Menuju konten utama

Masih Sulit Ungkap TKP Penembakan 22 Mei, Polri Bisa Pakai CCTV DKI

KontraS mempertanyakan polisi yang belum memanfaatkan CCTV untuk mengungkap kasus penembakan yang terjadi saat kerusuhan 22 Mei 2019.

Masih Sulit Ungkap TKP Penembakan 22 Mei, Polri Bisa Pakai CCTV DKI
Sejumlah personel kepolisian menahan kembang api dengan tameng yang ditembakkan oleh massa aksi saat terjadi bentrokan di kawasan Slipi Jaya, Jakarta, Rabu (22/5/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mempersilakan Polri untuk mengakses rekaman kamera pengawas atau CCTV milik pemprov untuk mengusut kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei 2019. Akan tetapi, polisi belum memanfaatkan CCTV itu untuk mengungkap kasus yang hingga kini masih samar.

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra mengatakan pihaknya memang bekerja sama dengan Pemprov DKI soal akses rekaman kamera pengawas.

“Sedang bekerja sama untuk mengumpulkan CCTV yang ada, sedang dipelajari,” kata dia saat dikonfirmasi reporter Tirto, di kantor Bareskrim Mabes Polri, Selasa (18/6/2019).

Dalam konteks ini, Pemprov DKI memiliki ribuan CCTV yang merupakan kerja sama Polda dan DKI pada zaman mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. CCTV ini banyak diletakkan di Halte TransJakarta dan sejumlah persimpangan.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Bekto Suprapto berpendapat salah satu cara mengetahui kejadian perkara adalah dengan melihat bukti rekaman kamera pengawas, meski CCTV itu bukan satu-satunya cara untuk menentukan tempat kejadian perkara.

Bekto menyatakan tawaran Gubernur Anies adalah itikad yang baik dan harus diapresiasi. Bekto berkata, berdasarkan penjelasan tim investigasi yang melakukan penyelidikan kepada Kompolnas, tempat kejadian penembakan pada umumnya ada di tempat kerusuhan daerah Petamburan.

“Lebih baik kalau tawaran rekaman CCTV milik Pemprov atau milik siapapun yang ada di lokasi kerusuhan daerah Petamburan. Kami beri kesempatan kepada penyidik Polri yang memang ahli dalam penyidikan untuk menentukan tempat kejadian, yang terpenting adalah menentukan siapa yang melakukan penembakan,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (18/6/2019).

Penentuan itu, kata Bekto, dilakukan dengan ilmu forensik yang ada.

Scientific crime investigation jauh lebih penting dari pendapat siapapun. Dari mana diketahui kalau polisi tidak [mengakses] memakai CCTV? CCTV yang dibutuhkan adalah yang ada di tempat kejadian. Kalau ada, di lokasi kejadian sangat bagus sekali,” ujar Bekto.

Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS), Bambang Rukminto menyatakan polisi berwenang menggunakan peralatan keamanan berbagai pihak, termasuk CCTV milik Pemprov DKI Jakarta.

“Ada Peraturan Kapolri Nomor 24 Tahun 2007 tentang sistem manajemen pengamanan, mengatur soal device (peralatan pengamanan), diantaranya pengguna dan penyedia CCTV,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (18/6/2019).

Menurut dia, penggunaan rekaman kamera pengawas, untuk mengungkap TKP korban penembakan, dimungkinkan selain memanggil para saksi mata. Bambang menyatakan untuk menyingkap motif dan modus penembakan dari aksi kerusuhan memang tak gampang. Menurut dia, hal itu adalah kewajiban yang mesti dilakukan kepolisian dengan profesional.

Jika Polri sudah mengakses rekaman kamera pengawas, tapi tidak diungkapkan ke masyarakat, kata Bambang, maka itu beda urusan.

“Saya kira tidak semua proses penyelidikan harus diungkap ke publik dan saat ini masih proses penyelidikan. Tapi polisi tak bisa santai untuk membuka hasil penyelidikan karena sudah ditunggu publik,” jelas Bambang.

Ia berpendapat suatu keanehan bila polisi tak bisa mengetahui TKP. Sebab, saksi mata bisa dipanggil dan diperiksa, rekaman CCTV bisa langsung diakses karena ada kewenangan.

“Bahwa TKP sudah tidak steril dan rusak, itu bukan persoalan utama. Masih ada uji balistik, uji forensik, autopsi dan lainnya, selain saksi mata yang bisa digunakan untuk penyelidikan,” tutur Bambang.

Staf Biro Penelitian, Pemantauan dan Dokumentasi KontraS, Rivanlee Anandar mempertanyakan polisi yang belum memanfaatkan CCTV itu. Sebab, belum diaksesnya rekaman kamera pengawas dapat memperlambat pengusutan perkara.

“DKI Jakarta punya ribuan CCTV, kenapa tidak diakses dan kenapa polisi memilih mempublikasikan secara cepat soal pembagian amplop? Ini ada upaya membenturkan polisi dengan massa,” kata Rivanlee ketika dihubungi reporter Tirto.

Rivanlee menilai bisa jadi polisi takut ketahuan jika penembak korban dan penganiayaan terhadap massa ialah dari pihak mereka. Selain itu, Rivanlee menyatakan kalau rekaman kamera pengawas itu dapat membantu pendalaman penyidik untuk menuntaskan perkara, tapi polisi jangan ‘memilih titik CCTV.’

“Kalau memilih titik tertentu [lokasi kerusuhan], seperti ada upaya menunjukkan kalau titik tersebut ialah titik massa yang melakukan kekerasan terhadap polisi,” kata dia.

Rivanlee mengatakan, kemungkinan besar polisi sudah mengetahui lokasi penembakan dan penemuan korban tewas. Analisis ini, kata dia, berdasarkan keterangan keluarga korban yang telah didatangi oleh pihak KontraS. Keluarga korban pun, kata dia, telah disambangi polisi dengan dalih pendalaman kerusuhan.

Menurut Rivanlee, kalau polisi masih menutupi soal rekaman kamera pengawas, artinya ada upaya mempersulit pengusutan perkara.

“Buka akses seluruh CCTV berdasarkan peristiwa kerusuhan. Hal ini juga berlaku untuk lembaga pengawas eksternal seperti Komnas HAM dan Kompolnas,” ujar Rivanlee.

Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI 2019 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz