Menuju konten utama

Masalah Turis Cina dan Upaya Menghindari Senjakala Pariwisata Bali

Di balik marak turis Cina ke Pulau Dewata, tersimpan wacana klise: bagaimana kualitas pariwisata di destinasi utama Indonesia ini?

Masalah Turis Cina dan Upaya Menghindari Senjakala Pariwisata Bali
Rombongan turis Cina saat tiba di Bandara Ngurah Rai, Denpasar (21/11). Foto Anton Muhajir untuk Tirto.id

tirto.id - Matahari bersinar terik di Pantai Tanjung Benoa, Desa Tanjung Benoa, di bagian selatan Pulau Bali. Tiap hari, ribuan turis asing maupun domestik memenuhi pantai berpasir putih dengan air laut biru ini. Mereka menikmati aktivitas wisata air, seperti perahu pisang (banana boat), jet ski, parasailing, perahu berlantai kaca (glass bottom boat), dan semacamnya.

Tanjung Benoa merupakan salah satu lokasi favorit bagi turis Cina di Bali. Selain belanja, turis Cina memang paling senang wisata air. “Karena pada umumnya mereka jarang melihat laut di negaranya,” kata Kepala Dinas Pariwisata Bali Anak Agung Gede Yuniartha.

Sebagai lokasi wisata favorit bagi turis Tiongkok, tanjung yang berjarak sekitar 5 km dari Nusa Dua ini pun berkembang pesat. Menurut I Kadek Duarsa, Ketua Lembaga Perwakilan Masyarakat Desa Tanjung Benoa, tiga tahun terakhir, turis Cina makin mendominasi pengunjung di pantai ini.

“Sebagian besar datang dalam rombongan besar,” kata Duarsa.

Secara ekonomi, menurut Duarsa, warga mendapatkan banyak keuntungan. Saat ini ada sekitar 24 pelaku usaha wisata air (water sport) di Tanjung Benoa. Hampir semua usaha itu milik warga lokal. “Taraf hidup warga jelas jauh lebih meningkat."

Namun, makin banyak pengunjung juga mendatangkan masalah bagi desa di ujung tanjung yang menjorok ke utara ini.

Tiap hari, lebih dari 1.000 turis menyerbu desa berpenduduk sekitar 6.000 jiwa ini. Turis membuat pantai terasa lebih sesak. Begitu pula ratusan perahu kapal cepat yang terus bertambah dan nyaris tanpa batasan.

“Bus-bus besar bikin jalan desa jadi macet. Perilaku turis Cina yang tidak disiplin dan kotor juga membuat turis dari negara lain terganggu,” kata Duarsa.

Eksploitasi Satwa

Dari pantai di sisi timur Desa Tanjung Benoa pula para turis melakukan perjalanan ke lokasi lain di seberangnya: Pulau Penyu.

Seperti namanya, pulau ini dulu menjadi rumah bagi penyu-penyu bertelur dan berkembang biak secara alami. Namun, saat ini, pulau yang oleh warga lokal disebut sebagai Pulau Pudut itu menjadi tempat bagi aneka satwa liar untuk dikurung sebagai bagian dari atraksi untuk turis. Tidak hanya penyu, tapi juga monyet, burung hantu, luwak, ular boa, dan satwa lain.

Satwa-satwa liar itu dikerangkeng sepanjang waktu. Hanya dikeluarkan ketika ada turis mau berfoto dengan mereka.

Hingga akhir Oktober lalu ada enam lokasi pertunjukan satwa liar di Pulau Penyu dari semula hanya ada dua. Satu tempat pertunjukan memiliki antara 80-100 ekor satwa dengan 10 jenis satwa. Hampir semua dieksploitasi seperti dikerangkeng dan dipegang pengunjung sepanjang hari.

Mei lalu, organisasi global penyayang satwa, World Animal Protection (WAP), bahkan menyebut Bali dan Lombok sebagai dua daerah yang mengeksploitasi satwa-satwa liar untuk kepentingan pariwisata.

Dari 26 taman satwa dengan 1.500 satwa liar di dalamnya, mereka tidak memerhatikan kebutuhan dasar peliharaannya seperti dikerangkeng dalam ruang terbatas, kurang waktu istirahat, hingga interaksi terlalu banyak dengan manusia.

Tempat wisata yang terlalu sesak, kemacetan di banyak tempat, serta eksploitasi satwa liar di Bali menjadi catatan terhadap kualitas pariwisata di Bali saat ini.

Kualitas Wisata Pulau Bali yang Menurun

Makin marak turis Cina dengan praktik-praktik ganjil seperti jual beli kepala, monopoli toko suvenir, dan eksploitasi satwa liar, membuat kualitas pariwisata Bali kian menurun.

“Sangat lebih buruk,” ujar I Nyoman Sukma Arida, doktor kajian ilmu pariwisata di Universitas Udayana Bali.

Meskipun ia sendiri belum melakukan riset khusus tentang turis Cina, Sukma mengaku mendapat banyak informasi terkait perilaku buruk turis Tiongkok di Bali.

Misalnya, sikap mereka yang tak ramah pada warga lokal. “Daya interaksinya juga rendah,” lanjut doktor alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

Toh, ketika serbuan turis Cina lebih banyak dianggap membawa masalah bagi pariwisata, Bali justru harus menerima begitu saja.

Kepala Dinas Pariwisata Bali Anak Agung Gede Yuniartha, misalnya, secara tersirat menunjukkan ketidaksukaannya terhadap banjir turis Cina karena sifat dan kelakuan mereka.

“Tapi saya ini, kan, anak buah Menteri (Pariwisata). Beliau menarget 20 juta turis di Indonesia tahun depan. Akibatnya, ya kami jadi mengejar mass tourism saja,” katanya.

Indikator menurunnya kualitas pariwisata Bali itu, misalnya, terlihat dari masa tinggal turis yang kian pendek. Turis Cina rata-rata hanya tinggal lima hari empat malam di Bali. Padahal, turis-turis dari Eropa atau Amerika bisa tinggal 10-14 hari atau bahkan sebulan di Bali.

Begitu pula dari sisi pengeluaran. Yuniartha melihat makin banyak turis berbiaya rendah datang ke Bali sehingga pengeluaran mereka juga sedikit. “Tingkat pengeluaran turis makin rendah karena kualitas tamu yang datang murahan,” lanjutnya.

I Nyoman Darma Putra, pakar kajian pariwisata Bali, menyatakan hal serupa. Menurutnya, praktik tak wajar oleh turis Cina itu tak hanya di Bali, tapi juga destinasi utama turisme global seperti Thailand, Paris, dan Australia.

Secara jumlah, jumlah turis memang meningkat tapi kualitas pariwisata Bali justru menurun.

Hal ini, menurut Darma, bisa dilihat antara lain dari kian banyak masalah keamanan, sampah, serta kemacetan. “Ini semacam dampak berkebalikan dari pariwisata. Hal yang wajar sebenarnya, tetapi kalau tidak dikelola dengan baik, justru akan merusak Bali,” katanya.

Darma mengatakan dampak buruk semacam ini sebenarnya sudah disadari oleh para pelaku bisnis maupun pengambil kebijakan pariwisata Bali. “Orang sudah tahu ada masalah, tetapi tidak mau membahas karena solusinya tidak populer."

Solusi tidak populer itu, misalnya, membatasi jumlah turis ke Bali atau menutup kawasan tertentu yang sudah terlalu dieksploitasi. Darma memberikan contoh di Thailand yang menutup total Pulau Maya, lokasi yang dipopulerkan Leonardo diCaprio dalam film The Beach, setelah lingkungan pulau ini rusak parah akibat kebanjiran turis.

Infografik HL Indepth Turis Cina di Bali

Beberapa Solusi agar Pariwisata Bali Berkualitas

Kalangan pengusaha pariwisata Bali sudah berulang kali mencari jalan keluar dari masalah pelik turis Cina di Bali. Namun, upaya itu mentok.

Ketut Ardana, ketua Asosiasi Agen Perjalanan Indonesia (ASITA) Bali I, mengatakan sudah berusaha memperbaiki tata niaga yang terjadi di pasar Cina.

“Kalau belum bisa memperbaiki, paling tidak usaha perbaikan tetap kami lakukan,” kata Ardana.

Beberapa solusi itu misalnya kesepakatan untuk tidak melakukan praktik jual beli murah atau jual beli kepala turis Cina. Tetapi, kesepakatan hanya berjalan tiga minggu sampai sebulan. "Setelah itu terjadi pelanggaran lagi,” ujarnya.

Jalan keluar lain yang diusahakan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Bali, nama lain dari Bali Tourism Board (BTB), adalah membuat daftar usaha pariwisata khusus Cina yang sudah terverifikasi.

“Tujuannya untuk memastikan keamanan dan kenyamanan turis dari Cina,” kata Markus Umbas, staf ahli BTB.

Daftar usaha pariwisata yang sudah tersertifikasi itu nantinya diberikan kepada Konsulat Jenderal Cina di Bali untuk diteruskan kepada usaha perjalanan di Cina.

BTB menargetkan akan ada 250 badan usaha yang diserahkan hingga akhir tahun ini. “Target kami akan ada nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Pariwisata Cina dan Indonesia. Ada pengakuan pada beberapa perusahaan khusus pasar Cina,” lanjut Markus.

Usulan lain yang selalu disebut: menaikkan harga pariwisata di Bali. Dengan begitu akan menjaga kualitas pariwisata Bali karena jenis tamu tersaring.

Keberhasilan Sanur dengan pariwisata skala kecil bisa menjadi contoh.

Yayasan Pembangunan Sanur (YPS) menjadi pihak yang mengawasi dan mengendalikan pariwisata di Sanur. Menurut Ketua YPS Ida Bagus Sidharta Putra, Bali berada pada masa transisi di antara pariwisata massal dan pariwisata berkualitas.

“Sebenarnya semua perlu turis, tetapi saat ini seolah-olah semua mengejar jumlah. Apalagi maraknya turis Cina. Bali jadi kelihatan murah,” katanya.

Dengan pengalaman pariwisata sudah 60 tahun, menurut Sidharta, Bali sudah saatnya fokus pada kualitas. Bukan lagi semata kuantitas. “Kami harus jaga kuota (turisnya). Biar kualitas tetap terjaga. Sanur ini contohnya. Tidak terlalu hype, seperti Seminyak atau Kuta, tetapi tetap terjaga jumlah tamunya,” kata Gus De, panggilan akrabnya.

Ketua Bali Tourism Board Ida Bagus Agung Partha Adnyana menambahkan bahwa menjaga kualitas wisata Bali bikin turis Cina yang nantinya datang ke Pulau Dewata juga lebih berkualitas.

Menurut Agung Partha, warga Cina yang memiliki paspor mencapai 200 juta. Jumlah 1,1 juta turis Cina saat ini hanya sekitar 1 persen.

“Masih ada 99 persen lagi yang belum datang ke Bali. Di antara mereka pasti ada yang berkualitas. Merekalah yang harus kami sasar,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait TURIS CINA atau tulisan lainnya dari Anton Muhajir

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Anton Muhajir
Penulis: Anton Muhajir
Editor: Fahri Salam