Menuju konten utama

Masjid Lautze, Kronik Cerita Muslim Tionghoa Menghidupkan Islam

Masjid Lautze di kawasan Pecinan ini banyak menyimpan kisah jemaah muslim Tionghoa dalam menghidupkan ajaran Islam.

Masjid Lautze, Kronik Cerita Muslim Tionghoa Menghidupkan Islam
Masjid Lautze di Jakarta Pusat yang berdiri di antara ruko dan bangunan didesain mengikuti ornamen-ornamen khas Kelenteng. Tirto.id/Riyan

tirto.id - Azan zuhur berkumandang dari Masjid Lautze, rumah ibadah komunitas muslim Tionghoa pada Kamis (31/3/2022) siang. Orang-orang yang berada di sekitar masjid pun masuk untuk menjalankan ibadah. Ada juga beberapa pengendara yang singgah.

Bangunan Masjid Lautze terletak di kawasan perdagangan dan ruko yang sibuk. Fasad depan masjid tampak seperti kelenteng atau tempat rumah ibadah umat Konghucu, dengan warna tembok merah dan kuning serta bertengger lampu lampion khas Tionghoa.

Memasuki ruangan masjid, terhampar karpet hijau dengan garis kuning. Terlihat pajangan kaligrafi dengan gaya tulisan Mandarin berisi potong-potong ayat Alquran. Ada juga pajangan potongan Asmaul Husna dan ayat kursi dengan tulisan bahasa Mandarin.

Kebetulan sebelum azan zuhur, satu keluarga Tionghoa yang terdiri dari Tjie it Hau (Ardi) bersama istri dan ketiga anaknya baru saja menjadi mualaf. Mereka secara resmi masuk Islam.

Setelah memasuki waktu Iqamah, para jemaah pun langsung melaksanakan salat. Pada siang itu jemaah cukup banyak, tiga saf terisi, sekitar 30 orang. Meski masjid bernuansa Tionghoa, ritual ibadah yang dilakukan sama seperti masjid pada umumnya.

Humas Masjid Lautze, Yusman Iriansyah bercerita awal berdirinya rumah ibadah ini tak lepas dari sosok Haji Karim Oei, seorang Tionghoa yang ikut membantu memperjuangkan bangsa Indonesia dari penjajah dan memiliki nasionalisme tinggi. Karim juga merupakan tokoh pendiri Bank BCA dan pimpinan Muhammadiyah semasa hidupnya.

Setelah Karim meninggal pada 1989, tiga tahun kemudian sahabat-sahabatnya berinisiatif membuat Yayasan Karim Oei. Tujuan pendirian yayasan saat itu, sebagai pusat informasi mengenal agama Islam bagi kalangan etnis Tionghoa.

"Waktu itu kalangan Tionghoa masih perlu wawasan tentang Islam, mereka bingung mau ngapain, akhirnya kami wadahi," kata Yusman kepada Tirto, Kamis (31/3/2022).

Berdirinya Yayasan pun disambut baik oleh kalangan etnis Tionghoa. Lambat laun, Yayasan pun berkembang menjadi tempat ibadah umat Islam dengan menyewa sebuah ruko. Apalagi kala itu di kawasan Pecinan, Jakarta Pusat itu masih jarang ada masjid.

Melihat perkembangannya yang begitu pesat, akhirnya Presiden RI ke-3 BJ Habibie yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) cum Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) menjadi donatur untuk pembangunan masjid. Alhasil, ruko tersebut pun dibeli dan disulap menjadi Masjid Lautze. Masjid itu pun diresmikan oleh Habibie pada tahun 1994.

Bangunan didesain mengikuti ornamen-ornamen khas Kelenteng. Yusman mengatakan tujuannya agar warga beretnis Tionghoa yang mau mengenal Islam merasa lebih familiar dan tidak canggung.

Melihat perkembangannya yang cukup pesat, pada 1991 akhirnya banyak permintaan orang non-Islam yang ingin menjadi mualaf. Namun, pihaknya merekomendasikan agar ikrar memeluk Islam dilakukan di masjid besar lainnya seperti Masjid Sunda Kelapa dan Istiqlal.

Akhirnya pada 1997, Masjid Lautze mulai melayani permintaan umat non-Islam yang ingin menjadi mualaf. Sejak tahun 1997 hingga sekarang, sebanyak 1.691 orang yang mengikrarkan diri menjadi mualaf di Masjid Lautze.

Dalam satu bulan, kata Yusman, sekitar delapan orang yang menjadi mualaf di Masjid Lautze. Pada Maret ini, sudah ada 12 orang yang menjadi mualaf.

"Alhamdulillah hari ini ada satu keluarga terdiri dari lima orang Tionghoa menjadi mualaf," tuturnya.

Sebagian besar yang mendaftarkan diri menjadi mualaf yakni umat Tionghoa. "Tapi ada juga yang orang dari luar negeri, ada asli Indonesia juga, beragam. Tapi hampir 90 persenan orang Tionghoa," tuturnya.

Yusman mengatakan cara menjadi mualaf di Masjid Lautze tidak begitu sulit. Peserta bisa menghubungi Yayasan Karim Oei. Lalu mereka diajak berdiskusi mengenai wawasan Islam.

Jika sudah merasa mantap, peserta dapat mendaftarkan diri, lalu mengikrarkan syahadat di Masjid Lautze. Setelah selesai, mereka diberikan sertifikat tanda resminya menjadi seorang mualaf.

"Pak Ardi dan keluarga sudah beberapa bulan lalu mau daftar jadi mualaf, sudah tiga kali malah, tapi ini baru mantap," tuturnya.

Masjid Lautze yang Sering Dikira Kelenteng

Selain itu, kata Yusman, Masjid Lautze juga melakukan banyak kegiatan sosial, seperti membantu masyarakat terdampak yang terdampak bencana, menyalurkan sembako, hingga bekerja sama dengan Baznas memberikan pengobatan gratis setiap minggunya.

Dalam memberikan bantuan, pihaknya pun tak tebang pilih. "Jadi mau mereka dari suku dan agama manapun, selama mereka membutuhkan, kami bantu," ucapnya

"Itu juga cara kami untuk mengedukasi ke masyarakat bahwa Islam adalah agama yang memberikan kasih sayang," lanjutnya.

Yusman menjelaskan Masjid Lautze dibuka mulai pukul 08.00 sampai 17.00 WIB, sehingga para jemaah hanya bisa mengikuti salat zuhur dan asar. Total jemaah Masjid Lautze diperkirakan mencapai 200 orang.

"Kami buka jam kerja saja, bukan kaya masjid perumahan. Makanya kami dibilangnya masjid transit," imbuhnya.

Namun, lanjut Yusman, pada bulan puasa nanti waktu operasional Masjid Lautze bakal diperpanjang. Setiap hari Sabtu, masjid akan dibuka hingga malam hari, sehingga bisa merasakan momen buka puasa bersama dan tarawih secara berjamaah.

Yusman menjelaskan terdapat hal yang menarik saat tarawih, karena salat dipimpin oleh para mualaf secara bergantian setiap dua rakaat.

"Jadi ada imam estafet dari para mualaf. Itu untuk memotivasi mereka agar giat belajar dan mereka mau belajar Alquran. Bisa juga memotivasi yang lain agar berani jadi imam," terangnya.

Selain itu, pada 10 hari terakhir puasa juga diperbolehkan melakukan itikaf, sehingga masjid akan beroperasi selama 24 jam sampai hari raya Idulfitri. "Menjelang Lebaran kita bagi bingkisan, semacam sembako," akunya.

Masjid Lautze juga menyelenggarakan salat Idulfitri secara berjamaah. Setelah salat, para jamaah biasanya saling bersalaman untuk saling memaafkan hingga bersilaturahmi ke kediaman rekannya. "Tidak hanya silaturahmi ke sesama muslim, ke non-muslim juga kami lakukan," ucapnya.

Selama pandemi COVID-19, kegiatan yang ada di masjid tetap berjalan dengan sedikit kendala, namun disesuaikan dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dari pemerintah.

Yusman menuturkan para jemaah Masjid Lautze sendiri tidak mengadakan kegiatan seperti ziarah kubur, termasuk ke makam Tionghoa. "Kalau itu paling dari masing-masing saja," ujarnya.

Meski masjid ini kental dengan nuansa Tionghoa dan menjadi tempat ribuan orang etnis Tionghoa masuk Islam, Yusman menegaskan tidak ada perayaan khusus saat Tahun Baru Imlek di tempat ibadah itu.

"Biasanya mereka sudah tahu mana yang bersifat tradisi, mana yang bersifat ritual ibadah. Yang tradisi mereka jalani dan yang ritual mereka hindari," imbuhnya.

Meski sebagai kelompok minoritas, yakni etnis Tionghoa, Yusman mengaku tidak pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif dari lingkungan sekitar. Hal tersebut lantaran Masjid Lautze berdiri di kawasan Pecinan yang banyak dihuni oleh etnis Tionghoa.

"Alhamdulillah mereka yang masuk Islam juga aman, sama keluarganya, tetangganya yang Tionghoa, tetap jadi saudara, bisa berbaur," klaimnya.

Masjid Lautze sendiri berada di Jl. Lautze No.87, RT 10/RW 3, Karanganyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Bangunannya terdiri dari empat lantai, di lantai 1-2 sebagai masjid, lantai 3 adalah Kantor Yayasan Karim Oei, dan lantai 4 dijadikan Aula untuk tempat pertemuan. Saat ini keanggotaan Masjid Lautze sebanyak tiga orang.

Tempatnya berada di belakang Pusat Perbelanjaan Pasar Baru. Jarak dari Monumen Nasional (Monas) sekitar dua kilometer. Di sekitar Masjid Lautze juga terdapat rumah ibadah Tionghoa, salah satunya yang terbesar yakni Vihara Dharma Jaya atau biasa dikenal Kelenteng Sin Tek Bio.

Pernyataan Yusman memang benar adanya. Sejak pagi sampai Masjid Lautze ditutup pukul 5 sore, kegiatan peribadatan berjalan seperti biasa.

Salah satu jemaah yang sering beribadah di Masjid Lautze adalah Sofyan Hadi (59). Dia bekerja di kantor hukum, salah satu ruko tak jauh dari Masjid Lautze. Awalnya dia menganggap Masjid Lautze merupakan sebuah Kelenteng lantaran tidak berbentuk seperti rumah ibadah umat Islam pada umumnya.

Kaligrafi Mandarin Masjid Lautze

Kaligrafi Mandarin Masjid Lautze. tirto.id/Riyan

"Bingung lihat masjid kaya klenteng atau wihara. Kalau yang enggak tahu, mungkin dianggap seperti itu. Lama-lama pas kita tahu, oh ternyata ini tempat ibadah," kata Sofyan usai mengerjakan salat di Masjid Lautze.

Sofyan bersyukur dengan adanya Masjid Lautze di dekat kantornya. "Jadi nggak perlu jauh-jauh cari. Karena sekitar sini hampir semua isinya ruko," tuturnya.

Selama hampir dua tahun menjadi jemaah Masjid Lautze, Sofyan mengaku belum menyaksikan peristiwa yang merugikan rumah ibadah itu atau pun jamaah yang berasal dari Tionghoa. "Nggak masalah, belum denger ada bahasa apa-apa gitu," ucapnya.

Kisah Satu Keluarga Jadi Mualaf

Tjie it Hau (50) bersama istri dan tiga orang anaknya siang itu, Kamis (31/3/2022) masuk ke dalam Masjid Lautze meyakinkan diri menjadi Mualaf. Istrinya bernama Lilik Suparni (50), dan ketiga anaknya Ricky Wijaya (25), Apriliani (18), dan Septian (11). Mereka merupakan warga Tionghoa beragama Nasrani.

Yusman Iriansyah selaku pembimbing mualaf langsung mengarahkan mereka untuk duduk di depan mimbar Imam. Yusman dan pria dengan nama panggilan Ardi itu beserta anak istrinya duduk berhadapan. Di tengah mereka terdapat sebuah meja dengan secarik kertas bertuliskan dua kalimat syahadat.

"Ikuti kalimat saya ya," kata Yusman kepada mereka sambil memegang microphone.

Ardi bersama keluarganya pun mengikuti kalimat syahadat yang diucapkan Yusman. Ardi dan keluarga mengikrarkan diri untuk pindah agama dari Nasrani untuk masuk Islam. Mereka pun kini resmi menjadi Mualaf.

"Alhamdulillah," kata Yusman diikuti Ardi dan keluarga beserta dua saksi dan sejumlah jemaah yang menyaksikan. Wajah Ardi dan keluarga tampak terharu, seperti membuka lembaran baru dalam hidup mereka. Yusman pun memeluk tubuh Ardi, menyambutnya dengan tangan terbuka.

"Alhamdulillah tadi sudah mengucapkan kalimat syahadat dan kembali ke jalan Allah. Gadiahnya dari Allah diampuni dosa-dosanya seperti suci kembali lagi di muka bumi ini," ucap Yusman kepada keluarga Ardi.

Tak lama kemudian azan zuhur berkumandang. Ardi beserta keluarga pun ikut salat berjemaah. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai ojek online ini mengaku mendapatkan hidayah menjadi mualaf. Awalnya Ardi diberikan cobaan, putrinya diberikan penyakit kulit. Putrinya sudah dibawa ke dokter hingga pengobatan alternatif, namun hasilnya nihil.

Ardi bermimpi anaknya sembuh dari penyakit dan keluarganya masuk Islam.

"Tiba-tiba atas izin Allah putri saya sembuh. Setelah saya mendapatkan impian agar keluarga ini menjadi Islam, Alhamdulillah saya menjadi mualaf," tuturnya.

Akhirnya dia mengajak anak istrinya untuk masuk Islam. Bersyukur tidak ada penolakan dari mereka. Setelah mencari tempat yang tepat, akhirnya Ardi memutuskan untuk bersyahadat di Masjid Lautze.

"Setelah bersyahadat, hati saya merasa nyaman, damai sejahtera di keluarga saya, sehingga saya menemukan satu titik bahwa Allah begitu besar," ucapnya.

Ardi berjanji akan mempelajari syariat Islam dengan baik, termasuk menjalankan ibadah puasa mengingat sebentar lagi bulan Ramadan. "Kayaknya kami akan belajar dulu di masjid ini bagaimana puasa, salat, menjalankan syariat Islam," tuturnya.

Keluarga pak Ardi

keluarga pak Ardi, orang Tionghoa yang menjadi mualaf. tirto.id/Riyan

Baca juga artikel terkait RAMADAN 2022 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri