmud, H. M. L. Latjuba (Wakil Ketua), Hasjim Mahdan, H. Tachyar, H. Darwis Tamin, juga H. A. H. Djunaedi. Yayasan Islam Sunda Kelapa (YISK) pada 7 Oktober 1966 juga terbentuk, di mana Motik menjadi ketuanya. Anak Motik, Faizal, juga aktif di masjid.

Di tahun-tahun tersebut, Ali Sadikin sudah menjabat Gubernur DKI Jakarta. Sang Gubernur sangat mendukung pembangunan masjid. Tak hanya pemerintah daerah, Panglima Kodam Jakarta Raya (Jaya) Mayor Jenderal Amir Machmud juga mendukung, yang kemudian jadi Ketua Kehormatan YISK. Begitu pula warga Menteng sohor macam Abdul Haris Nasution.

Baca Juga: Abdul Haris Nasution Si Penggagas Dwifungsi ABRI

YISK pernah meminta gedung Bappenas diserahkan kepada Yayasan. Permohonan itu ditolak, karena gedung masih dipakai pemerintah. Beruntungnya, seperti dicatat Nirwanto Ki S. Hendrowinoto dalam Samudera kehidupan: Chandra Motik (2004), Gubernur Ali memberikan alternatif kepada YISK. Ia menyediakan pilihan di Lapangan Persija atau di Taman Sunda Kelapa. Akhirnya, Yayasan memilih yang kedua sebagai lokasi masjid.

Ir. Gustaf Abbas dipercaya sebagai arsiteknya. Peletakan batu pertama dilakukan tepat pada Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1388 H (21 Desember 1969) oleh Ketua Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Jenderal A.H. Nasution, Gubernur DKI Jakarta Mayor Jenderal KKO Ali Sadikin, Sekretaris Negara Mayor Jenderal Alamsjah, dan H.B.R. Motik. Masjid tanpa kubah itu berusaha untuk tidak tampil kaku dengan mengidentikkan pada gaya Timur Tengah. Masjid ini diresmikan pada 31 maret 1971.

Sebelum jadi masjid, di sekitar tempat itu berdiri Sekolah Dasar Kepodang, Taman Kanak-kanak Kepodang, dan SMP Srikandi. Menurut Subronto Laras dalam Soebronto Laras, Meretas Dunia Automotif Indonesia (2005), ibunya adalah pendiri sekolah-sekolah itu. Di TK Kepodang pula HBR Motik mengirimkan anaknya, Chandra, untuk bersekolah. Setelah jadi masjid, beberapa orang pernah menunaikan syahadat di sini. Salah satunya Monica Oemardi—yang disuruh sekali lagi mengucapkan kalimat syahadat oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab.

Baca Juga: Persahabatan Gus Mus dan Quraish Shihab

infografik masjid sunda kelapa

Beberapa hari setelah G30S, kawasan Taman Sunda Kelapa pernah menjadi tempat bersejarah. “Aksi Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tigapuluh (KAP Gestapu) pertama kali berhasil digelar di Taman Sunda Kelapa pada 4 Oktober 1965, dihadiri ribuan pemuda, pelajar dan mahasiswa; teriakan Allahu Akbar terus bergema sepanjang aksi itu berlangsung,” tulis Aminudin dalam Kekuatan Islam Dan Pergulatan Kekuasaan Di Indonesia (1999).

Baca juga: Atas Nama Pimpinan PKI, Sudisman Meminta Maaf

Rapat itu dalam rangka membasmi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan hal-hal yang berbau komunis, terutama di sekitar Jakarta. Peristiwa di tempat yang sekarang jadi masjid itu adalah kejadian yang tak diduga bagi seorang sutradara nasional, yang berseberangan dengan PKI. Sebelum 30 September 1965, PKI—kala itu partai komunis terbesar di Asia Tenggara—adalah partai kuat Indonesia.

“Di luar dugaan yang bisa dikhayalkan, PKI bisa tiba-tiba menjadi kocar-kacir, menjadi buruan. Subhanallah! Pagi tanggal 4 Oktober 1965 saya disuruh datang ke Taman Sunda Kelapa. Tempat yang sekarang di atasnya berdiri mesjid,” tulis Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan Orang bandel (2008).

Baca juga artikel terkait ANIES-SANDIAGA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan