Menuju konten utama
Kasus Pembunuhan Brigadir J

Masih Ada 'Kabut' dan Ruang Abu-Abu dalam Sidang Ferdy Sambo

Hibnu khawatir ada potensi kasus tidak akan terang benderang karena dakwaan tidak jelas dalam merunut perkara.

Masih Ada 'Kabut' dan Ruang Abu-Abu dalam Sidang Ferdy Sambo
Terdakwa Ferdy Sambo tiba untuk menjalani sidang dakwaan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat serta “obstruction of justice” atau menghalangi proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (17/10/2022). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.

tirto.id - “Cepat woi kau tembak!”

Potongan kalimat itu diungkapkan eks Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo saat memerintahkan Bharada Richard Eliezer untuk menembak Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang ditirukan jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin pagi, 17 Oktober 2022.

Saat sidang perdana tersebut, JPU membacakan surat dakwaan Ferdy Sambo sebanyak 96 halaman dengan fokus dua tindak kejahatan, yaitu: proses pembunuhan Brigadir Yosua serta upaya Sambo dalam menutupi kejadian penembakan.

Dalam proses pembunuhan Yosua, JPU memaparkan sedikit kejadian di rumah Sambo yang berada di Magelang, Jawa Tengah pada 7 Juli 2022 atau sehari sebelum pembunuhan dilakukan. Di sana, jaksa hanya menyebut ada keributan antara orang kepercayaan Sambo, yaitu Kuat Maruf dengan Yosua.

Istri Sambo, Putri Candrawathi lantas menghubungi ajudannya Richard Eliezer untuk kembali ke rumah. Begitu tiba, Putri meminta Richard memanggil Yosua dan keduanya sempat berada di kamar dalam kurun waktu selama 15 menit berduaan.

“Setelah itu, korban Nofriansyah Yosua Hutabarat keluar dari kamar, selanjutnya saksi Kuat Maruf mendesak saksi Putri Candrawathi untuk melapor kepada terdakwa Ferdy Sambo SH SIK MH dengan berkata 'ibu harus lapor bapak, biar di rumah ini tidak ada duri dalam rumah tangga ibu', meskipun saat itu saksi Kuat Maruf masih belum mengetahui secara pasti kejadian yang sebenarnya,” kata jaksa saat membacakan dakwaan.

Pada 8 Juli 2022 dini hari, Putri pun melapor ke Sambo bahwa Yosua sebagai ajudan telah melakukan perbuatan kurang ajar kepadanya. Sambo marah setelah mendengar cerita Putri yang disebut sambil menangis.

Saat itu, Putri meminta Sambo untuk tidak menghubungi para ajudan. Putri pun meminta pulang ke Jakarta dan akan menceritakan segala peristiwa yang dialami di Magelang begitu sampai Jakarta.

Pada 8 Juli 2022 pagi, Putri bersama para ajudan pulang ke Jakarta dan tiba pada sore harinya. Dalam dakwaan disebutkan bahwa Sambo marah dan mulai merencanakan pembunuhan Yosua setelah mendengar cerita sepihak dari Putri tentang dugaan pelecehan seksual tersebut.

Sambo lantas memanggil Ricky Rizal dan menanyakan apakah berani menembak Yosua, tapi Ricky mengaku tidak berani. Namun, Ricky bersedia membantu segala tindakan yang diminta Sambo.

Sambo akhirnya menunjuk Richard Eliezer karena bersedia menembak Yosua. Pada akhirnya, di rumah dinas Sambo, Eliezer menembakkan 4 kali senjata dengan peluru 9mm ke tubuh Yosua, salah satunya di dada Yosua atas perintah Sambo.

“Woy! Kau tembak! Tembak cepat! Cepat woi kau tembak!" ujar Sambo sebagaimana ditirukan JPU.

Dari 3 atau 4 tembakan, satu tembakan dipastikan menembus paru-paru Yosua. Setelah penembakan tersebut, Sambo mendatangi korban dan menembakkan senjata ke bagian kiri kepala Yosua untuk memastikan sang ajudan meninggal dunia.

Dalam dakwaan juga, jaksa memaparkan bagaimana upaya Sambo meyakinkan sejumlah polisi bahwa kasus Putri adalah pelecehan seksual dengan terjadi tindakan tembak-menembak di rumah dinas.

Sambo juga memerintahkan sejumlah perwira Polri, yakni Hendra Kurniawan, Arif Rachman Arifin, Chuck Putranto, Baiquni Wibowo, Agus Nurpatria Adi Purnama, dan Irfan Widyanto untuk mengambil sejumlah CCTV dan merusak bukti pengungkapan pembunuhan Yosua.

Dalam persidangan, penasihat hukum Sambo tetap teguh bahwa ada upaya pelecehan seksual kepada Putri. Dalam pembacaan eksepsi, Senin (17/10/2022), tim kuasa hukum Sambo meyakini bahwa Yosua berusaha masuk ke kamar Putri yang tengah beristirahat.

“Tanpa mengucapkan kata apa pun, Nofriansyah Yosua Hutabarat membuka secara paksa pakaian yang dikenakan Putri Candrawathi," ujar kuasa hukum Sambo saat membacakan eksepsi.

Putri dinilai tidak berdaya saat digerayangi oleh Yosua karena sedang sakit. Saat itu, Putri merasa ketakutan dan menangis. Yosua pun sempat panik ketika mendengar langkah orang naik ke lantai dua dan meminta Putri mengenakan kembali pakaiannya.

Dalam eksepsi juga disebut bahwa Yosua mengancam Putri jika menceritakan kejadian tersebut ke Sambo. “Awas kalau kamu bilang sama Ferdy Sambo. Saya tembak kamu, Ferdy Sambo dan anak-anak kamu," ujar Yosua yang ditirukan tim kuasa hukum.

Masih Ada Kejanggalan

Meski dakwaan maupun eksepsi telah dibacakan pada sidang perdana, Senin kemarin, tapi masih ada sejumlah hal yang belum terang benderang, seperti motif hingga bentuk pelecehan yang membuat kasus pembunuhan terjadi.

Motif kasus pembunuhan Yosua masih abu-abu sejak Menkopolhukam Mahfud MD sempat menyinggungnya, tetapi tidak dijelaskan ke publik.

“Soal motif biar nanti dikonstruksi hukumnya karena itu sensitif, mungkin hanya boleh didengar oleh orang-orang dewasa. Biar nanti dikonstruksi oleh polisi apa sih motifnya,” kata Mahfud saat konferensi pers di Kemenkopolhukam, Selasa (10/8/2022).

Hal tersebut juga sempat menjadi sorotan Komisi III DPR. Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman bahkan mendorong Mahfud MD untuk menjelaskan motif yang menjadi sumber perdebatan di masyarakat saat itu.

“Motif ini pertanyaan, Pak, karena membuat orang bertanya-tanya. Ribut se-Indonesia ini karena motif, Pak. Motif inilah tembak-menembak, atau ditembak, pelecehan, segala macem,” kata Habiburokhman di Komisi III DPR RI.

Menjawab pertanyaan tersebut, Mahfud menegaskan dirinya tidak pernah menyampaikan mendapat bocoran motif pembunuhan. Ia juga membantah membocorkan motif mendahului Polri.

“Saya bilang soal motif saya tidak bisa jelaskan, di masyarakat sudah banyak ada pelecehan seksual, ada cinta segi-segian, ada pemerkosaan di Magelang. Saya tidak pernah dapat bocoran,” kata Mahfud kala itu.

Laporan Komnas HAM yang diserahkan ke pemerintah pun membuktikan secara terang bagaimana proses pembunuhan Yosua, tetapi tidak membuktikan soal motif hingga isu pelecehan seksual.

Mahfud malah mengingatkan pencarian motif bisa dilakukan atau tidak. Ia menuturkan, salah satu alasan hakim mencari motif demi mengetahui posisi pelaku sehat atau gila. Namun, Mahfud mengaku sudah meminta kepolisian menelusuri hal-hal berkaitan dengan hukum.

“Kadangkala, kan, hakim ingin tahu juga karena, kan, motif itu apakah pelakunya ini orang sehat atau orang gila, kan, gitu sehingga dicari motifnya. Kalau sudah tidak gila sebenarnya cukup, tapi mungkin apakah emosional atau terencana dan seterusnya itu terserah polisi," kata Mahfud.

“Itu kita serahkan ke polisi yang mengolah itu dan polisi, kan, tahu mana yang harus didalami, mana yang tidak. Saya juga sudah koordinasi dengan polisi tentang ini semua,” kata dia.

Motif dan Cerita Pelecehan Seksual Masih Abu-Abu

Ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho menduga, sejumlah isi dakwaan tidak lengkap seperti masalah kurang detailnya soal motif maupun cerita pelecehan seksual karena kurang lengkapnya keterangan dalam berita acara.

“Jadi kalau memang ada suatu ketidakjelasan, ya bisa jadi karena memang dari berita acara kurang. Contoh misalkan tadi kaitan dengan pelecehan seksual, seperti apa? Kan selama ini si korban nggak pernah memberikan informasi,” kata Hibnu kepada Tirto, Senin (17/10/2022).

Hibnu menilai, kekurangan informasi bisa membuat persidangan sulit yang bisa berujung memberatkan terdakwa. Sebab, suatu perkara pidana harus berbentuk terang sehingga upaya penegakan hukum optimal.

Ia khawatir ada potensi kasus tidak akan terang karena dakwaan tidak jelas dalam merunut perkara.

“Artinya menyulitkan sendiri konsep pelecehan seksual seperti apa karena sejak awal tidak diberikan secara terang benderang di dalam BAP yang kemudian akhirnya dalam dakwaan tidak jelas apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual,” kata Hibnu.

Hibnu menyebut persidangan masih panjang karena baru sebatas dakwaan. Dakwaan tersebut disandingkan dengan eksepsi dari terdakwa. Sebagai contoh, publik belum menemukan unsur pelecehan seksual dalam perkara Sambo.

Ke depan, kata dia, motif dan isu pelecehan seksual akan terungkap dan bentuk motif yang dimaksud dalam kejadian pembunuhan Yosua seperti apa. “Motif yang terjadi kayak harga diri, seperti apa juga tidak jelas disebutkan, hanya secara global,” kata dia.

Hibnu menambahkan, “Hukum itu harus detail, rigid sehingga dapat didefinisikan sebagai pelecehan seksual, dapat didefinisikan sebagai harga diri, menjatuhkan harga diri. Ini, kan, belum sehingga nanti ya motif itu agak kurang bernilai kalau dia seperti itu, makanya jaksa melihatnya dari aspek pembunuhan berencananya.”

Hibnu tidak memungkiri bahwa motif pelecehan seksual bisa muncul atau tidak dalam persidangan. Namun, ia memastikan kasus Sambo adalah pembunuhan berencana. “Motif itu nanti akan terlihat bisa meringankan atau bisa memberatkan di persidangan. Kejadian ini karena yang tidak jelas motifnya, tapi ada pembunuhan berencana,” kata Hibnu.

Hibnu menuturkan, motif yang tidak terlihat dalam dakwaan sebagai hal wajar. Ia beralasan motif hanya penyebab kejadian. Namun, pidana tetap berjalan meski motif belum terlihat.

“Masa menunggu motifnya dulu, wong sudah ada korbannya, jelas kok. Tapi pasti ada motif,” kata dia.

Hibnu juga menjelaskan kasus pidana tetap berjalan meski ada ketidakterlibatan langsung dalam pembunuhan. Sebagai contoh, ajudan Sambo, Ricky Rizal tidak ikut menembak Yosua, tetapi ia tetap bisa dijerat karena membiarkan pembunuhan terjadi.

Menurut Hibnu, dakwaan jaksa terang dalam menjelaskan peran pihak-pihak hingga penerimaan seperti uang dan lain-lain sebagai ucapan terima kasih kepada pihak yang terlibat dalam kasus Sambo.

“Tetap kena karena pembiaran kok. Makanya, kan, dari sidang tadi, kan, RR juga membiarkan, ikut membantu, Bu Putri juga membantu, Pak Kuat apalagi juga membantu, bahkan dalam dakwaan juga menerima sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih. Itu, kan, kalau dari surat dakwaan, saya kira itu dakwaan yang dibacakan loh ya, kronologi cukup untuk membawa suatu delik perencanaan bersama-sama,” kata Hibnu.

Karena itu, Hibnu menilai, persidangan harus tetap terbuka meski melibatkan banyak polisi. Namun, persidangan bisa tertutup bila memang membahas soal pelecehan seksual. Di sisi lain, Sambo dan Putri bisa saja tidak saling memberikan keterangan sesuai Pasal 168 KUHAP bahwa pasutri boleh tidak memberikan keterangan.

Namun, Hibnu menegaskan bahwa dakwaan perkara Sambo terang dan bisa diproses lebih lanjut, meski masih ada kejanggalan seperti tidak ada keterangan motif secara terang.

Ada Upaya Meringankan?

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani tidak memungkiri ada kejanggalan dalam kasus Sambo. Ia menilai, dakwaan Sambo masih kategori lazim dalam segi hukum.

Namun, dakwaan Sambo terkesan meringankannya karena membuka ruang untuk tidak dihukum berat. Ia beralasan, Sambo memang bisa dijerat dengan hukuman pembunuhan berencana, tapi pembunuhan berencana dalam kasus Sambo bisa menggunakan alasan reaksioner.

“Ada reaksi di Magelang oleh korban J yang membuat FS melakukan reaksi. Artinya FS bisa menyatakan bahwa dia melakukan pembelaan dengan reaksi,” kata Julius kepada Tirto, Senin (17/10/2022).

Julius menuturkan, hal itu dapat dilihat dari bagaimana JPU memasukkan unsur masalah pelecehan seksual di Magelang, tapi tidak terlalu detail. Di sisi lain, hukuman pembunuhan berencana penuh dengan pembunuhan berencana secara reaksioner memiliki derajat hukuman berbeda.

Ia beralasan, pembunuhan berencana reaksioner kerap lebih rendah hukumannya daripada pembunuhan berencana secara penuh.

Julius juga melihat ada korelasi antara kaburnya motif dengan minimnya penjabaran kejadian pelecehan seksual di Magelang. Hal itu akan memperkuat Sambo dalam upaya pembelaan, apalagi jaksa menegaskan bahwa dakwaan mereka dibuat berdasarkan berita acara penyidik.

Kemudian, ada juga kejanggalan dalam dakwaan di mana kejadian berlangsung dalam waktu singkat dengan tempat yang tidak terlalu jauh. Hal itu, kata Julius, berpotensi sulit membuktikan secara sempurna bahwa pembunuhan berencana penuh.

“Situasi ini tidak bisa dijadikan dasar pembuktian bahwa ada perencanaan yang sempurna sebagaimana Pasal 340 ayat 1,” kata Julius.

Selain itu, dakwaan Sambo terkesan ada parsialitas atau pemisah satu sama lain. Di satu sisi, kasus Sambo memang satu-kesatuan, tetapi terbagi-bagi dalam tahap tertentu.

Dalam kasus Sambo, kata dia, ada 3 tahapan besar yakni upaya perencanaan, upaya rekayasa dan upaya perusakan barang bukti. Dengan demikian, ada potensi otak pelaku kejahatan bisa dihukum lebih rendah karena pertanggungjawaban yang berbeda-beda.

“Parsialitas ini juga artinya pertanggungjawaban seluruh perbuatan jadi sulit dibebankan ke FS seorang,” kata Julius. Oleh karena itu, Julius menegaskan, “Overall banyak unsur dalam surat dakwaan yang meringankan FS.”

Baca juga artikel terkait SIDANG FERDY SAMBO atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz