Menuju konten utama

Masih Adakah Masa Depan untuk Chapecoense?

1949. 1958. 1960. 1979. 1987. 1993. Dan kini 2016. Dulu Torino. Manchester United. Tim nasional Denmark. Alianza Lima. Colorful 11. Timnas Zambia. Dan kini Chapecoense.

Masih Adakah Masa Depan untuk Chapecoense?
Lokasi puing-puing pesawat yang jatuh di daerah pegunungan di luar Medellin, Kolombia, Selasa, 29 November 2016. Pesawat itu membawa klub divisi sepakbola pertama tim Chapecoense Brasill untuk bertandi di final Copa Sudamericana melawan Atletico Nacional. AP Photo/Luis Benavides

tirto.id - Narasi kelam dalam sejarah sepakbola itu terus berulang. Terkadang masa depan memang repetisi dari masa lalu.

Sebuah pesawat sipil komersial yang mengangkut 81 penumpang telah jatuh di dekat kota Medellin, Kolombia, kemarin. Menurut polisi 75 orang tewas, 6 penumpang sisanya mendapat keajaiban hingga bisa bertahan hidup, walaupun kondisi mereka kini tengah kritis. Bagi dunia sepakbola, kecelakaan ini menorehkan luka mendalam karena mayoritas korban adalah bagian dalam tim sepakbola, Chapecoense.

Kepergian Chapecoense ke Medellin untuk menjalani leg-pertama partai final Piala Sudamericana. Ini adalah prestasi terbesar sepanjang klub berdiri sejak 1973. Chapecoense adalah klub antah-berantah. Mereka lebih banyak berkutat di Liga Brasil kasta rendahan, serie C atau Serie D.

Setelah 15 tahun berkecimpung di liga rendah, baru pada 2014 lalu Chapecoense kembali ke kasta tertinggi Serie-A. Tapi tetap saja, ada di top level posisi mereka tetap di papan bawah, untungnya selama dua musim berjalan Chapecoense tidak terdegradasi.

Dan keajaiban itu pun terjadi pada musim ini. Chapecoense menjelma seperti Leicester City dari Brazil. Mengulang tuturan sebagai klub liliput yang berdiri congkak menantang para raksasa. Di kompetisi domestik, Chapecoense sukses merangsek ke papan tengah, tinggal menyisakan satu laga lagi, tim berkostum hijau-hijau ini duduk di peringkat 9.

Di kompetisi kontinental Piala Sundamericana - yang statusnya mirip Europa League di Eropa, Chapecoense pun secara mengejutkan melenggang mulus sampai babak final. Untuk sampai ke sana, lawan-lawan raksasa macam dua klub Argentina, Independiente dan San Lorenzo, serta klub besar Kolombia, Junior FC sukses mereka singkirkan.

Wajar jika babak final melawan Atletico Nasional disambut sukacita oleh elemen penduduk kota Chapecó – sebuah kota metropolitan kecil ibukota negara bagian Santa Catarina yang terletak di selatan Brazil.

Aeronautica Civil melansir hampir seluruh penumpang adalah mereka yang berkaitan dengan klub Chapecoense. Dalam pesawat naas tersebut selain membawa 22, ada pula pelatih, official tim dan pejabat tinggi klub seperti direktur dan para pemilik klub berjumlah 28 orang.

Infografik Kecelakaan Pesawat Dalam Sepakbola

Kiprah Chapecoense, tim bayi ajaib yang bertransformasi jadi tim pemangsa raksasa membuat awak media tertarik terhadap mereka. Tercatat 22 jurnalis dari media lokal dan nasional ikut dalam rombongan itu.

Chapecoense kini adalah klub yang hanya sebatas nama. Hampir seluruh bagian tim tewas dalam kecelakaan ini. Tidak ada pemain inti yang selamat. Tiga pemain yang selamat yakni lan Luciano Ruschel, kiper Jakson Ragnar Follmann dan Marcos Danilo Padilha hanyalah pemain cadangan. Meski selamat tak ada jaminan merekapun bisa kembali bermain. Alhasil, Chapecoense kini tinggal menyisakan 16 pemain yang mayoritas adalah anak-anak muda.

Dalam setiap kisah tragis, selalu memunculkan rasa iba. Tidak hanya sekadar berbela sungkawa namun juga dengan aksi nyata.

Sadar bahwa Chapecoense kehilangan sebagian besar pemainnya, klub-klub di Amerika Selatan ramai-ramai mengulurkan bantuan. Atletico Nacional misalnya, mereka mengusulkan kepada COMMEBOL agar memberikan gelar Copa Sudamericana untuk diberikan ke Chapecoense, tanpa harus bertanding.

Sejumlah klub top Brasil menawarkan bantuan, mulai dari Corinthians, Santos, dan Palmeiras, ramai-ramai akan memberikan peminjaman pemain cuma-cuma bagi Chapecoense untuk mengarungi musim 2017 nanti.

Tim-tim Brazil pun kini meminta federasi sepakbola mereka untuk memberikan perlakukan khusus pada Chapecoense dengan mengamankan posisi mereka di Serie-A selama tiga musim berturut hingga 2020 nanti. Alhasil, meski ada finish di zona merah sekalipun, Chapecoense tidak akan degdradasi. “Ini adalah momen untuk persatuan, dukungan dan kehadiran kami bagi Chapecoense,” ucap rilis gabungan klub itu dikutip dari Soccerway.

"Ini adalah gerakan solidaritas minimal yang bisa kamu lakukan. Dilakukan dengan tujuan paling tulus membangun kembali sepakbola Brazil”

Bagi Chapecoense ini bukanlah akhir dari segalanya. Narasi mereka sama seperti apa yang dialami Manchester United dan Torino pada dekade 40-50an.

Pada dekade 40-an, United bukanlah tim yang begitu dipandang. Sang Manajer, Matt Busby melakukan perombakan secara fundamental, dia memfokuskan pembinaan jadi kunci utama membangun tim. Alhasil munculah sebuah era kejayaan para pemain muda yang lazim disapa The Busty Babes. United pun menjadi digdaya pada kompetisi lokal dan kontinental pada dekade 50-an.

Petaka datang pada 6 Februari 1958. Sepulang melakoni pertandingan Liga Champions di Belgrade, pesawat yang mereka tumpangi jatuh di bandar udara Munich Jerman. Delapan penggawa The Busti Babes tewas akibat kejadian ini, termasuk sang pelatih kepala Bert Whalley. Tragedi Munich 1958 adalah sejarah terkelam bagi United. Plakat jam penanda waktu kecalakaan terjadi kini terpajang abadi di Stadion Old Trafford.

Jika Inggris punya Traget Munich 1958, maka Italia punya kisah muram Tragedi Superga. Kecelakaan pesawat ini menimpa tim Torino yang baru saja pulang dari Lisbon melakukan laga ujicoba dengan Benfica. Torino kala itu adalah banteng yang menyeramkan, lebih sangar ketimbang si kuda zebra sang tetangga Juventus. Torino kala itu menyandang juara bertahan 5 musim bertutut!

Naas bagi Torino sepulan dari Lisbon, Cuaca buruk yang terjadi kala itu membuat pesawat mereka mengalami kecelakaan tragis dan menghantam dinding batu di bukit Superga. Semua penumpang tewas termasuk 18 pemain dan seluruh staff pelatih.

Pasca dua kejadian tragis ini, Torino dan United memilih jalan berbeda. Tragedi Munich 1958 memang membuat United kalap selama beberapa tahun, terseok-seok di papan bawah, namun mereka berhasil bangkit dan melupakan kejadian buruk itu. Lain hal dengan Torino, yang dimana sampai sekarang mereka masih berkutat dengan kenangan kejayaan di masa lampau.

Sesudah gelap memang selalu ada jalan terang, namun semua itu tergantung Chapecoense untuk memasuki fase sejarah yang baru.

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN PESAWAT CHAPECOENSE atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan