Menuju konten utama

Masalah Pemberantasan Korupsi: Vonis Rendah hingga Aset Recovery

Jargon pencegahan yang disebut-sebut pimpinan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi ternyata tidak memberikan nilai positif.

Masalah Pemberantasan Korupsi: Vonis Rendah hingga Aset Recovery
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Upaya pemberantasan korupsi Indonesia dinilai berjalan ke titik buruk. Hal ini tercermin dalam data Indonesia Corruption Watch (ICW) berdasarkan hasil pemantauan vonis peradilan pada 2021 berbasis hukuman dan besaran kerugian yang berhasil diperoleh.

“Berdasarkan catatan ICW melalui pemantauan proses persidangan 2021, situasi pemberantasan korupsi kian memburuk. Hal itu bisa dilihat dari rendahnya pemidanaan penjara dan pemulihan kerugiannya,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada Tirto, Senin (23/5/2022).

Laporan yang disusun tim ICW, mendapatkan sekitar 1.282 perkara yang disidangkan dengan total terdakwa 1.403 orang selama 2021. Angka kerugian negara yang terjadi dalam perkara 2021 mencapai Rp62,9 triliun atau lebih tinggi daripada 2020 yang mencapai Rp56,7 triliun. Sementara itu, perolehan tindak pidana dan suap 2021 mencapai Rp369 miliar; korupsi berupa pemerasan atau pungutan liar Rp4,2 miliar; dan penggelapan Rp7,6 miliar.

Namun, hukuman pengganti yang tertuang dalam putusan 2021 hanya Rp1,4 triliun, sedangkan pidana pokok Rp202,3 miliar. Penjatuhan tertinggi kepada Maria P. Lumowa (pihak swasta) sebesar Rp158,5 miliar.

ICW juga mencatat bahwa angka rerata tuntutan dari 1.403 terdakwa adalah 54 bulan atau 4,5 tahun. Rata-rata tuntutan terhadap pasal-pasal yang hukuman maksimal 20 tahun penjara sebesar 4 tahun 7 bulan penjara. Sedangkan pasal yang hukumannya maksimal 5 tahun hanya 2 tahun 9 bulan penjara.

ICW juga mencatat 662 dari 1.359 tuntutan dituntut ringan (di bawah 5 tahun), sedang (antara 5-10 tahun) sebanyak 649 orang dan tuntutan di atas 10 tahun penjara hanya 48 orang. Pasal kerugian negara yang digunakan pun lebih banyak Pasal 2 daripada Pasal 3 UU Tipikor serta hanya ada 11 orang terdakwa yang dituntut dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dari sisi vonis, ada 1.078 terdakwa divonis dengan kerugian negara, yakni 709 orang divonis dengan Pasal 3 UU Tipikor, sementara 369 orang divonis dengan Pasal 2 UU Tipikor. Angka rata-rata vonis berada di angka 3 tahun 5 bulan. Mereka juga mencatat vonis bebas dan lepas di 2021 tinggi di angka 107 terdakwa. Angka tersebut lebih tinggi daripada hasil temuan ICW 2020 yang hanya 66 terdakwa divonis bebas dan lepas.

ICW juga menyoroti ada 15 terpidana korupsi dikurangi hukumannya lewat upaya peninjauan kembali serta ada putusan yang bermuatan kontroversial pada sejumlah tokoh publik seperti eks jaksa Pinangki Sirna Malasari, eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, eks Menteri Sosial Juliari P. Batubara, serta eks Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.

Berdasarkan angka pemidanaan penjara yang rendah dan pemulihan kerugian yang minim, ICW menilai bahwa upaya pemberantasan korupsi yang digaungkan pemerintah tidak berjalan dan dinilai gagal.

Ia melihat pemerintah dan DPR dalam kerja pembuatan legislasi, aparat penegak hukum untuk aspek penuntutan, dan Mahkamah Agung sebagai fungsi mengadili, mengesampingkan urgensi penghukuman maksimal kepada koruptor.

Pemerintah, kata Kurnia, seharusnya bisa mengevaluasi upaya pemberantasan korupsi yang dipegang saat ini, apalagi pemerintah menggaungkan semangat restorative justice dalam penanganan perkara.

“Sepanjang tahun 2021, jargon-jargon pemberantasan korupsi yang kerap disampaikan oleh negara terbukti gagal,” kata Kurnia.

Kurnia menambahkan, “Ini mestinya menjadi bahan refleksi sekaligus mengevaluasi total strategi pemberantasan korupsi yang diusung oleh negara. Alih-alih mau berpindah pada konsep restoratif, penghukuman penjara selama ini saja belum maksimal diterapkan.”

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, Zarnur Rohman mengakui penindakan dalam upaya pemberantasan korupsi turun drastis. Ia menilai, pandemi COVID-19 tidak hanya memicu penindakan melemah, tapi juga diikuti kegiatan lain seperti revisi UU KPK hingga pemilihan pimpinan KPK yang tidak layak. Jargon pencegahan yang disebut-sebut pimpinan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi ternyata tidak memberikan nilai positif.

Alih-alih pencegahan, aparat penegak hukum justru tidak bekerja optimal dalam pemberantasan korupsi karena motor penggerak pemberantasan korupsi ada di tangan KPK. Kejaksaan pun dinilai tidak bekerja optimal karena mereka hanya membuka dua kasus korupsi besar seperti Jiwasraya dan Asabri. Di luar itu tidak ada suara besar.

"Jadi akibatnya juga ada penurunan kinerja di KPK. Nah penurunan kinerja di KPK itu menurut saya berpengaruh signifikan terhadap penurunan kinerja di yang lainnya. Benar kejaksaan itu sangat menonjol tapi kan dalam jumlah kasus yang sangat terbatas,” kata Zaenur.

Zaenur juga membahas soal vonis hakim yang rendah. Pertama, Zaenur tidak melepaskan dari mundurnya eks Hakim Agung Artidjo Alkostar. Sejak Artidjo tidak aktif di MA, puluhan koruptor mengajukan peninjauan kembali dan dikabulkan. Hukuman koruptor mengalami perubahan yang kerap kali menguntungkan koruptor. Aksi di tingkat MA lantas berdampak ke level pengadilan yang lebih rendah.

“Itu berpengaruh juga kepada peradilan di bawahnya, di tingkat pengadilan tinggi dan pengadilan negeri dan ternyata juga ada tren penurunan tuntutan yang diajukan oleh aparat penegak hukum," tegas Zaenur.

Zaenur menambahkan, “Jadi ini di semua lini, lini penuntutan maupun pengadilan itu memang terjadi semacam pengendoran ya saya melihatnya penindakan itu ditinggalkan istilahnya atau penindakan bukan satu hal penting lagi.”

Data ICW juga menjadi bukti pencegahan bukan hal yang efektif. Ia mencontohkan bagaimana pemulihan aset hanya sekitar Rp2 triliun, sementara kerugian negara mencapai Rp62 triliun selama 2021. Dengan kata lain, gagasan para pimpinan KPK yang hanya mengedepankan pencegahan sudah tidak layak digunakan.

Penegak hukum harus menggunakan pendekatan penindakan, perbaikan sistem dan pendidikan masyarakat secara bersamaan sesuai pendekatan trisula pemberantasan korupsi yang dipegang KPK, kata Zaenur.

Di sisi lain, angka aset recovery sudah gagal total karena penegak hukum hanya mampu menyelamatkan angka Rp2 triliun dari Rp62 triliun. Padahal, esensi tindakan korupsi adalah upaya mencari keuntungan sehingga hukuman yang tepat adalah pemiskinan.

"Kalau korupsi motifnya ekonomi memperkaya diri sehingga disincentive-nya harus berupa ekonomi yaitu pemiskinan dan salah satu tujuan utama penindakan penegakan hukum antikorupsi adalah untuk aset recovery mengembalikan kerugian keuangan negara,” tutur Zaenur.

Menurut Zaenur, penegakan hukum selama 2021 yang hanya berhasil untuk mengembalikan kurang dari Rp2 triliun dari total kerugian Rp62 triliun itu telah menunjukkan kegagalan. “Artinya penegakan hukum antikorupsi itu masih berorientasi pada pidana badan, belum berorientasi kepada kerugian keuangan negara,” kata Zaenur.

Oleh karena itu, Zaenur melihat upaya peningkatan pemberantasan korupsi dilihat dari sejumlah faktor jika ingin diperbaiki. Pertama, presiden harus memiliki visi pemberantasan korupsi yang jelas. Kedua, KPK sebagai lembaga pemicu penindakan pemberantasan korupsi harus diperbaiki. Ketiga, perlu ada gerakan atau program nasional yang mengajak publik untuk memberantas korupsi.

“Itu menurut saya hanya dari salah satu sisi saja tidak akan pernah berhasil seperti Mahkamah Agung. Saya lihat juga Mahkamah Agung semakin lemah dan saya lihat orang tidak lagi, istilahnya penyelenggara negara tidak lagi mengangkat KPK sebagai satu gangguan yang serius bagi para penyelenggara negara. Jadi ya kemudian ada tren semakin rendahnya vonis yang terlihat dari data," tutur Zaenur.

Respons KSP

Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengapresiasi hasil temuan ICW bahwa ada perbaikan angka vonis. Meski vonis bukan ranah pemerintah karena wilayah yudikatif, perempuan yang karib disapa Dani ini tidak memungkiri bahwa kebijakan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) membawa perubahan tersebut.

"Pemerintah mengapresiasi kajian ICW terkait vonis perkara korupsi yang menunjukan perbaikan angka rerata vonis koruptor. Walaupun tentunya kita harus sadar bahwa vonis ini bergantung pada kekuasan kehakiman atau wewenang pengadilan, namun hal ini mengindikasikan terjadi perbaikan dalam mekanisme penuntutan oleh Kejaksaaan Agung, yang salah satunya didorong dengan kebijakan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK)” kata Jaleswari dalam keterangan kepada Tirto.

Jaleswari menuturkan, dari sisi pencegahan korupsi, salah satu aksi yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan revisi terhadap pedoman penuntutan tipikor melalui revisi terhadap Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 003 Tahun 2010 dengan Pedoman No.1 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi. Perubahan ini dilakukan untuk melakukan penyesuaian dalam penuntutan perkara tipikor, yang mempertimbangkan antara aspek kerugian keuangan negara dengan tuntutan pidananya.

“Praktik ini juga telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga meminimalkan terjadinya disparitas penuntutan terhadap tindak pidana korupsi antar aparat penegak hukum,” kata Jaleswari.

Dari sisi penindakan korupsi, kata Jaleswari, jika dilihat menyeluruh pada grafik operasi tangkap tangan (OTT) KPK di bawah menunjukan hal yang sebaliknya. Di masa pemerintahan sebelumnya (2004-2014) KPK melakukan 36 OTT, sedangkan di masa pemerintahan Presiden Jokowi yang masuk tahun ketujuh sudah dilakukan 103 OTT oleh KPK. Data ini belum termasuk 4 OTT yang dilakukan KPK pada 2022 terhadap 3 kepala daerah dan 1 hakim.

“Walaupun harus diakui transisi akibat revisi UU KPK, perubahan organisasi, dan terjadi pandemi sedikit memperlambat kinerja ini. Namun pemerintah optimis, ke depan kinerja KPK, polisi, dan kejaksaan akan semakin baik dalam pemberantasan korupsi," kata Jaleswari.

Jaleswari beranggapan capaian yang diraih dapat terjadi karena kuatnya komitmen pemerintahan Jokowi. Ia menyinggung pernyataan Presiden Jokowi pada Hari Anti Korupsi Sedunia 2021 yang menyampaikan bahwa korupsi adalah extraordinary crime yang harus ditangani dengan tindakan yang juga extraordinary.

“Upaya penindakan sangat penting untuk dilakukan secara tegas, bukan hanya memberikan efek jera kepada pelaku, tetapi sangat penting untuk menyelamatkan uang negara dan mengembalikan kerugian keuangan negara,” kata Jaleswari.

Oleh karena itu, dalam rangka memperkuat efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi, pemerintah di bawah orkestrasi Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Koordinator Polhukam juga sedang mempercepat penyusunan regulasi RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Jaleswari menuturkan, regulasi ini dibutuhkan karena saat ini terjadi penyusutan nilai aset hasil tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi yang nilainya turun sampai pada taksiran nilai yang rendah karena terdepresiasi. Hal ini terjadi karena lamanya masa proses persidangan di pengadilan sampai seorang terdakwa dapat menjadi terpidana hingga dinyatakan inkracht.

Selain itu, regulasi yang disusun lewat RUU Perampasan Aset Tindak Pidana juga penting, untuk memberi efek jera bagi pelaku korupsi, sehingga substitusi hukuman kurungan sebagai skema yang sering dilakukan koruptor untuk menghindar dari keharusan membayar uang pengganti hasil tindak pidana dapat ditekan sampai ke tahap yang minimal.

Baca juga artikel terkait VONIS KASUS KORUPSI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz