Menuju konten utama

Masih Amankah Boeing 737 Max Setelah Rentetan Kecelakaan?

Usai dilarang terbang, Boeing 737 Max seharusnya aman. Tapi, seaman apa?

Masih Amankah Boeing 737 Max Setelah Rentetan Kecelakaan?
Puluhan pesawat Boeing 737 MAX yang dilarang terbang terlihat terparkir di Bandara Internasional Grant County di Moses Lake, Washington, Amerika Serikat, Selasa (17/11/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Lindsey Wasson//hp/cfo

tirto.id - Pada 1 Desember 2010, langit Eropa dan Amerika Serikat berbeda rupa. Bukan karena fenomena alam, tapi karena produsen pesawat yang dibangun atas kolaborasi beberapa negara Eropa, Airbus, mengangkasakan produk baru: Airbus A320neo, versi terbaru dari keluarga A320, yang memiliki ukuran mesin lebih besar dan lebih efisien, yakni mesin CFM LEAP berukuran 78-inci atau Pratt Whitney 81-inci.

Versi mutakhir A320 tersebut menarik minat American Airlines, yang pada Juli 2011 akhirnya berjanji untuk memesan 200 unit A320neo.

Boeing, produsen pesawat asal AS, kesal atas kelahiran A320neo. Kemunculan A320neo dan tingginya minat yang ditunjukkan American Airlines dapat mematikan bisnis Boeing. Terlebih dengan semakin menjamurnya maskapai dengan konsep bisnis low-cost carrier, yang salah satu strateginya memilih menggunakan satu jenis pesawat saja--seperti Air Asia yang hanya menggunakan Airbus A320 atau Southwest Airlines yang hanya memilih 73.

Walhasil, tak lama usai American Airlines menyatakan ketertarikannya pada A320neo, Boeing mengumumkan rencana menciptakan pesawat baru, atau lebih tepatnya memodernisasikan produk unggulan Boeing 737--yakni 737-800--menjadi Boeing 737 Max. Pesawan yang terakhir disebut ini diyakini Kevin McAllister, yang kala itu menjabat Chief Executif Commercial Airplanes of Boeing, "akan mengubah rupa pasar pesawat single-aisle (lorong tunggal)".

Dominic Gates, dalam laporannya untuk The Seattle Times, media yang bermarkas di kota yang juga didiami Boeing, menyatakan bahwa Max akan menggunakan mesin yang lebih bertenaga dan lebih efisien sebagaimana A320neo. Max akan menggunakan mesin yang memiliki kipas berukuran 68 inci, lebih besar dibandingkan versi terdahulu dari 737 yang hanya memiliki ukuran kipas sebesar 61 inci. Mesin tersebut didesain spesial oleh CFM International.

Jika dibandingkan dengan A320neo, ukuran mesin pada Max masih jauh lebih kecil. Namun, menurut John Hamilton, pimpinan proyek 737, ukuran mesin bukanlah segalanya dan rancang desain Max jauh lebih ringan dibandingkan A320neo. Hamilton yakin rancangan ini akan mampu menghasilkan angka operasional yang lebih rendah. Max, tutur Hamilton, lebih irit 7 persen secara hitung-hitungan bisnis dibandingkan A320neo dan lebih murah 4 persen pada ongkos bahan bakar yang diperlukan.

Masalahnya, karena dibangun dari ruh 737, penciptaan Max menghadirkan masalah teknis bagi Boeing, khususnya untuk memasang mesin yang jauh lebih besar. 737 memiliki rasio tinggi ke tanah yang lebih kecil dibandingkan A320. Tak ada masalah ketika A320 dipasangi mesin yang lebih besar nan bertenaga. Tapi 737 berbeda. Agar proyek Max terwujud, Boeing memasang mesinnya lebih tinggi dibandingkan sayap.

Juru bicara Airbus Mary Anne Greczyn ragu dengan keputusan teknis yang dilakukan Boeing. Mathukumalli Vidyasagar, dosen Teknik Elektronik pada IIT Hyderabad dan Unversity of California at San Diiego, menyuarakan hal serupa. Menurut Vidyasagar, angle of attack akan berubah ketika mesin yang lebih besar ditempatkan sedikit lebih tinggi dibandingkan sayap tanpa mengubah rancang-bangun.

Angle of attack adalah sudut tempat bertemunya udara dengan garis acuan pada pesawat atau sayap. Secara teknis, angle of attack dipengaruhi oleh gravitasi pesawat. Untuk memperoleh angle of attack yang pas, teknisi harus memikirkan pendistribusian seluruh gaya dan beban yang dimiliki pesawat ke titik yang tepat--persis seperti ketika kita menautkan benang pada layang-layang. Titik yang tepat tersebut adalah gaya angkat (lift) yang harus berada di belakang pusat gravitasi pesawat. Dengan hukum ini, pesawat akan memperoleh angle of attack yang besar nan stabil. Dengan dorongan mesin (thrust), pesawat akan mampu terbang dengan aman.

Penampatan mesin yang sembrono ala Max menghancurkan angle of attack. Jika dipaksakan, hidung pesawat Max akan lebih mudah naik dalam posisi take-off. Sialnya, alih-alih mengubah rancang pesawat, Boeing memecahkan masalah angle of attack melalui software bernama Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), yang dibuat dengan sistem alih-daya oleh programer India dengan upah USD 9 per jam.

Vidyasagar akhirnya menyebut bahwa melalui Max, "teknisi-teknisi Boeing untuk pertama kalinya di dunia sukses membangun pesawat paling tidak stabil saat take-off."

Singkat cerita, karena kesembronoan Boeing (dan juga FAA, lembaga sertifikasi pesawat di Amerika Serikat), pada Oktober 2018 dan Maret 2019, pesawat bermaskapai Lion Air dan Ethiopian Airlines jatuh, masing-masing menewaskan 189 dan 157 jiwa. Tak lama usai pesawat Ethiopian Airlines jatuh, otoritas penerbangan di berbagai negara melarang Max mengangkasa.

Waktu berlalu. Sebagaimana dilaporkan Niraj Chokshi untuk The New York Times, Federal Aviation Administration (FAA) akhirnya mengizinkan Max kembali terbang di pertengahan November ini setelah dilarang terbang 20 bulan.

Pertanyaannya: amankah?

Kecelakaan Adalah "Biaya" Menyempurnakan Pesawat

"Ketertarikan kami pada pesawat mengakar sejak usia dini," tulis Orville Wright dan Wilburg Wright dalam buku berjudul Early History of The Airplane. "Pada musim gugur 1878, ayah kami pulang dan membawa hadiah. Belum juga ia menyerahkan hadiah itu, ayah menerbangkan 'benda' itu. 'Benda' yang akhirnya melayang tetapi kemudian jatuh ke teras rumah".

'Benda' yang dimaksud Wright bersaudara ini adalah helicoptere, semacam mainan pesawat yang menurut mereka "hanya sebentar kami sentuh, tetapi kenangannya abadi dalam ingatan".

Sejak dibelikan helicoptere itulah Wright bersaudara meniti jalan untuk menciptakan versi sungguhan mainan tersebut. Akunya, Wright bersaudara lalu melakukan studi-studi mendalam soal aerodinamik, semisal dengan membaca buku berjudul Progress in Flying Machines (1894) karya Octave Chanute, Experiments in Aerodynamics (1891) karya Samuel Langley, hingga menghadiri konferensi seperti Aeronautical Annuals pada 1905, 1906, dan 1907.

Eksperimen menghadirkan pesawat sungguhan ala Wright bersaudara sendiri dimulai pada Oktober 1900. Kala itu, di wilayah bernama Kitty Hawk, North Carolina, AS, mereka merancang pesawat yang dapat terbang selayaknya layang-layang, yang butuh angin berkecepatan 24 hingga 32 kilometer per jam. Yang jelas, dalam Early History of The Airplane, Wright bersaudara mengakui bahwa menciptakan pesawat bukanlah pekerjaan yang sederhana. Bukan semata tentang usaha manusia untuk mengakali alam agar suatu benda terbang, tetapi juga soal nyawa. Idola mereka, Otto Lilienthal dan Octave Chanute, tewas dalam usaha menciptakan pesawat.

Singkat kata, kecelakaan merupakan hal biasa dalam dunia dirgantara dan kerap disebut sebagai "biaya" (cost).

Teknisi Boeing M. L. Olason, dalam studinya berjudul "Aerodynamic Design Philosophy of the Boeing 737" (2012), menyatakan bahwa versi terawal Boeing 737 punya banyak masalah terkait rancang-bangun. "737 merupakan pesawat kecil bermesin dua yang dirancang untuk beroperasi di landasan pacu yang pendek dan daya jelajah yang relatif pendek."

Sebelum 737, Boeing memiliki 707, pesawat besar dengan empat mesin. Tatkala Boeing memulai program 737 pada 1960-an, dengan rupa yang kecil, tulis Olason, "aerodinamik merupakan tantang terbesarnya". Maka, untuk mengakali masalah aerodinamik yang berbeda dibandingkan 707, Boeing menciptakan swept wing (sayap yang miring ke belakang) lebih kecil 10 derajat dibandingkan 707, tetapi memiliki rasio ketebalan sayap yang lebih besar 20 persen dibandingkan 707.

Tak ketinggalan, jika mesin pada 707 dipasang pada modul khusus berbentuk T (T-tails) yang condong sedikit ke bawah dan sedikit ke depan dari sayap, 737 memasang mesinnya persis di bawah sayap. Lalu, untuk menciptakan gaya angkat (lift) yang cukup, 737 menciptakan sistem flap.

Infografik Boeing 737 max

Infografik Boeing 737 max

Karena memiliki "biaya" yang harus ditanggung, serentetan kecelakaan yang dialami 737 tak bisa diingkari. Tercatat, pesawat United Airlines berkode penerbangan 61 yang terbang pada 19 juli 1970, alias tiga tahun semenjak 737 mulai mengangkasa, menjadi "biaya" pertama yang harus ditanggung Boeing untuk 737. Kala itu, mesin nomor 1 yang terletak di sisi kiri rusak. Dua tahun berselang, dalam penerbangan United Airlines berkode 553, 737 jatuh tak jauh dari Midway Airport, Chicago, AS. Pesawat tersebut jatuh karena kegagalan mekanis.

Tunggu, kenapa kecelakaan disebut "biaya"? Bagi dunia kedirgantaraan, kecelakaan merupakan ongkos untuk menyempurnakan pesawat. Kecelakaan adalah momentum yang mengharuskan para teknisi berpikir lebih keras untuk membuat pesawat terbang jauh lebih aman.

Dalam sejarahnya, penyempurnaan selalu datang setelah kecelakaan menimpa pesawat. Pada 1989, Boeing 747 milik United Airlines, dalam penerbangan berkode 811, mengalami kecelakaan ketika hendak menuju Auckland, Selandia Baru, dari Honolulu, Hawaii, AS. Kecelakaan itu bermula dari ledakan di pintu kargo pesawat. Usai diselidiki, ledakan terjadi karena adanya gangguan tekanan yang berasal dari hancurnya kunci pintu kargo. Kala itu, kunci kargo pesawat menggunakan kunci geser--yang mungkin mirip kunci di rumah Anda. Usai kecelakaan, teknisi pesawat langsung menciptakan sistem kunci yang baru untuk pintu-pintu pesawat.

Pada 1998, pesawat McDonnell Douglas MD-11 milik Swissair jatuh ke Samudera Atlantic setelah kebakaran. Usai diselidiki, kebakaran terjadi karena material-material interior yang digunakan memang mudah terbakar. Otoritas penerbangan di seluruh dunia lalu memerintahkan pabrikan pesawat mengganti material dengan yang sukar terbakar.

Cukup banyak pesawat mengalami kecelakaan karena faktor yang sama. Misalnya pesawat de Havilland DH.110 yang terbang pada 1952 di Farnborough Airshow, pesawat Douglas DC-6 bercat National Airlines 470 yang mengangkasa pada 1953, serta pesawat de Havilland Comet yang digunakan maskapai BOAC untuk penerbangan bernomor 781, dan maskapai South African Airways bernomor 201. Keempatnya mengalami kecelakaan karena kegagalan struktural, yakni retakan pada tubuh pesawat. Kelak mantan presiden Indonesia B.J. Habibie menemukan teori yang dapat memprediksi retakan pada tubuh pesawat.

Jelas, kecelakaan tak hanya urusan kegagalan teknis. Pada juni 1982, misalnya, British Airways bekode 9 mengalami kecelakaan di langit Indonesia ketika hendak menuju Auckland, Selandia Baru. Untungnya, kecelakaan tak berakibat fatal karena pilot berhasil mendaratkan pesawat. Usai diusut, kecelakaan terjadi karena kala itu, Gunung Galunggung meletus dan memuntahkan debu ke angkasa. Debu letusan gunung berapi kemudian diketahui sangat berbahaya bagi mesin pesawat, karena ketika masuk mesin dan menurunkan suhu, debu dapat mengeras dan mematikan pesawat.

Pada Desember 1995, penerbangan American Airlines 965 mengalami kecelakaan karena otoritas setempat memilih menggunakan kode jalur pesawat yang membingungkan. Usai kecelakaan, kode-kode jalur pesawat distandarisasi.

Pesawat Aeroflot 593 mengalami kecelakaan pada 1994 di langit Rusia. Pasalnya, sang pilot mengizinkan anaknya duduk di kursi pilot. Sejak itu otoritas penerbangan dunia melarang siapapun, selain pilot, masuk ke cockpit.

Boeing 737 Max, yang dilarang terbang selama 20 bulan, sudah semestinya belajar dari kesalahan yang dibuatnya, seperti kisah-kisah kecelakaan di dunia penerbangan lainnya. Ketika Max telah diizinkan kembali terbang, Max seharusnya sudah jauh lebih aman. Semoga.

Baca juga artikel terkait BOEING 737 MAX atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf