Menuju konten utama

Masih Banyak Negara yang Membebaskan Pemerkosa

Jurus penjahat seksual di banyak negara termasuk Indonesia: memperkosa, lalu mengawini korban.

Masih Banyak Negara yang Membebaskan Pemerkosa
Ilustrasi. FOTO/Istimewa

tirto.id - Perkosaan—juga seks terhadap anak-anak—kerap tidak dilihat sebagai kejahatan ketika pelaku menikahi korbannya. Contohnya adalah yang terjadi di Sorong, Papua Barat, Mei tahun lalu. Seorang pria yang diduga memperkosa gadis berusia 14 tahun tak diproses hukum lantaran pihak korban dan pelaku bersepakat menyelesaikan kasus itu melalui jalur kekeluargaan.

Kedua pihak bersetuju untuk tidak memperkarakan kasus dugaan perkosaan ini, asalkan pelaku berinisial AN bersedia menikahi korban MW, yang masih tercatat sebagai siswi SMP. Kepolisian, katanya, menduga persenggamaan terhadap gadis berusia 14 tahun itu tidak mengandung unsur paksaan, melainkan seks suka-sama-suka.

Kasat Reskrim Polres Sorong Kota AKP Dodi Pratama menyatakan pihaknya tak akan melanjutkan perkara ini karena pihak keluarga hendak menyelesaikan perkara ini sendiri. "Kepolisian pun tidak akan bertanggung jawab jika satu saat pelaku pergi meninggalkan si korban," kata Dodi seperti dikutip Antara.

Baca juga:

Ini bukan pertama kali pemerintah Indonesia melalui aparat hukumnya membiarkan terduga pelaku perkosaan menikahi korbannya. Selain di Sorong, kejadian serupa juga terjadi pada Februari 2015 di Bintan, Kepulauan Riau. Korban yang saat itu merupakan siswi SMP di Bintan, hamil setelah dicabuli oleh dua pelaku. Salah satu pelaku yang kemudian menikahinya menyebut bahwa ia memperkosa korban sebanyak dua kali sampai akhirnya hamil.

Berita tentang pelaku pemerkosaan yang menikahi korbannya ini pernah diprotes oleh aktivis dan komposer perempuan Soe Tjen Marching. Judul pemberitaan pernikahan ini diberi judul “Mengharukan, Pemerkosa Menikahi Korbannya di Masjid Polres." Alih-alih memproses terduga pelaku perkosaan, aparat di Indonesia malah mengizinkannya untuk mengawini korbannya. Dan media pun memakai kata "mengharukan" untuk preseden semacam itu.

UNICEF menyebut satu dari sepuluh anak perempuan di seluruh dunia mengalami perkosaan atau jadi korban kejahatan seksual. Menurut lembaga PBB ini, kejahatan perkosaan adalah epidemi global yang ancamannya diabaikan oleh pemerintah dunia.

Laporan UNICEF ini seiring dengan data WHO yang memperkirakan tujuh persen perempuan dewasa di seluruh dunia yang jadi korban kejahatan seksual tidak mendapatkan perlindungan atau hukum yang adil. Mereka terus dibuat kecewa oleh sistem perundang-undangan yang ada.

Namun, kabar baik datang dari Yordania. Negara ini akhirnya menghapus aturan kontroversial yang banyak dipakai sebagai dasar untuk mengampuni para pemerkosa, yakni Pasal 308 Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam pasal itu, pelaku perkosaan di Yordania akan menerima pengampunan jika menikahi korban dan tinggal bersamanya selama lima tahun. Negara itu sempat terbelah karena pendukung pasal pernikahan pemerkosa menilai aturan itu dimaksudkan untuk menghormati para korban kasus perkosaan.

Sepanjang 2010 hingga 2013, ada 159 pemerkosa di negara itu yang dibebaskan karena aturan ini. Hibaaq Osman, ahli strategi politik global dari Somalia, menyebut aturan untuk menikahi korban perkosaan bisa dilacak hingga masa kekuasaan Ottoman. Namun, secara kritis ia menyebut undang-undang itu bukan produklah Islam, melainkan produk kolonial penjajah.

Nyaris semua negara dengan mayoritas penduduk muslim yang pernah dijajah Perancis memiliki aturan serupa, seperti halnya di Lebanon dan Tunisia. Negara-negara di Timur Tengah dan Afrika itu kini sedang berusaha keras untuk menghapus pasal yang membebaskan pelaku kejahatan seksual jika mereka menikahi korbannya.

Keputusan Yordania untuk menghapus undang-undang yang memperbolehkan pernikahan antara pelaku pemerkosaan dan korbannya menjadi angin segar. Setidaknya ketika kabar ihwal penghapusan Pasal 308 dalam rapat kabinet Yordania itu muncul, hari Minggu (23/04) lalu, negara-negara seperti Lebanon bekerja keras untuk menghapus pasal serupa.

Kementerian perempuan Lebanon bahkan menyebut aturan pernikahan dengan pemerkosa itu sebagai hukum produk zaman batu.

Infografik Menikahi pemerkosa

Dalam laporan Equality Now, "Rape Law Report 2017," disebut bahwa Indonesia masih masuk ke dalam kategori 82 negara di dunia yang ramah terhadap pemerkosa. Di Indonesia, seorang suami tidak akan dijerat hukum jika memperkosa istrinya. Pada banyak kasus, pelaku pemerkosaan yang menikahi korbannya tidak akan dihukum dan diselesaikan secara kekeluargaan. Untuk praktik ini, Indonesia setara dengan Ghana, India, Lesotho, Nigeria, Oman, Sri Lanka, dan Tanzania.

Di Malaysia anggota parlemen bernama Shabudin Yahaya menjadi bahan kecaman dunia saat ia menyebut bahwa korban perkosaan lebih baik menikah dengan pelakunya. Tidak cukup sampai di situ, ia juga menyebut bahwa anak perempuan berusia sembilan sampai 12 tahun sudah siap secara fisik untuk menikah. Di Malaysia, ucapan Yahaya ini dianggap sebagai usaha melegalkan perkosaaan.

Menurut Anggara Suwahju, peneliti senior dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), meski kasus perkosaan di bawah umur adalah delik biasa—bukan aduan—pada praktiknya banyak pelaku perkosaan bebas karena keluarga korban mencabut laporan atau karena si pelaku menikahi korbannya.

“Ya ini karena paradigma berpikir masyarakatnya. Mereka masih berpikir korban perkosaan itu hina sehingga takut tidak ada yang mau [menikahi korban],” katanya.

Anggara menilai sejauh ini masih belum ada sistem hukum yang berpihak pada korban perkosaan. Ia menilai ada celah yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan seksual. Di Indonesia, hanya sedikit sekali kasus perkosaan yang berujung pada penghukuman pelaku. Kebanyakan kasus berhenti di tengah jalan atau tidak dilaporkan sama sekali.

Untuk itu, menurutnya, harus ada payung hukum yang fokus pada korban. Misalnya pendampingan trauma, tempat perlindungan korban, dan juga lembaga yang membantu proses pemulihan pasca-pemerkosaaan.

Korban perkosaan kerap kali mendapatkan perlakuan berbeda dari korban kejahatan yang lain. Mereka yang diperkosa kerap dipojokkan dan diminta membuktikan bahwa mereka diperkosa sebelum kasusnya diproses. Di Indonesia, kata Angga, pemerkosaan kerap ditilik sebagai persoalan moral. Korban dianggap ambil bagian dalam kejahatan itu. Mereka, misalnya, kerap disalahkan karena memakai pakaian terbuka atau berjalan di tempat sepi.

Akhirnya mereka kerap tidak dimanusiakan. “Kadang korban perkosaan itu dipertemukan. Mereka bisa saja duduk bersebelahan dengan pelaku. Ini, kan, menimbulkan trauma,” kata Anggara.

Laporan dari Equality Now, Rape Law Report 2017 menyebut setidaknya ada 15 negara yang menganggap kasus perkosaan bukan isu hukum, melainkan isu moralitas. Negara-negara itu antara lain Afganistan, Belgia, Cina, India, Indonesia, Yordania, Luksemburg, Belanda, Nigeria, Pakistan, Palestina, Peru, Singapura, Taiwan, dan Yaman. Kerap kali, perempuanlah yang dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya kasus pemerkosaan.

Baca juga artikel terkait PERKOSAAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani